Minggu, 26 Desember 2010

Takbirku di Gereja Itu


Karya|Wirduna Tripa
“Apa
yang salah denganku” ungkapan itu tak jarang membesit di hatiku. Apa hatiku sudah membatu dan benar-benar tak ada tempat lagi bagi Mina untuk berteduh di hatiku. Sulit memang. Aku melihat cinta dan kesetian Mina sangat luar biasa, terkadang melebihi kesetiaan Farhani, wanita yang memang Setelah ia tahu bahwa cintanya tak ada tempat di hatiku, komunikasi kami pun terputus beberapa saat. Aku pun tak mengganggunya, pernahku coba menghubungi beberapa kali, namun ia tak pernah menjawabnya. Kata-kata maaf hanya kutuliskan melalui pesan-pesan singkat, Tersesat. Gelap-segelapnya, hingga aku tak tahu arah kiblat. Itulah yang aku alami saat ini. Aku tak menyangkan bahwa tuhan akan menempatkanku di tempat seperti ini, tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan menetap di sini. Sekarang sudah memasuki hari kedua puluh sembilan bulan ramadan, hanya beberapa hari lagi musim belah ketupat akan tiba, hari fitrah dan hari saling memaafkan, begitu kata Abon Aziz dulu ketika aku mengikuti pengajian di meunasah. Lama sudah itu. Hampir semua memori terkikis di benakku. Banyak memang ilmu yang ditularkan Abon dulu, namun ilmu itu pun pamit dari kehidupanku, semu sudah aqidahku.

Demi melanjutkan studi yang lebih tinggi, harus kurelakan sebagian usiaku bersama orang-orang yang tak satu kepercayaan dengaku. Sebenarnya aku tak mau melanjutkan studi ke negeri yang dipenuhi katedral ini, namun hampir semua orang terdekat denganku memotivasikan agar aku mengambil beasiswa ke luar negeri “kesempatan tak kunjung datang kedua kalinya, ini adalah kesempatan emas” kata-kata itu yang akrapku dengar ketika aku meminta saran pada orang-orang yang kupercayakan dia dapat memberikan pandangan dan motivasi bagiku.

Sebuah tekad pun kubulatkan. Ku satukan pikiran. Komitmen pun kutanam untuk meraih cita gemilang dan membuka paradigma kehidupan yang lebih plural. Empat tahun sudah aku hidup dalam kerumunan para penyembah pepatungan. Hanya aku dan Sya’i yang muslim, namun ia hanya sempat tinggal satu asrama dengan aku selama tiga bulan, ia langsung kembali ke Irak setelah menyelesaikan studi di negeri gereja ini.

Hari-hari aku lewati dengan teman-teman yang tak setauhid dengaku, sebelumnya aku berencana untuk tidak berteman dekat dengan mereka. Sebab Chik pernah mengingatkanku bahwa aku harus lebih selektif dalam memilih teman, sebab gaya hidup tak terlepas dari lingkungan yang dimukimi. Ya… lingkungan salah satunya adalah teman. “Nyan bek ke meungon ngon si gam bakoeng” begitu ucapnya mengingatkanku agar tak sembarang memilih teman.

Namun, bukannya aku tak mematuhi seruan Chik, aku sekarang hidup di negeri orang, negeri yang tak pernah terdengar suara azan, melainkan lonceng-lonceng gereja yang selalu menggumam. Pernahku tanyakan kenapa tak dibolehkan ada suara azan, mereka mengatakan bahwa suara azan dapat mengganggu aktivitas orang banyak, dalihnya bila suara azan berkumandang sampai lima kali sehari, maka dapat merusak konsentrasi orang banyak, “Subbhanallah” batinku.

Pernah suatu seketika aku merindu untuk mendengarkan kumandang azan, aku terpaksa men-browsing video azan melalui network google, yang kemudian aku masukkan ke dalam aplikasi MP3, untuk mendengarkannya, itu pun harus menggunakan handset.

“Selamat lebaran Sur” ucapan itu tertulis di dinding facebook-ku. Mina memang temanku yang sangat setia dan selalu memberikan perhatian padaku, meski dulu aku sempat mengecewakannya, karena dia tau aku tak sepenuh hati mencintainya. Sebenarnya aku memang tak mau berpacaran dengannya, namun karena pertimbangan hati yang sangat halus, harusku beri peluang baginya untuk menyisakan kasih cintanya padaku. Kala itu aku berpikir dengan menerima cintanya aku tak melukai hatinya yang sudah terlanjur mencintaiku. Namun akhirnya kepura-puraanku mencintainya sempat tercium isu pada wanita berkulit sawo matang itu.

meski pesan itu tak pernah ada balasan.

