Senin, 28 Februari 2011

Catatan Terakhir di Labkom


Wirduna Tripa

Berbicara tentang pemahaman dan pemerolehan dari Mata Kuliah Pengantar Aplikasi Komputer (PAK) seharusnya memang banyak hal yang wajib dipahami dengan seksama. Sederetan aplikasi dan program-progam yang tersedia dalam perangkat lunak komputer secara umum memang sangat penting untuk dikuasi. Sebab sebagaimana anjuran agama bahwa semua ilmu itu harus dipelajari dan tak ada pemilahan terapan ilmunya, begitu juga halnya dengan multi-program yang terdapat dalam komputer.

Selanjutnya, melihat penggunaan program komputer bagi saya sendiri sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, kiranya pengusaan komputer tak mesti semua program harus didalami, namun demikian ada beberapa program komputer yang memang menjadi lahan bagi saya untuk melakukan berbagai keperluan perkuliahan dan keperluan luar lainnya.

Berangkat dari aplikasi lunak komputer, juga tak terlupakan terkait pengetahuan internet. Sebab internet memberikan kemudahan dalam mengakses berbagai keperluan yang dibutuhkan. Selain itu, internet juga menjadi sebagai sebuah ruang komunikasi dengan hadirnya berbagai program mutakhir network cocial. Dalam hal ini, yang semestinya perlu dikuasai dan memperolehnya selama menjalani proses perkuliahan Pengantar Aplikasi Komputer adalah pengasaan microsof office terutama word, power point, mindmaneger dan, exel serta tak kerkecuali berbagai program lainnya yang merupakan program penunjang. Di samping itu juga yang harus diperoleh adalah pengetahuan seputar dunia maya yang sekarang sudah menjadi sebagai kebutuhan bagi setiap mahasiswa untuk berbagai keperluan.

Pengantar Aplikasi Komputer merupakan salah satu mata kuliah yang diprogramkan di Prodi PBSI FKIP Unsyiah. Program ini diarahkan sebagai jawaban untuk menghindari gagap teknologi atau sering diistilahkan “gagaptek” di kalangan mahasiswa, sangat ironis bila seorang mahasiswa tak dapat mengaplikasikan komputer dengan baik, sebab semua tugas-tugas dalam proses perkuliahan mempunyai kolerasi dengan komputer.

Jujur, selama proses perkuliahan ini berlangsung memang ada beberapa hal yang saya dapatkan, namun secara umum apa yang menjadi materi pembelajaran di mata kuliah ini telah dikuasai sebelumnya. Hal ini mungkin terdapat sedikit kekeliruan dalam penempatan tingkat semester mata kuliah, seharusnya mata kuliah PAK di diprogramkan pada semester satu. Meski belakangan program tersebut telah diubah pada semester pertama. Ada beberapa hal yang saya dapatkan selama mengikuti mata kuliah PAK seperti aplikasi mindmanager serta pengembangnya.

Berdasarkan tuntutan silbus mata kuliah PAK secara umum tuntutan capaian indikator sudah memenuhi targetnya. Sebab sesuai dengan nama mata kuliah “Pengantar” berarti tuntutan dalam mata kuliah ini adalah memberikan pemahaman bagi mahasiswa tentang pengetahuan dasar-dasar kumputer. Jadi ruang lingkup dalam mata kuliah ini dibatasi pada pengantar komputer saja. Bila mengacu pada tuntutan indikator, dapat dikatakan secara personal saya telah memperoleh pengetahuan pada mata kuliah PAK ini.

Namun dalam hal ini, saya juga ingin memberikan saran terkait ruang lingkup mata kuliah PAK, saya rasa ruang lingkup mata kuliah ini kiranya dapat diperluas lagi pada beberapa materi lainya, seperti Exel dan Page Maker/ Corer. Exel saya rasa merupakan salah satu tuntutan juga bagi mahasiswa PBSI dalam hal pengolahan data penelitian nantinya saat melakukan berbagai penelitian (jika memungkinkan ada peneliti). Selanjutnya program Page Maker/Corer saya rasa juga perlu, sebab pada semester enam ada yang namanya mata kuliah jurnalistik. Mata kuliah jurnalistik saya lihat indikator pembelajaran tersebut diharapkan mahasiswa dapat menerbitkan sebuah majalah/tabloid di akhir semester bahkan tugas tersebut sebagai final mata kuliah jurnalistik. Nah oleh karena itu, kiranya dalam mata kuliah PAK dapat menambah materi layout majalah/tabloid.

Bagi saya, setelah mengambil dan mempelajari mata kuliah PAK, sangat banyak fungsi terhadap perkuliahan. Mungkin bagi saya sendiri sudah terbiasa menggunakan teknoligi komputer dalam setiap keperluan perkuliahan, seperti mebuat makalah, laporan dan menyiapkan slide power point untuk mempresetasikan materi perkuliahan. Selain itu, kemudahan lain adalah dalam hal kepekaan terhadap internet. Internet juga memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam mencari tambahan referensi materi kuliah. Kemudahan lain juga seperti kirim-mengirim tugas atau bahan kuliah, sehingga kita dapat melakukan proses perkuliahan tampa harus face to face. Mahasiswa dapat berkomunikasi langsung antarmahasiswa serta para dengan terkait perseoalan perkuliahan melalui berbagai jejaring sosial seperti, mail, milis, face book, blog dan lain-lain.

