Minggu, 27 Juni 2010

Ayah "Muhammad Gam"

Wirduna Tripa
(Telah dimuat di Serambi Indonesia, 27 Juni 2010)KEMARAU telah lewat. Tiga pekan sudah hujan menguyur tanah kering ini, pertanda musim hujan. Cahaya matahari perlahan menghilang di ujung laut biru, hilang berganti gelap. Dikeheningan senja, Nek Lot masih di lampoh Cek Amat. Ia membabat setengah rante rumput karena esoknya akan berpindah kerja ke lampoh jagung milik Keuchik Adam. Dalam sepuluh tahun terakhir ini Nek Lot sudah menggeluti pekerjaan sebagai tung upah (upahan). Sejak Nek Gam meninggal, kehidupan Nek Lot memang tak menentu lagi yang harus berjuang sendiri agar bisa mengisi perut. Usianya yang renta apalagi bekerja sebagai tung upah, seharusnya ia beristirahat. Tapi semua ini harus dilakukan untuk bisa menyambung hidup di tengah beban yang saat ini makin berat.

Nek Lot hanya mewarisi sepetak tanah yang ditumbuhi coklat warisan Nek Gam, suaminya. Tapi tanah itu pun dirampas, setelah Pak Geuchik mengatakan tanah itu milik PT. Padahal setahunya sudah lima puluh tahun ia sebelum ia menikah dengan Nek Gam, tanah itu sudah ditempati. Tapi dikatakan milik PT, ya sudahlah. Nek Lot pasrah dan menyerahkan semua itu pada Yang Kuasa. Hari-hari dijalani Nek Lot. Biasanya sepulang ia dari tung upah, selalu membawa pulang beras sekantung plastic hitam dan beberapa ons ikan kase asin. Kadang kalau ia tak mendapatkan kerja, ia memberanikan diri menghutang di kedai Po Insyah. Untung Po Insyah yang selama ini begitu berbaik hati mau memberi hutang padanya.

Senja itu, Nek Lot setelah salat magrib menyuruh saya untuk berdoa dengan menadahkan tangan. “Kalau kita berdoa, pasti Allah mengabulkan dan memudahkan rezki kita,” ujarnya dengan suara serak. Waktu itu saya tak tahu apa yang harus bacakan. Untunglah Nek Lot hanya menyurus mengucapkan amin, amin, amin…di sela-sela bacaan doanya. Saya seperti bosan mengikuti Nek Lot, tapi suatu magrib, ia kembali menyuruh. Kali ini saya saya tidak menuruti perintahnya, tapi hanya duduk di belakang Nek Lot dan diam. Maka seusai ia berdoa, Nek Lot menjadi marah.

“Kenapa kamu tidak mengucapkan “amin” tadi?” serunya.
“Ima sudah bosan mengucapkan amin…amin… dan, amin… setiap malam” jawabku.
“Ima…! Kenapa kau berkata seperti itu Nak?” timpal Nek Lot.
“Capek! Setiap malam mengucapkan, tapi tak juga diberi uang yang banyak. Buktinya Nek Lot setiap sore hanya membawa pulang sekantung beras,” sanggahku.

Paginya, kulihat Nek Lot duduk di jambo belakang rumah. Tampak airmata meleleh dari pipinya yang sudah keriput. Bola mata yang dulu tajam, seperti tak lagi bercahaya.
“Mengapa Nek Lot menangis?” ketusku
“Kalau saja ayahmu masih hidup,” gumannya.
Pagi menjadi begitu mendung padahal matahari sudah cerah setinggi gala. Nek Lot hanya diam, kecuali menyebut ayah yang katanya meninggal di hutan setelah bertempur dengan gerombolan loreng. Saya tak tahu apa maksud gerombolan goreng. Kecuali pernah mendengar kata Pak Geuchik, bahwa saya anak kombatan akan disantuni oleh pemerintah karena ayah saya dulu meninggal di hutan. Tetapi sampai sekarang Pak Geuchik tak pernah berkata apa-apa lagi pada Nek Lot.

“Apa mungkin Pak Geuchik sudah lupa ya?” besitku.
Andai saja santunan ini masih berlanjut, saya mungkin tak perlu risau ketika saat ini sudah tamat SD untuk bisa melanjutkan ke SMP. Tapi sudah tiga kali saya tanyakan itu kepada Nek Lot, ia tak pernah mau membuka mulut. Saya tak berani menanyakan hal itu pada Pak Geuchik. Sebab saya dengar ia sekarang begitu sibuk mengurusi perkara tanah warga.
Ayah saya disebut-sebut “kombatan”. Tidak tahu kenapa orang-orang menggantinya nama ayah. Padahal yang saya tahu namanya Muhammad Gam, bukan kombatan.***

* Wirduna Tripa adalah mahasiswa PBSI, pengurus Gemasastrin FKIP Unsyiah.

Senin, 14 Juni 2010

Tinta Merah Penegak Hukum “Kepolisian” (Sekedar Refleksi untuk Pak Polisi)



Wirduna
Beberepa waktu lalu saya menyempatkan diri untuk membesuk Muhib Dani-korban penembakan oleh oknum Brimob di gampong Alue Raya Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya- ia dirawat di rumah sakit Bhayangkara. Muhib terbaring di atas ranjang dengan kedua kakinya terperban besar. Setelah lebih sepuluh hari di rumah sakit, ia belum dapat mengeluarkan suara. Ia masih sangat trauma dengan penembakan tersebut “Meukeu-keu ditembak kiban han rot seumangat” begitu kata ayah Muhib Dani dalam bahasa Aceh.