Yang tak habis terpikirkan, Mina adalah orang pertama yang mengantarkanku ke bandara Sultan Iskandar Muda ketika aku akan berangkat ke Paris untuk melanjutkan kuliah. Tepat pukul 12.30 Aku sampai di Bandara, tiba-tiba aku melihat Mina sudah berdiri tegap di depan ruang chek in Garuda Indonesia. Hari itu ia mengenakan baju hitam dan rok cokelat, belum pernah aku melihat Mina megenakan baju hitam selama aku mengenal perempuan itu.

Langkahku sempat tak bergerak beberapa saat ketika memperhatikan gadis gampong itu yang mempelototiku tajam. Tak lazim memang. Biasanya ia selalu membuang muka ketika berhadapan denganku, namun yang aku salut ia adalah perempuan yang selalu jujur dengan kata hatinya.

sudah terpahat namanya di hati ini. Sulit untuk dihapuskan. Apa aku harus menyelipkan Mina di sela-sela pahatan nama Farhani yang memang sudah sangat kukuh. Pilihan yang sangat dewasa, sulit, benar-benar sulit. Tuhan mengapa engaku memberikan pilihan yang sangat membutakannku untuk menghadapinya. Aku rasa ini bukan padananku tuhan.

Kepergianku dari Kutaraja menguburkan semua kisah itu. Tiga tahun sudah aku tak dibebani dengan perasaan cinta, karena aku telah menguburnya di Banda Sultan Iskanda Muda tiga tahun silam. Tak kusangka memang, perasaan yang telah lama terkubur tumbuh kembali. Meski tak begitu subur, namun ia tetap tumbuh. Aku tak tahu mengapa Mina selalu hadir ketika aku membutuhkan teman untuk menghiburku. Seperti dua minggu lalu, ketika hatiku terpukul sangat berat, saat mendengar Farhani telah disunting oleh salah seorang anak pejabat di Kutaraja. Tak pernah terbayang sebelumnya, Farhani mencabik-cabik hati ini, perih sangat ketika nama yang telah terpahat dipaksakan untuk dihapus dari lubuk hati. Saat itu otakku bagai tak berfungsi, memori seperti baru saja di-instal ulang. Bahkan botol-botol telarang sempat menumpuk di kamar, puting-puting lintingan jumbo pun berserakan di setiap sudut kamar. Lampu tak pernah menerangi ruang tidurku kala itu. Pintu selalu terkunci rapat, asap pun tak dapat kabur dari ruang itu, ruangan seperti hutan yang baru saja dibakar oleh penggarap.

Di saat tak ada seorang manusia bersamaku, tuhan mengilhamiku melalui Mina. Mina seperti telah dibisikkan malaikat untuk menghubungiku. Dua hari full Mina berkomunikasi denganku melalui handpone. Ia bagai malaikat yang datang untuk memberikan sedikit cahaya bagiku, disaat cahaya kehidupan benar-benar padam dalam dari kehidupan ini.

Kehadiran Mina saat itu memberikan sebuah kehidupan baru bagiku. Meski jarak aku dan Mina tiada tara, puluhan pulau menjadi pembatas. Namun, saat itu ia bagai bersamaku. Perlahan aku melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi, basuhan-basuhan wudhu’ membasahi wajah, lengan dan kakiku. Sebuah ketenangan hadir seketika. Yang kemudian aku tahu hari ini adalah akhir Ramadan, sudah pasti besoknya adalah leberan. Keesokan harinya, aku bangkit dari diri yang masih membungkam antara sadar dan tidak. Perlahan kutapaki bumi jelanan sepi, aku menuju ke sebuah tempat beribadah untuk melaksanakan salat dhuha aidil fitri, sebagaimana salat yang biasa dilaksanakan di gampong. Aneh, tak seorang pun berada di Geraja itu, sajadah pun kubentangkan di depan sebuah salipan. Lantunan-lantuan takbir pun kukumandangkan dengan keras. Lima belas menit sudah aku membacakan takbir-takbir itu, tiba-tiba segerombolan orang berseragam meringkusku, mereka menutup kedua mata dan membawa ke dalam sebuag mobil. “Kurang hajar” kutukku dengan kekesalan yang sangat. Mereka membawaku kesebuah tempat yang sangat aneh. Mengapa tidak, di sudut sana dan sini mereka ketawa-ketiwi. Ada yang tak berpakaian dan ada yang tidur-tiduran di bawah ranjang. Aneh memang. Mengapa mereka menempatkanku bersama orang-orang yang tak lazim aku lihat.

Penulis adalah mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah, Ketua Dep. Infokom Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII).

