Kamis, 28 Januari 2010

Mahasiswa: Program Seratus Hari SBY-Boediono Gagal




Banda Aceh-Ratusan mahasiswa yang terdiri dari berbagai lembaga berunjuk rasa di Simpang Lima Banda Aceh, Kamis, (28/10), mereka mengecam bahwa Program Seratus Hari SBY-Boediono gagal total, hal ini terbukti bahwa SBY tidak dapat mengusut tuntas kasus Bank Century yang telah merugikan pemerintah sampai 6,7 triliun rupiah.
SBY-Boediono dinilai telah gagal dalam merealisasi program seratus hari. Dari lima belas program seratus hari tidak satu program pun yang terealisasikan dengan baik. Program seratus hari ini dinilai hanya sebatas untuk mendapatkan simpatik dari masyarakat “SBY gagal dalam merealisasikan program seratus hari” kata Mjiburrahman, Presiden Mahasiswa Unsyiah
Dalam orasinya, Mujiburrahman meminta agar SBY tidak hanya diam dengan kasus Bank Century ini, yang melibatkan Boedino dan Sri Muliani. Selain itu, Ia meminta agar Pansus untuk dapat memanggil SBY, karena SBY saksi kunci dalam kasus Bank Century ini. “SBY berada dicelah kasus Century ” tambahnya.
Ia melanjutkan, jika SBY tidak dapat mengusut tuntas kasus Bank Century, maka SBY diharapkan mengundurkan dari jabatannya. Sementa itu, Jika dalam beberapa hari ini tidak ada respons, maka dalam waktu dekat mereka mengecam akan membuat aksi yang lebih besar lagi “kami akan turun dengan masa yang lebih banyak lagi” pungkasnya.
Aksi yang berdurasi sekitar dua jam itu sempat terjadi kemacetan di sepanjang jalan T. Daud Beureueh. Aksi berlangsung dengan tertip dan aman, yang berakhir sampai pukul 12.00 WIB dan mereka pun meninggalkan lokasi.

Jumat, 15 Januari 2010

Lorong Senja


Cermin
Sudah dua kali berganti musim gugur aku berjalan melewati lorong-lorong kematian itu. Lorong yang pernah diceritakan lelaki tua, lelaki yang dulu pernah tinggal satu gang denga gubuk lelahku. Keraguan terpendam di hati, apa ini lorong kematian yang pernah diceritakan lelaki tua itu. Seingatku si tua itu pernah mengatakan, kalau aku bisa melewati lorong itu, semua permintaanku akan dikabulkan. Ya termasuk penundaan kematian dan mengatur takdir.

Tetapi aku berpikir, apa benar yang diceritakan si tua bangka itu. Kala itu si tua mengajakku ke pinggir sungai. Ia duduk di pinggir sungai, kedua kakinya menyapa para penghuni sungai. Dia berkata padaku “mereka adalah kawan-kawanku”, semua penghuni lembah dan sungai takut pada si tua itu. Dulu Ia sama nasib sepertiku, tetapi kini dia bebas mengatur arah angin sesuka hatinya.

Benakku masih membanyangkan seuntai harapan yang selalu tenggelam diterpa tak berkemampuan. Kalau aku menemukan lorong kematian itu, sudah pasti semua keinginan akan berada pada kedua tangan ini. Pertama sekali aku akan meminta sebuah kain putih. Kain itu akan kuberikan untuk perempuan yang telah mengajakku ke alam yang tidak jelas tujuannya ini.

Kain itu, memang sudah lama inginku berikan pada perempuan tua sebatangkara. Sungguh malang nasibnya. Setelah ditinggalakn sang kekasih, dia hatus rela ditinggalkan oleh buah hati semata wayang. Tiap hari bulir-bulir selalu membasahi kedua pipi yang sudah mengerut. Penutup badan yang menyangkut di tubuhnya tak mewakili untuk menutupi sekujur kulit kerutnya.