Namun dalam hal ini dosen juga kiranya harus diprioritaskan terhadap kepekaan dalam menggunakan teknologi komputer, sehingga proses teknologi muthakhir dapat berjalan secara fungsional di Prodi PBSI. Keseimbangan ini juga merupakan salah satu pengaruh komunikasi dua arah, sehingga anatardosen dan mahasiswa sama-sama peka dalam memanfaatkan kecanggihan teknolgi dan tak kaku dengan gaya perkuliahan klasik.

Terkait sistem perkuliahan PAK menurut pandangan saya, sistem yang diterapkan oleh tenaga pengajar secara keseluruhan sudah cukup bagus. Namun dalam hal ini, berdasarkan pengalaman dan pengamatan kuliah pada kelas saya, yang menjadi sedikit kekhawatiran terhadap kenyamanan proses perkuliahan adalah faktor kuorum peserta. Seharusnya demi menjaga kenyamanan dalam perkuliahan saya pikir pembatasan mahasiswa dalam kelas juga perlu diperhatikan, sebab bila peserta telah melebihi target ideal perkuliahan justru hilangnya konsentrasi atau fokus dalam proses pembelajaran. Selain itu, tenaga pengajar pun akan kualahan untuk mengkondisikan dan mengontrol ruangan.

Selain itu, saya juga sepakat dengan sistem pelibatan mahasiswa yang dinilai telah mampu menguasai komputer sebagai fasilitator kelas. Hal ini saya lihat memberikan sebuah suasana baru dalam proses perkuliahan. Mahasiswa yang belum paham dengan materi yang telah dijelaskan dosen, maka ia langsung bisa bertanya kepada fasilitator kelas yang telah ditentukan dan mereka pun tak merasa enggan untuk menanyakan apa yang belum dapat dipahami, sebab fasilitator tersebuat adalah temannya sendiri.

Untuk fasilitas, saya rasa Laboratorium Komputer (Labkom) FKIP Unsyiah tersebut sudah sangat mewah. Hanya saja yang masih menjadi kendala adalah ketidaktersediaannya koneksi internet, sehingga dapat terkendalanya pada materi pengaplikasian internet. Mungkin ke depannya, Labkom kiranya dapat dipasang dan bila sudah ada segera untuk difungsikan, agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.

Pesona Barat Selatan



Surat Permohonan Beasiswa

Nomor : Istimewa Banda Aceh, 26 Juli 2010
Lamp : 1 berkas
Perihal : Permohonan Beasiswa Kepada Yth,
Bapak Bupati Nagan Raya
di
Suka Makmue

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

nama : Teuku Asrul
NIM : 0706102040070
tempat/tgl lahir : Suka Mulia, 15 Februari 1989
jenis kelamin : Laki-laki
agama : Islam
fakultas : FKIP
jurusan : Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia
alamat : Jl. Seroja, Gampong Ie Masen Kaye Adang

Dengan ini saya mengajukan permohonan beasiswa kepada Bapak agar dapat sudi kiranya menerima saya sebagai salah satu calon penerima beasiswa Pemda Nagan Raya tahun 2010. dengan beasiswa ini dapat membantu saya dalam menyelesaikan pendidikan saya.
Sebagai bahan pertimbangan Bapak turut saya lampirkan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Surat Permohonan
2. Fotokopi KTM 1 lembar
3. Fotokopi KHS 1 lembar
4. Fotokopi KTP 1 lembar
5. Fotokopi KTP orang tua 1 lembar
6. Fotokopi KK 1 lembar
7. Fotokopi ijazah SMA 1 lembar
8. Fotokopi slip SPP 1 lembar
9. Pas foto ukuran 3x4 cm 2 lembar

Demikianlah surat permohonan ini saya buat, atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.



Hormat Saya
Pemohon


(TEUKU ASRUL)

Meraba

Puisi| Wirduna Tripa

Tangannya meraba-raba
Ia bilang ini bukan dusta
Ia bilang ini bukan dosa
Ia bilang ini panggilan mata

“Haruskah meminta-minta?”
Tanyanya,
Bukankah tuhan tak suka kalau tangan di bawah
Meminta bukankah tangan di bawah
Sementara meraba tangan tersembunyi

Tak ada yang tahu
Dia, kamu
Malaikat pun ragu mengintip jemari pembisu
Kenapa harus malu

Meraba
Itulah pihan hidup
Terhormat tak ada yang tahu

Meraba
Meraba
Meraba
Senang....!!!!

Tak ada yang boleh melarang
Kera pelarang hanya sebatas melarang
Namun hanya jalan buntu curah pelanrang

Banda Aceh, 28 Februari 2011

Sabtu, 26 Februari 2011

Mencuri Sang Wali


Cerpen | Wirduna Tripa

Jamilah, itulah nama gadis kecil itu. Kini usianya telah menginjak lima belas tahun. Ia sekarang terdaftar sebagai siswa di salah satu Madrasah Aliyah Panti Asuhan di Koetaraja. Lima tahun sudah Jamilah melewati hari-harinya di Panti Asuhan. Hari-hari, Jamilah selalu disubukkan dengan berbagai aktivitas, siang dan malam hari, mulai dari beut, sekolah dan berbagai macam kursus ia tekuni. Hidupnya sangat terstruktur. Tak ada waktu yang ia lewati dengan sia-sia, meski banyak teman-temannya yang tak berpikir panjang dalam memanej waktu.