Sumber: Warta Unsyiah Edisi Oktober 2010

Senin, 13 Desember 2010

Misteri Makam Syuhada


Feature Reporting | Wirduna
Siang itu, puluhan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) secara bersamaan mendatangi halaman belakang gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah. Satu persatu mereka berdiri di sebuah pagar yang mengelilingi sepetak tanah kosong. Tanah itu tak ditumbuhi rerumputan dan bunga-bunga, hanya saja sebuah pohon besar menjulang yang berdiri tegap tepat di tengah-tengah pagar itu. Entah sudah berapa puluh tahun usia pohon itu, tak ada yang tahu pasti kapan ia tumbuh ke bumi.

Beberapa mahasiswa tampak menunjuk-nunjuk ke arah tanah lapang itu, “Coba lihat! Ini adalah kuburan ulama” ucap salah seorang mahasiswi yang bersandal tepat di pagar. Itulah suasana makam syuhada siang itu saat diziarahi para mahasiswa PBSI.

Tepat di salah satu bagian pagar di situ tertulis nama-nama para syuhada yang dikemumikan di areal Gedung AAC Dayan Dawood. Dari sederatan nama tersebut namapak bahwa mereka tidak hanya ulama-ulama yang berasal dari Aceh. Mereka adalah H. Achmad Qasturi (Turki, 1316-1389), Tgk. Malem Panyang (Pelanggahan, 1337-1399), Datok Nafi (Malaysia), Muda Selangor (Selangor Malaysia), Abu Said (Tanoh Abe, Aceh Besar)

Berdasarkan tahun yang tertulis pada pamplet pemakaman, para syuhada tersebut diperkirakan hidup sekitar tujuh abad silam. Tak banyak referensi yang mencatat sejarah mereka tentang kepastian tiga syuhada lagi yang tak terdokumentasikan tahun pada pamplet pemakaman tersebut. Entah memang tak diketahui kevalitan tahunnya atau kurang pedulinya pemerintah untuk menguak kembali sejarah para syuhada dan sufi-sufi yang pernah memberi jasa terhadap negeri ini.

Lembaran-lembaran sejarah telah mencatat bahwa mulanya, Kerajaan Aceh lahir pada Dinasti Makota Alam tepatnya pada 1496-1528 di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah, ialah pendiri kerajaan Aceh. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan putra dari Syamsu Syah. Nah, catatan sejarah telah membuktikan bahwa kelima syuhada yang dikebumikan di kampus Jantong Hate Rakyat Aceh tersebut telah menduduki Aceh jauh sebelum adanya sultan-sultan yang menahkodai Aceh.

Ke datangan ketiga syuhada ke Aceh, baik dari Turki maupun Malaysia, adalah untuk menyebarkan agama Islam ke Aceh. Sebab, kala itu, Aceh masih sangat kental dengan agama Hindu-Budha. Secara perlahan, peran kelima syuhada tersebut pun berkembangg dan diikuti oleh masyarakat Aceh. Hal ini terbukti selang satu abad dari masa mereka yang akhirnya muncul kerajaan Aceh pertama. Dengan demikian peran kelima syuhada tersebut sangat memberi arti terhadap perubahan peta aqidah di Aceh.

Kompleks kampus Unsyiah, awalnya adalah pemakaman umum tertua di Aceh. Banyak kuburan-kuburan yang memenuhi tempat tersebut. Beragam level dan tingkat sosial yang menjadi penghuni pemakaman itu. Masyarakat Aceh, di bawah pimpinan Gubernur Ali Hasjmy berinisiatif untuk mendirikan pusat pendidikan provinsi Aceh tepatnya di areal pemakaman tersebut. Dengan demikian berdirilah Unsyiah pada 2 September 1959, yang diresmikan langsung oleh Presiden Soekarno. Oleh karena itulah pemakaman di areal tersebut terpaksa dipindahkan ke tempat lain.

Namun, mengapa lima kuburan itu masih tegap dan tegap di tengah kampus Unsyiah? Harimau mati meninggalkan belakang, manusia mata meninggalkan nama. Itulah ungkapan untuk para kelima syuhada tersebut. Kuburan kelima syuhada tersebut enggan untuk dipindahkan karena kelimanya adalah para ulama yang telah menerangi bumi Aceh ini. Sebagai rasa terima kasih, kelima makam syuhada dijadikan sebagai sebuah monumen kecil sejarah khsusunya bagi kampus Unsyiah.

Di balik semua itu, makam para syuhada ini mengandung misteri yang belum terjawab. Bagaimana tidak, deretan nama yang tertulis di pamplet pemakaman menyebutkan jumlah semua lima orang, sementara nisannya hanya empat orang. Apakah salah satu syuhada tersebut telah berpindah dari pemakaman itu? Ya mungkin karena banyak remaja-remaja yang menjadikan makam tersebut sebagai tempat bersantai dengan lawan jenis. Ataukah ada misteri lain dibalik kisah lima syuhada ini?

Sabtu, 04 Desember 2010