Ingin sekali aku memberikan penutup kulit lesu itu. Setidaknya dia lebih berwarna saat menghadap-Nya. Biar perutnya tidak terganjal, penutup badan compang-camping, namun perempuan itu jarang absen menghadap-Nya.
***

Lelah badan ini. Kaki pun tak sanggup lagi mengarungi gurun tandus. Kerongkongan kering seketika tanpa ada peredamnya. Terik matahari tanpa hambatan membakar ubun-ubun. Namun, perjalanan tanpa akhir ini harus ku arungi, meski lorong itu, masih belum ada pertandanya.

Aku harus berjuang. Pesimis harus beranjak dari benakku, memang tak ada cita-cita anak manusia dapat digenggam begitu saja. Dalam perjalan itu, aku sempat melihat sebatang pohon yang tepat berdiri tegap di tangah gurun. Pohon tanpa daun itu terlihat sangat lesu dalam terik sang surya yang mengeringkannya. Dedaunan yang hanya tinggal di ujung dahan seperti tak rela lagi melekat. Lama sudah dia tak tersentuh ilham-Nya, “apa mukin ini adalah lingkungan dan takdir kehidupannya” besit hatiku.

Dalam pandangan samar-samar, mataku terus menancap ke sebuah gunung runcing yang duduk tegap di gurun itu. Aku semakin mendekat, pandangan pun semakin jelas.
“ya…. ini gunung runci yang pernah diceritakan si tua itu padaku” ungkapku refleks.
Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, tumbuh diotakku. “Gunung rucing, ya…gunung runcing. Apa ini hasil tangan para hamba, atau sulap manjadda wa jadda” pertanyaan itu tak tau sama siapa aku utarakan. Ah… masa bodoh aku harus memikirkan ini hasil tangan siapa. Targetku mengarungi gurun untuk mencari lorong kematian itu.

Sebuah pertanda nampak seketika di hadapanku. Ya… sebuah lobang berukuran batok kepala yang mengeluarkan angin kering dari dasarnya. Lobang itu tepat di dasar gunung runcing. Perlahan kurapatkan kepala kelobang itu. Kedua mata ini kubuka untuk mencuri sedikit rahasia lobang itu. Tapi mata ini tak kuasa melawan cahaya yang terpancar dari lobang cahaya.

Hari berikutnya aku juga mencoba untuk melawan cahaya lobang itu, namun hal yang sama terjadi. Akhirnya kupaksakan mata ini untuk menerobosi cahaya itu. Tiba-tiba dari cahaya itu keluar huruf perhuruf, tetapi hurus itu, seperti huiruf bai-bait suci. Pertama sekali yang keluar dari cahaya itu adalah huruf lam, tak lama kemudian menyusul huruf ta, dan secara bersamaan keluar pula huruf ha,zal dan nun.
Huruf itu membuat aku pening. Apa sebenarnya makna huruf itu. Si tua itu tidak pernah menceritakan padaku bahwa aku akan melihat huruf-huruf yang membuatku pening. Apa si tua itu membohongiku “keparat” besitku. Aku sedikit meredam kemarahan pada si tua itu. Tak ada guna aku marah padanya, lagi pula dia sekarang sudah menjadi makanan ulat dan cacing.

Harapan untuk mendapatkan lorong itu harus sirna di gurun ini. Huruf-huruf itu menghambat langkahku. Apa karena aku tidak bisa memaknainya. Matahari nampaknya akan meninggalkan bumi, hanya sedikit cahaya masih tertancap dari hamparan pasir. Kakiku perlahan melangkah dalam terpaan abu-abu melayang yang terbang bersama angin kering. Sedikit aku menoleh ke belakang, hanya nampak runcingan genung pemabwa sial. Aku menghilang di penghujung hari, bersama terpaan angin membawaku pergi
***.

Rabu, 06 Januari 2010

Warung Kopi Aceh

Banda Aceh- Warung kopi di Banda Aceh hampir setiap hari tak sepi dari pengunjung. mulai dari mahaiswa, pelajar, LSM bahkan para pegawai pun ikut meramaikannya.

warung kopi bukan hanaya sekedar tempat menikmati kopi saja. akan tetapi warung kopi menjadi tempat sharing dan diskusi para pengunjungnya....