Para gure dan teungku-teugku panti sangat bangga padanya. Di mata para gure-nya, Jamilah adalah anak yang cerdas, pintar, rajin dan sopan santun. Ia tak pernah berjamaah dengan teman-temanya dalam hal bergosip. Selain sikapnya yang terpuji, Jamilah juga menjadi bahan diskusi para lelaki akan kemolekkannya. Tinggi semampai, badan langsing dan kulitnya sawo matang, membuat para lelaki menaruh perhatian lebih. Bahkan Teungku Idris pun sempat menaruh rasa pada muridnya yang elok itu. Namun Teungku Idris merasa belum saatnya untuk menyampaikan isi hati yang telah lama terbungkam.

Seiring bergulirnya waktu, Jamilah pun semakin dewasa dan menuntut ia untuk menata masa depan yang lebih kompleks. Teungku Idris adalah orang pertama yang ingin menghalalkan Jamilah lahir dan batin.

Seperti biasanya, ketika seorang wanita akan dinikahi. Maka ia harus mendapatkan restu atau izin dari walinya. Wali pun tak sembarang orang, tak bisa si gam panjo atau si gam bakoeng yang bisa menjadi wali nikah. Bila orang tua sendiri, itu pun harus beragama, paham dangan aturan-aturan agama serta amalannya tak perlu diragukan. Jika wali tak ada kriteria itu, maka dianjurkan seorang wali untuk ditaubatkan.

“Wali tak bisa sembarang orang” ucap Gure Ma’e, memberi penjelasan kepada Jamilah.
Jamilah hanya mengangguk-ngangukkan kepalanya mendengar tausiah dari Gure Ma’e. Gure Ma’e adalah Imum Mukim yang merangkap sebagai tokoh ulama di Mukim Koeta Jaya itu.

Hari-hari Gure Ma’e selain mengahabiskan waktu di lampoh, sebagian waktunya juga disisihkan untuk bermasyarakat. Maklumlah ia adalah seorang terpandang dalam bidang agama serta merangkap sebagai pemangku adat. Selain tausiah dan konsultasi agama, Gure Ma’e juga pemangku adat, namun sayangnya, Gure Ma’e hanya sebagai simbol adat sebagai Imum Mukim, namun delapan tahun sudah ia sebagai Imum Mukim, ia tak pernah berperan sebagai seorang pamangku adat adanya. Namun Gure Ma’e hanya berfungsi ketika ada masalah antar-gampong. Tapi Gure Ma’e tak pernah mempermasalahkannya, Gure Ma’e juga paham mungkin tugasnya selaku pemangku adat adalah sebagai penengah dari persoalan.

“Gure. Saya pulang dulu ya” pinta Jamilah.
“Assalamu’alaikum” ta’zim pisahnya.
Mundur rapi, perlahan Jamilah turun dari meunasah, hampir saja ia terpeleset dari tangga meunasah. Maklum meunasuh tersebut hampir saja usianya setengah abad. Dindingnya yang kian rapuh memberi jawaban akan usianya yang kian renta.

Perlahan Jamilah melangkahkan kaki beranjak dari meunasah Gure Ma’e.
“Siapa yang akan menjadi wali nikahku” besit Jamilah sembari ia berjalan pelan. “Apa aku tak bisa menikah tanpa adanya seorang wali? Atau aku harus mencari seorang wali?” tanya-tanya risih terus mencuat di kalbu Jamilah.

Ia bingung, akankah ia harus menghadirkan Wali Nanggroe nanti kala pernikahannya. Benaknya merawi “Wali Nanggroe’kan ada, lagi pula Wali Nanggroe’kan wali untuk semua orang yang ada di nanggroe dan itu termasuk aku orangnya karena aku adalah penghuni naggroe ini”.

Dengan hati riang, Jamilah mendatangi Meuligoe Wali Nanggroe. Ia berharap Wali Nonggre dapat menjadi wali nikahnya nanti. “Semoga Wali Nanggroe bersedia menjadi wali-ku nanti” tadahnya sembari mengamini.

“Jamilah....!!!!”
Teriak seorang areh.
“Bangun Jamilah! Salat Subuh” Jamilah pun terbangun mengangah, sambil ia berucap “asstaqfirullah...”. Ia pun beranjak dari tempat tidur.

Penulis adalah Mahasiswa Gemasastrin, Ketua Depertemen Informasi dan Komunikasi (Infokom) Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (Imabsii), juga sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra).