Muhib Dani adalah salah satu korban tindak kriminal oknum kepolisian yang kesekian kalinya menimpa masyarakat Aceh. Kasus yang menimpa Muhib Dani ini adalah kasus yang terhitung bukan pelanggaran level kecil ‘cilet-cilet’ akan tetapi kasus ini sudah tergolong ke dalam tindak kriminalisasi (baca UU, Kriminal). Nampaknya saat ini Kepolisian kian kreatif dalam melakukan berbagai pelanggaran terhadap masyarakat, mulai dari pemukulan, pelecehan sampai penembakan.
Memang secara pragmatis fenomena ini muncul disebabkan oleh berbagai indikasi, baik faktor politis, sentimen personal bahkan bisa jadi tindakan arogan yang dilakukan Polisi sehingga hilang kendali objek amunisi. Dalam hal arogansi, polisi butuh kematangan dalam memposisikan dirinya dan kognitif terhadap aturan-aturan, sehingga sekiranya dapat lebih bijak dan manusiawi.
Dalam hal ini, Koalisi NGO Hak Asasi Manusia (HAM) telah mencatat beberapa pelanggaran pihak kepolisian (penembakan) terhadap masyarakat sipil, mereka pun sudah melayangkan surat tersebut ke Kapolri. Namun hingga kini belum ada suatu tindak lanjut yang jelas dari petinggi kepolisian tersebut. Apakah aspirasi masyarakat untuk menuntut hak rakyat yang tertindas hanya dijadikan sebagai permaian saja?
Jika kita berbicara masalah hukum memang tak akan habis-habisnya, karena ini adalah keselahan sistem yang sudah mengakar di negeri kita. Baik yang terkait masalah korup dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang kerap dilakukan pihak penegak hukum itu sendiri. Secara manusiawi tak logis memang kalau membuka baju sendiri. Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks aturan jelas bahwa tak ada batas dan tak pandang bulu. Namun, hukum di negara kita ini hanya sepintas tercantum dalam kitab-kitab aturan. Aturan-aturan tersebut hanya diperuntukkan bila objek tersalahnya adalah kaum-kaum lemah. Bila kaum-kaum lemah yang salah tak perlu menunggu minggu atau bulan, seketika itu juga dapat divonis dan jelas status sebagai terpidana.
Namun, kenyataan ini akan bertolak belakang bila yang dijerat adalah penegak hukum. Bila mereka yang bersalah, proses hukum pun berbelit-belit dan tak kunjung selesai. Kenyataan ini memang sudah terjadi sejak negara ini dinyatakan merdeka. Selama ini masyarakat yang menyaksikan kasus-kasus yang melilit penegak hukum melalui media massa tak pernah terdengar atau terbaca bahwa ada oknum penagak hukum yang statusnya menjadi terpidana. Akan tetapi, hanya menjadi “diduga” dan berhenti pada “terdakwa”, sementara “terpidana” tak pernah menempel pada nama mereka. Padahal masyarakat menunggu bagaimana ending dari kasus-kasus yang diusut.
Nah, hal ini pun terjadi pada kasus penembakan Muhib Dani. Sudah hampir lebih satu bulan belum ada kejelasan tentang status oknom Brimob yang jelas-jelas bersalah. Meski pun beberapa minggu yang lalu mahasiswa yang berasal dari Nagan Raya telah melakukan unjuk rasa terkait pengusutan kasus tersebut, sebagaimana diberitakan Serambi, Kamis (7/5). Dalam unjuk rasa tersebut pihak Kapolda telah menerima tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kejelasan.
Apakah aksi yang dilakukan mahasiswa tak cukup untuk menjadi bahan pertimbangan sekaligus bahan refleksi bagi polisi? Ataukah aspirasi mahasiswa (rakyat) hanya diterima dengan begitu saja tanpa ada follow-up. Kejadian seperti ini memang sering terjadi, tak hanya sekarang, tetapi kasus-kasus sebelumnya yang hilang dan redam dengan begitu saja. Sangat cukup jadi bukti Sebagai contoh, kasus oknum Polisi yang melakukan pemukulan terhadap Ilham, salah seorang guru, sampai sekarang oknum polisi tersebut tak jelas statusnya.
Dalam hal ini, polisi terlihat tak serius dan seperti menutup-nutupi tentang kasus ini. Bila kasus yang seperti ini tak dapat diselesaikan dengan tuntas maka polisi tidak akan mendapat simpatis dan kepercayaan dari masyarakat, hanya akan menjadi harapan semu. Menggantungkan harapan tetapi takut mengadukan. Realita membuktikan bahwa citra kepolisian semakin hari semakin pudar dan kehilangan jati.
Banyak sudah dosa-dosa besar yang dilakukan oknum polisi yang sampai sekarang belum ada titik temunya. Namun, meski demikian bila kepolisian serius untuk mengembalikan citra yang selama ini sudah bertinta merah, Saya rasa belum terlambat. Masyarakat masih menanti akan keadilan yang hakiki, keadilan yang memanusiawi dan keadilan yang tak pandang bulu.

Penulis adalah aktivis mahasiswa, berasal dari Nagan Raya.