Jumat, 01 Januari 2010

Buku “Ilusi Batu” Diluncurkan

Serambinews|30 December 2009, 11:14

Kutaraja
BANDA ACEH - Komunitas Tikar Pandan Banda Aceh, bekerja sama dengan Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin), Selasa (29/12) siang, meluncurkan buku antologi puisi berjudul “Ilusi Batu” di ruang Auditorium FKIP Unsyiah, Banda Aceh. Buku tersebut merupakan karya Ahmad Yulden Erwin, penyair asal Lampung. Kepala Sekolah Menulis Dokarim, Fauzan Santa, dalam sambutannya menyebutkan, penerbitan “Ilusi Batu” telah dipercayakan kepada Erwin.

Sementara itu, Erwin mengaku menulis puisi dalam rentang waktu 20 tahun. “Bagi saya, menulis puisi itu tidak mesti mengamati yang indah-indah dahulu. Kapan tebersit hati hendak menulis, ya saya menulis dan merorehkan di dalam sebuah catatan. Dan berharap itu menjadi sebuah tulisan yang bermanfaat,” ungkapnya. Ia juga mengaku bahwa sejumlah puisi dalam buku itu berkisah tentang Aceh dan Sumatera secara luas. Di sisi lain, Herman RN, yang menjadi pembanding dalam diskusi buku tersebut, mengakui puisi-puisi Erwin bernada perlawanan religius. Ketua Himpunan Gemasastrin, Wirduna, di akhir kegiatan diskusi mengaku bahagia karena peluncuran buku itu dipercayakan kepada Gemasastrin. Harapanya, sebut Wirduna semoga buku itu diterima di kalangan masyarakat luas, tidak sebatas diminati oleh mahasiswa.(mir)

Gemasastrin Gelar Acara Sufistik Tsunami

Berita : Banda Aceh.

Friday, 25/12/2009 | 12:33WIB

Banda Aceh, Seputar Aceh – Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) FKIP Unsyiah menggelar zikir akbar dan doa bersama pada Sabtu (26/12) di ruang lobi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah.

Zikir dan doa bersama tersebut, kata Nazar Shah Alam, koordinator pelaksana, dalam rangka mengenang lima tahun musibah mahadahsyat gempa dan gelombang tsunami Aceh. Tema kegiatan, katanya, “Kenangan Fiqih Kekasih Allah dan Zikir Laut”.

“Kegiatan ini direncanakan menyertakan pula para alumni FKIP Bahasa Indonesia Unsyiah dari berbagai daerah. Alumni-alumni Gemasastrin yang sudah duapuluhan tahun selesai kuliah pun diundang. Mereka akan datang dari berbagai daerah, mulai Singkil hingga Aceh Tamiang,” paparnya.

Menurut Nazar, acara akan diset bernuansa sufistik. Di samping doa, katanya, akan ada sejumlah acara kesenian bertema sufi.

“Nanti ada baca puisi tsunami, musikalisasi puisi, pementasan teater dan baca hikayat, yang semuanya bertema sufistik dan tentang tsunami. Juga ada pembacaan surat kepada korban smong. Kegiatan ini akan dimulai Sabtu, 26 Desember, selepas asar hingga tengah malam,” ujar mahasiswa FKIP angkatan 2008 tersebut.

Ketua himpunan Gemasastrin, Wirduna, menyebutkan acara tersebut juga dalam upaya mengikat tali silaturrahmi keluarga besar Gemasastrin.

“Makanya yang sudah selesai kuliah puluhan tahun lalu pun kita undang. Mungkin saja ada yang terlewatkan dari undangan. Maklum saja, kesilapan pada database alumni yang sudah tua-tua pasti ada. Untuk itu, jika ada alumni Gemasastrin yang mengetahui acara ini dari siapa saja, anggaplah itu undangan dari kami yang masih muda-muda ini,” tuturnya. [sa-hrn]

Gemasastrin Gelar Sufistik Tsunami

Banda Aceh | Gelanggang mahasiswa sastra Indonesia (Gemasastrin) FKIP Unsyiah menggelar zikir akbar dan doa bersama hari ini, Sabtu (26/12), di ruang lobi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah.