Titah Raja Kerdil


Sastra

Karya|Wirduna Tripa
Di ujung negeri kepulauan hijau ini, tersimpan setitik embun di bawah rereduhan pohon jelata yang sulit diketahui laqab-nya. Embun bening yang setiap pagi disapa mentari selalu memberikan kesejukan bagi mereka yang mendengarkan kabar. Kabar yang menggumam keseluruh negeri kepulauan, negeri jiran bahkan sampai ke negeri paman sam.
Peradaban tentang negeriku terhitung peka. Lembaran-lembaran sejarah masih memberi tanda tentang perjuangan mereka. Tentunya dalam mengukir peta perdaban dunia bersama rakyat jelata. Kebersamaan mereka utamakan dalam mengambil keputusan sehingga menghasilkan qanun-qanun yang relevan dan memberi ketenangan di berbagai sendi kehidupan. Barisan peta hijau gemilang. Siang malam rakyat jelata dapat memenjamkan mata dengan tenang.
Meski dulu meugo, meulaot dan berdagang sebagai profesi kehidupan, tak pernah dikesalkan. Keringat yang mengalir dari tubuh-tubuh kerdil, kecil dan hitam mendapat imbalan setimpal. “ulul’amriminkum” tak pernah pudar dari sisi kehidupan, tak punah diterjang peradan, tak kusam ditelan upah liar. Nurani jelata tak tersimpan legenda kusam, selalu memancar sejuknya embut yang hinggap di barisan ilalang, meski telah petang embun itu masih memancar bening kesejukan.
Kau bisa melihat? Semua itu sekarang hanya tersimpan dalam catatan lesuh di rak-rak jamuan bacaan. Bila kau ingin menemukan silakan berkunjung jamuan lafal, meski katalognya sembarang, tak beraturan. “Sempit catatan” mukin itu jawaban bila ada yang menanyakan. Ah… semua memang tak menentu.
Pucuk,dahan, batang, cabang bahkan sampai ke akar-akar layu dan hanya menyisakan rerantingan. Terbesit di hati untuk menebang, mehilangkan dari cacatan zaman hingga ia tak diketahui keadaan. Tinggi memang keinginan. Akan tetapi itu semua terlupakan, hilang diterpa ketakberdayaan. Ada yang mencoba menyiram batang-batang yang telah kusam, tak lama kemudian mereka pun terhapus dari catatan zaman. Hingga yang lain ciut dengan keadaan. Artikulasi terbungkam. Ada yang lantang tertahan dengan timpan. Hingga suaranya tertelan. Itulah benih-benih pecundang yang miring dengan keadaan. Benang yang telah terlintang berlahan rapuh dan kusam diterjang terik panas dan air tawan yang mengalir dari langit jingga.

Mereka telah lahir. Lihat! Titah-tinah kerajaan peninggalan sultan berteduh di bawah pohon yang hanya tinggal rerantingan. Terang-gelap bumi selalu dibasi air yang terjun tanpa henti dari bawah penerang bumi. Sungai dan parit-parit yang lurus berdiri semua tergenangi. Tetapi pohon kerdil ini tak pernah menyerab pemberian sang pengatur alam ini.
Dedaunan kian jatuh menepi. Peristiwa aneh pun kerap mengahantui. Batang dan cabang pohon kerap bermimpi, hingga dedauan layu dan turun ke bumi. “Batang ini masih sangat muda, tentu bukan usia, hanya bisa dijadikan tangga. Sungguh tak tepat bila ia penopang istana” usia pohon memang terhitung lama, tak cukup jemari tuk menghitungnya. Bahkan ditambah denga kedua kaki masih belum memadai. Mukin karena pohon itu berada di tepi kali yang dikelilingi tanah liat mati.

Penulis, Ketua Umum Gemasastrin FKIP Unsyiah 2009-2010 Ketua IPELMASRA, 2010-2012

Rekam Jejak Mukim Aceh


Jurnalisme| Wirduna Tripa

Dilihat dari usia, Pemerintahan Mukim memang sudah sangat usang. Berdasar catatan sejarah, pemerintahan mukim telah lahir di Aceh sejak beberapa abad silam. Pertama sekali, Pemerintahan Mukim ini dicetuskan pada dinasti Sultan Iskandar Muda, itulah awal kelahiran pemerintahan mukim di Aceh.

Senada dengan hal itu, Ketua Majelis Adat Aceh, H. Badruzzaman Ismail, S.H., M.Hum., mengatakan bahwa, mukim dulunya dikala Aceh masih dijajah Belanda sangat bagus fungsinya dan mempunyai peran yang jelas dalam menata pemerintahan mukim. Meski kala itu Belanda yang menguasai Aceh, namun para penjajah tak ikut campur dalam urusan pemerintahan mukim.

Kehadiaran mukim kala itu memberikan kontribusi penuh terhadap masyarakat. Mulai dari kontribusi pembinaan sampai pada pengembangan berbagai hal yang ada dalam mukim-mikim. Mukim senantiasa menjalankan perannya dalam mengatur masyarakat yang kemudian dibantu oleh Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seuneubok dan Haria Peukan. Keempat unsur ini merupakan wilayah kerja mukim yang telah diatur berdasarkan wilayah masing-masing.

Fungsinya dalam keempat aspek tersebut memberi kontibusi yang signifikan terhadap pembangunan fungsional masyarakat, baik penididkan, agama dan, perekonomian “Masyarakat mendapatkan pembinaan dari pemerintahan mukim dalam mengelola dan melaksakan berbagai hal” ungkap Badruzzaman. Lebih lanjut ia menyampaikan, namun kala itu imum mukim di bawah kedudukan para Ule Balang. Jadi segala sesuatu yang dilaksanakan oleh Mukim tetap di bawah koordinasi Ule Balang. Mukim dulunya adalah lembaga yang mengutip pajak dari sumber daya alam yang dikuasai mukim masing-masing, dan pajak yang dikutip mukim disetor kembali ke Ule Balang, kemudian Ule Balang baru berhubungan langsung dengan Belanda. “Mukim bertugas juga untuk mengutip wase-wase (istilah lain pajak) dari masyarakat”, tambahnya.

Ketika the Chiek menanyakan tentang kondisi mukim masa kemerdekaan, Jadi begini, mulainya, Kedudukan Mukim secara struktural dan fungsinya masih sama seperti masa kemerdekaan. Namun mukim mulai dimarjinerkan ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang tahun 1979 yang mengeragamkan segala lini struktural pemerintah, sehingga saat itulah mukim dibekukan dari peran dan fungsinya.

Keputusan UU yang meyeragamkan kearifan loklal tersebut mendapat protes kuat di beberapa provonsi yang tak sepakat dengan penyeragaman tersebut, provinsi yang tak sepakat adalah Aceh dan Padang. Namun akhirnya pemerintah memberikan keweangan bagai provinsi tersebut untuk mendirikan dan mengatur sendiri masah pendidikan, adat dan kedudukan lembaga Islam “Itu dilakukan untuk meredam konflik saja” kata lelaki yang pernah ikut serta saat perundingan MoU di Helsinki.

Berlanjut pada masa konflik, kedudukan mukim pun begitu tersudut karena kondisi konflik. Meski pun kedudukan mukim diakui kembali dengan dikeluarkannya Qanun No. 4 tahun 2003. Setelah itu pun bernajut ke masa desentralisasi, ia melihat mukim juga tak mempunyai fungsi yang strategis dalam pemerintaha “mukim terkesan hanya sebagai simbol saja, saya lihat pemerintah tak berniat baik dalam penerapan mukim ini” tandasnya.
Mungkin dalam hal ini, ungkap Badruzzaman, pemerintah harus lebih serius dalam mengembalikan peran dan funsgi mukim di Aceh, sehingga nantinya mukim dapat menjadi sebagai sebuah model pemerintahan Aceh yang memusatkan pada rakyat, sebagaima yang telah dibuktikan pada masa kesultanan dulu. Selain itu, tambhanya, masyarakat dalam hal ini juga harus mempunyai kesadaran untukmenyembalikan khasanah adat Aceh yang sudah sekian lama terkikis masa. Adat adalah warisan lelulur yang dimiliki masyarakat dan masyarakat pulalah yang harus mengembalikan harkat dan martabat kearifan lokal ini “kita masih berharap agar masyarakat yang menjadi penggreak untuk mengembalikan keutuhan pemerinhan mukim ini” harap pemerhati adat itu.

Mengharap Akan Kedaulatan Mukim

Jurnalisme
Wirduna Tripa

Sore itu, tak lama selepas asar, suasana di salah satu warung kopi di kawasan Tungkop, Darusalam tampak dipenuhi pelanggan. Di sudut depan warung tampak dua orang lelaki menempati salah satu meja. Ia duduk tegap sesekali ia menoleh ke arah jalan, tampak ia seperti sedang menunggu seseorang. Baju batik khas Aceh melekat ditubuhnya. Lelaki berpostur tubuh tegap dan berkulit sawo matang terlihat begitu bersahaja, akrap menyapa dan ia tak sukar tersenyum, apalagi senyumannya bertambah manis dipadu kumis tipisnya. Ia termasuk salah seorang penikmat mie aceh ala Warkop Mie Dun Tungkop. Sore itu pun meja yang ia duduki juga terlihat beberapa porsi mie aceh siap saji, serta ditemani segelas jus wortel.

Lelaki itu adalah Asnawi. Bagi warga Mukim Siem, nama Asnawi memang tak asing lagi. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, konon lagi yang tua-tua, nama Asnawi memang sudah sangat familiar dan sulit untuk dilupakan. Mengapa tidak, pasalnya Asnawi adalah sosok pemangku adat tertinggi di Mukim Siem. Dalam struktural Mukim Siem, lelaki kelahiran 13 Juli 1967 adalah nahkodanya.

Asnawi resmi dilantik menjadi Kepala Pemerintahan Mukim Siem pada awal Mei 2009 lalu. Meski ia baru menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Mukim Siem baru dua tahun, namun pengalamannya di dalam dunia mukim tak seperti usia jabatannya sebagai Imum Mukim. Mengapa tidak! Karena ia bergelut di dunia mukim sejak tahun 1998 dan jabatannya pun sangat strategis yaitu sebagai Sekretaris Mukim Siem. Bukanlah waktu yang singkat bila dimulai sejak ’98. Fantastis.

Asnawi adalah putra asli Aceh Besar. Ia sekarang menetap di gampong Lamreh, Mukim Siem, Kecamatan Darusalam Aceh Besar. Asnawi pertama sekali mengecam pendidikan di SD Negeri Siem selanjutnya ia melanjutkan ke SMP Negeri Darusalam. Selain itu ai juga terdaftar di SMA Negeri 5 Banda Aceh. Mengingat pendidikan sangatlah penting, ia pun tak mencukupkan pendidikannya hanya usai di bangku SMA saja. Dengan semangat pendidikan tinggi, akhirnya ia pun memilih Fakultas Hukum Unsyiah sebagai ladang pengembangan potensi.

Lantas, mangapa sarjana hukum tersebut mendedikasikan sebagian usianya di dunia pemangku adat tingkat mukim?