Kegiatan tersebut, kata Nazar Shah Alam, koordinator pelaksana, dalam rangka mengenang lima tahun musibah mahadahsyat gempa dan gelombang tsunami Aceh. Tema kegiatan, katanya, “Kenangan Fiqih Kekasih Allah dan Zikir Laut”.

“Acara ini direncanakan menyertakan pula para alumni FKIP Bahasa Indonesia Unsyiah dari berbagai daerah. Alumni-alumni gemasastrin yang sudah dua puluhan tahun selesai kuliah pun diundang. Mereka akan datang dari berbagai daerah, mulai Singkil hingga Aceh Tamiang,” paparnya.

Lebih lanjut, Nazar menyebutkan, acara akan diset bernuansa sufistik. Di samping doa, katanya, akan ada sejumlah acara kesenian yang bertemakan sufi.

“Nanti ada baca puisi tsunami, musikalisasi puisi, pementasan teater, dan baca hikayat, yang semuanya bertemakan sufistik dan tentang tsunami. Juga ada pembacaan surat kepada korban smong. Kegiatan ini akan dimulai Sabtu, 26 Desember, selepas asar hingga tengah malam,” rinci mahasiswa FKIP angkatan 2008 tersebut.

Ketua himpunan gemasastrin, Wirduna, menambahkan, acara tersebut juga dalam upaya mengikat tali silaturrahmi keluarga besar gemasastrin.

“Makanya yang sudah selesai kuliah puluhan tahun lalu pun kita undang. Mungkin ada yang belum terdata namanya dalam database alumni gemasastrin, kami mohon maaf. Siapa saja alumni gemasastrin yang mendengar kabar ini dari mana saja, anggaplah ini undangan terbuka bagi mereka,” tutur Wirduna yang khawatir akan ada nama alumni terlewati dari undangan.[RN]

Gemasastrin launching buku ''Ilusi batu''

http://seputaraceh.com/berita-utama/2009/12/29/3214/

Banda Aceh,
Seputar Aceh – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gemasastrin Unsyiah bekerja sama dengan Tikar Pandan meluncurkan Buku Ilusi Batu, Karya Ahmad Yulden Erwin di auditorium FKIP Universitas Syiah Kuala, Selasa (29/12)
Buku antologi puisi itu adalah goresan pena yang di tuliskan Erwin sebagai bentuk perlawanan terhadap masalah sosial yang sedang berkecamuk di masyarakat Indonesia. Buku itu diselesaikan dalam waktu 20 tahun. Dan ini adalah launching perdana di Aceh.
Buku yang di terbitkan Aneuk Muling ini setidaknya juga bercerita bagaimana tentang keresahan hati aktivis sosial Erwin tentang Aceh. “Dalam buku ini juga ada sebuah kegelisahan hati saya tentang Aceh. Pada tahun 2000 lalu saya banyak tahu tentang derita rakyat Aceh, hingga saya mencoba menuliskan kegelisahan ini lewat puisi,” kata Erwin.
“Karena batu itu adalah sebuah benda yang konkrit dan tentunya mempunyai konteks yang lebih luas. Itu sebabnya saya mengambil ini sebagai judul. Tentunya sesuai dengan makna perlawanan.”
“Mungkin hanya orang Aceh yang mau menerbitkan buku ini. Jadi ya tidak ada salahnya kita cetak di sini. Mudah-mudahan di daerah lain juga menyusul,” tambah Erwin seraya menambahkan bahwa saat ini ia juga tengah menyiapkan buku keduanya, yang berjudul Cermin Fanshuri.
Wirduna ketua umum komunitas Gemasastrin mengatakan bahwa pihaknya sangat senang bisa bekerja sama dan dipercaya sebagai fasilitator launching buku tersebut. Harapanya semoga buku ini juga dapat di terima dimasyarakat umum, tidak sekedar mahasiswa. [sa-amz]

Pelantikan Gemasastrin


Indra Patra