Di mata Asnawi, menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Mukim adalah sebuah tanggung jawab moral. Menurutnya dalam hal Pemerintahan Mukim sebenarnya bukan saja semata tangung jawab Kepala Pemerintahan Mukimnya, akan tetapi ini adalah tanggung jawab semua warga masyarakat yang merupakan pemangku adat secara fungsional dalam masyarakat. Menjadi Kepala Pemerintahan Mukim adalah menjalankan amanat dan kepercayaan dari masyarakat untuk membina dan menjalankan serangkaian tugas adat.

menjaga khasanah budaya Aceh
Lebih lanjut Asnawi melihat bahwa khasanah adat dan kebudayaan Aceh ini merupakan tanggung jawab setiap generasi untuk menjaga dan menyelamatkan adat dan kebudayaan yang kini kian terkikis seiring kemajuan zaman. Bila hal-hal terkait adat dan budaya Aceh tidak ada perhatian dari kalangan tua sekarang, maka dapat dipastikan, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, generasia muda Aceh nyaris tak tahu apa itu Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan dan beragam perangkat pemerintahan adat lainnya akan lenyap dari peta kultural Aceh. Kawatirnya.

Bila kita mengkaji sejarah Aceh, kedudukan mukim adalah salah-satu unsur adat resmi dalam pemerintahan adat Aceh. Bahkan segala aspek tak terlepas dari kontrol dan peran mukim. Secara wilayah kerja pun mukim membawahi beberapa gampong. Dalam istilah bahasa Aceh, luas wilayah mukim mengunakan barometer si uroe jak, si uroe wo.

Wacana untuk mengatur pemerintahan sendiri juga mengelinding di Aceh. Melalui UU no. 18 tahun 2001 dan dikuatkan dengan UU no. 11 tahun 2006, Aceh pun mulai memyiapkan diri untuk menjadi daerah yang menjunjung tinggi kebudayaan dan adat istiadatnya dengan mengembalikan struktur pemerintahan gampong (Qanun no. 5 tahun 2003) dan mukim (Qanun No. 4 tahun 2003). Pada tingkatan struktural pemerintahan, pengembalian istilah gampong dan mukim telah berubah kembali peta pemerintahan adat Aceh, namun sejauh ini terkesan hanya sebatas mengembalikan nilai romantisme lama saja. Karena dalam hal pelaksanaannya, tidak ada bedanya dengan apa yang diatur di dalam UU No. 5 tahun 1979.

Pemerintahan Gampong dan mukim hanya sebatas pergantian nama dari kepala desa, dan ini terkesan hanya sebatas untuk meredamkan konflik di kalangan masyarakat Aceh. Sama halnya seperti seorang anak-anak yang diberi permen untuk mendiamkan tangisnya. “Mukim hanya sebagi simbol saja, bila memang tak sanggup pemerintah mengeksistensikannya lebih baik bubarkan saja” Jelas pria mantan aktivis PMI Aceh tersebut.

Padahal, lanjutnya, Secara tegas lembaga-lembaga adat tersebut di dalam UUPA merupakan bukti bahwa Pemerintahan Republik Indonesia, disatu sisi mengakui eksistensi kekayaan budaya Aceh, dan disisi lain merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.

Selanjutnya, bisa juga dicermati dalam Pasal 98 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan, lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban mesyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga-lembaga adat tersebut menurut ayat (3) Pasal 98 UUPA adalah: 1. Majelis Adat Aceh, 2. Imeum Mukim, 3. Imeum Chik, 4. Tuha Lapan, 5. Keuchik, 6. Imeum Meunasah, 7. Tuha Peut, 8. Kejruen Blang, 9. Panglima Laot, 10. Pawang Glee, 11. Peutua Seuneubok, 12. Haria Peukan, dan 13. Syahbanda. Ulas alumnus Fakultas Hukum Unsyiah itu.

Namun dalam hal ini, Asnawi melihat bahwa pemerintah terkesan kurang serius dalam mengembalikan kedaulatan Mukim. Peraturan-peraturan tentang mukim hanya sepintas simbolisasi saja, yang tak tahu fungsi dan perannya. “Mukim sekang bak sapi ompong” ungkap Asnawi denga tawa kecil.

Ia berharap, agar pemerintah dapat lebih serius dalam mengembalikan kedaulatan mukim sebagaimana dulu kala. Lanjutnya, Pemerintahan Aceh terkesan tak lagi mempedulikan terhadap nilai-nilai sosiokultural keacehan yang kian hilang dari tatanan masyarakat. “Pemerintah harus lebih serius-lah, dalam menyelamatkan kedaulatan pemerintahan adat Aceh” harapnya.

Meski kurangnya perhatian pemerintahan untuk mengembalikan kadaulatan adat dan kebudayaan Aceh, namun ia tetap akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan khansanah adat Aceh, meski sebatas kemampuannya yang serba terbatas itu. Karena dalam pandangannya, menjaga adat dan kebudayaan Aceh tugas setiap orang yang mempunyai loyalitas terhadap warisan po teumeureuhom.

Rabu, 23 Februari 2011

Gersos, Tumbuh Dari Kaum Tertindas


Jurnalisme
Wawancara : Wirduna Tripa dengan Otto Syamsuddin Ishak


Kapan munculnya gerakan sosial (Gersos) masyarakat Aceh dan bagaimana pandangan anda dengan perjalanan gerakan tersebut?
Gerakan sosial masyarakat Aceh sudah muncul sejak tahun ’75. Ketika itu, gerakan sosial tumbuh atas dua buah fokus isu yang berbeda, yaitu isu lokal (Aceh) dan isu nasional (Indonesia). Fokus utama pergerakan sosial era reformasi tersebut adalah mendesak agar dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dan secara bersamaaan pergerakan tersebut juga menjadi mobile di era reformasi untuk menjatuhkan Seokarno.

Apa menyebabkan munculnya Gersos di Aceh dan siapa yang memotorinya?
Salah satu faktor munculnya gerakan sosial di Aceh adalah karena masyarakat Aceh ingin mengkritisi sistem pemerintahan dan implementasinyya yang tak sesuai dengan apa yang telah diatur, oleh karena itulah sebagian masyarakat Aceh tergugah hatinya untuk membentuk pergerakan guna menanggapi hal tersebut.
Gerakan sosial ini pada mulanya hanya dimotori oleh kaum-kaum tertindas akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh. Priodisasi konflik Aceh terdiri dari beberapa fase dan tak sedikit menewaskan masyarakat Aceh kala itu. Para kaum tertindaslah yang awalnya berinisiatif untuk mencetuskan gerakan sosial di Aceh.

Apa dampak yang signifikan dari pergerakan tersebut?
Hakikat munculnya gerakan sosial karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat, baik kepuasan hak atau politik. Dampak yang signifikan dari gerakan sosial ini adalah tercapainya aspirasi masyarakat yang mungkin terbungkam atau tak diketahui publik. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan suatu gagasan dan perubahan dalam tatanan pemerintahan. Dengan kata lain, gerakan sosial ini adalah suatu kritikan atau teriakan duka dari masyarakat yang memang harus dibenahi serta mendapat perhatian dari semua pihak untuk mencari solusi permasalahannya.

Bagaimana anda melihat pergerakan sosial pra-MoU Helsinky dan pergerakan sosial pasca-MoU Helsinky?
Sebenarnya tak ada yang membedakan antara pergerakan yang dibangun praperdamaian dan pascaperdamaian, keduanya adalah pergerakan yang bertujuan untuk mencapai perubahan. Hanya saja yang membedakannya adalah isu yang menjadi tuntutan atau fokus dari pergerakan tersebut.

Pascaperdamaian dulu, pergerakan sosial yang dibangun adalah untuk mengembalikan kedaulatan Aceh, yang dinilai selama beberapa tahun setelah kemerdekaan NKRI, Aceh tak pernah mencium nikmat kemerdekaan. Hal itulah yang melatarbelakangi masyarakat Aceh untuk menarik diri dari republik.
Sementara, pergerakan sosial pasca-MoU adalah suatu pergerakan yang dibangun oleh masyarakat untuk mengontrol jalannya perdamainnya serta menjembatani keadilan bagi korban konflik Aceh. Namun dalam hal ini yang sangat saya sedihkan adalah sikap pemerintahannya Aceh yang saya nilai tak sepantasnya membiarkan para korban konflik yang hanya memninta haknya 4 kg beras tak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah, meski mereka meminta dengan bentuk pergerakan sosial.
Dulu ketika komplik mereka adalah barisan depan yang memberikan semangat pergerakan kepada masyarakat untuk mengembalikan kedaulatan Aceh dalam berbagai aspek. Namun sekarang ketika mereka sudah berhasil masuk ke dalam sistem pemerintahan, malah seruan pergerakan yang pernah mereka suarakan dulu parau di tengah jalan.

Apakah hanya ketika melarat memerlukan rakyat?
Bagaimana Anda melihat respons pemerintah (Aceh) terhadap pergerakan sosial yang dibangun oleh masyarakat saat ini?
Saya melihat pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa dan masyarakat sangatlah signifikan. Namun, belakangan ini saya memperhatikan ada sebagian elit yang beranggapan bahwa gerakan sosial propokatif. Bila ada sebuah pergerakan yang bersuara, maka dikait-kaitkan dengan isu-isu politis. Misalnya kalau ada massa yang berunjuk rasa, sebagian elit mengangap itu adalah titipan atau massa yang diboncengi oleh pihak tertentu.
Harusnya dalam hal ini pemerintah lebih responsif dan apresiatif terhadap peregerakan yang dibangun oleh masyarakat, sebab itu adalah sebuah bentuk kritikan demi perbaikan ke depan. Janganlah terlalu cepat berprasangka negatif terhadap gerakan-gerakan yang dibangun oleh masyarakat.

Apa yang menjadi catatan Anda untuk pemerintah dari kilas balik peregrakan sosial masyarakat Aceh?
Saya yakin, orang-orang yang sekarang menjabat di pemerintahan Aceh adalah orang-orang terpilih, baik di eksekutif maupun legislatif. Harapan saya semoga para elit yang sedang mengemban tugas untuk mengembalikan kedaulatan Aceh sedikit tidak harus menjiwai gaya hidup demokrasi. Pemerintah yang normal dalam berdemokrasi dalah pemerintah yang terbukan dan senantiasa menerima kritikan dari berbagai kalangan. Nah, bila ada pemerintah yang tak terbuka dalam berdemokrasi maka itu namanya pemerintah yang up-normal

Perjalanan Gerakan Sosial Aceh


Jurnalisme
The CHIEK|Wirduna Tripa

Bila kita sedikit mengintip kilas balik perjalanan peradaban Aceh, maka tak terlepas dari sejarah-sejarah pergerakan dan nilai perjuangannya yang begitu kental tertanam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini juga tak terlepas dari karakter masyarakat Aceh yang berjiwa keras, tegas dan, mandiri. Masyarakat yang enggan mengucapkan kata-kata ‘menyerah’ “leubeh get puteh tuleung nibak puteh tapak”.

Senada dengan hal ini, Drs. Husaini Ibrahim, M.Pd., juga mengungkapkan bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang sedari dulunya memang sangat kental dengan jiwa-jiwa pergerakan dan perjuangan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa Sultan dan Sultah yang pernah menahkodai kesultanan Aceh tempo dulu. Mereka menanamkan jiwa perjuangan dan pergerakan kepada masyarakat. Sebab, dengan menanamkan jiwa perjuangan akan memperkuat jiwa nasionalisme masyarakat terhadap bangsa dan pemerintahan. Sebut Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala, saat ditemui the CHIEK di ruang kerjanya.

Ia melanjutkan, Dulu di pasca runtuhnya tampuk kepemimpinan Sultan Daud Syah, yang berhasil ditangkap oleh Kolonial Belanda pada periode akhir kasultanan Aceh, juga munculnya sebuah perlawelah dan yang maha dahsyat meski akhirnya kerajaan berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Namun, meskipun Istana beralih ketangan Belanda, masyarakat Aceh tetap tak mau tunduk kepada penjajah. Bahkan hal tersebut memancing sebagian besar masyarakat Aceh untuk membangun pergerakan-pergeran baru. Tak mau tunduk meski kerajaan sudah dikuasai kolonial, dan kematianlah yang dapat menghentikannnya perjuangan rakyat Aceh kala itu, Sebut Husaini, yang juga merupakan Dosen tetap pada Prodi Sejarah FKIP Unsyiah.

Husaini menyebutkan, bahwa itulah yang membedakan suku Aceh dengan Jawa. Aceh tak pernah ada kata tunduk atau takluk, meski Istana telah berhasil direbut oleh orang lain, sementara orang Jawa tak seperti itu. Orang Jawa justru tunduk dan mengikuti Belanda bila kerajaannya sudah ditaklukkan.

Munculnya Pergerakan
Pasca runtuhnya Sultan Daud Syah, Kala itu, Aceh mengalami pergeseran dalam berbagai aspek, baik perekonomian, politik dan sosial. Secara structural, kesultanan Aceh saat itu telah dipegang oleh Belanda, namun, disisi lain masyarakat Aceh justru tak mengakuinya sebagai tampuk keemimpinan Aceh. Tak berterima dengan kondisi tersebut hingga munculah pergerakan pergerakan kecil yang bertujuan untuk menggojang penjajah yang telah menguasai Istana. Meski awalnya peregrakan tersebut hanya dimotori oleh beberapa orang dan bersifat rahasia. Lambat laun, kelompok kecil tersebut berhasil melebarkan sayapnya ke beberapa wilayah di seluruh Aceh dan berhasil merekrut anggota yang siap menjadi pagar besi pergerakan.

Perputaran waktu pun silih berganti, akhirnya pergerakan yang dimotori oleh Teuku Chiek di Tori dan para ulama pun tercium oleh Belanda. Merespon isu tersebut, Belanda pun siaga satu. Dan mereka pun langsung mempersiapkan balatentara untuk menggempur pasukan pergerakan yang dimotori Teuku Chiek di Tiro tersebut, ulas Husaini.

Lanjutnya, puluhan tahun pergerakan terus mewarnai rakyat Acehdan akhirnya pergerakan yang dictuskan Teuku Chiek di Tiro akhirnya diteruskan oleh generasi penerusnya, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia dan lainya, “Tak pernah putsu-putus jiwa perjuangan dalam kehidupan masyarakat Aceh, hal ini karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pantang menyerah” imbuh Dosen senior.

Selain itu, tambah Husaini, Aceh dulu juga pernah terjadi konflik sesama suku, yaitu perang Cumbok, perang antara sebagian Ule Balang yang terkontaminasi oleh Belanda dengan para ulama. Perang ini sengaja disusun oleh pihak Belanda dengan memanfaatkan Ule Balang, yang kemudian diadu domba dengan para tokoh dan ulama Aceh.

Posisi adat dalam masyarakat
Dalam kesempatan yang sama, Husaini juga mengutarakan, bahwa masyarakat Aceh dulunya sangat beradaptasi terhadap kearifan local yang mememang sudah menjadi warisan lelurnya. Semua hirarki adat dalam kesultanan berfungsi dengan baik, dan dampaknya pun sangat signifgikan terhadap rakyat. Sebab dalam adat Aceh semua telah diatur tentang berbagai dimensi kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh dulunya dalah masyarakat yang sangat patuh terhadap ketentuan-ketentuan konvensional. Hal ini karena telah ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma hukum. “Dulu, bila ada orang yang berbuat salah, tak segan-segan mendapatkan sanksi yang sesuai dengan kesalahan. Namun, dalam masyarakat Aceh ada dua buah sanksi, yaitu, sanksi adat dan sanksi hukum. Bila kesalahn dapt diselasaikan dengan sanksi adat, maka tak sampai ke ranah hukum. Hal ini karena masyarakat Aceh lebih suka mencari jalan bijak untuk menyelesaikan setiap persoalan” Jelas Husaini.

Sementara itu, dalam konteks pemerintahan sekarang, Husaini melihat bahwa pemerintahan sekarang tak membangun nialai demokrasi kepada masyarakat, akan tetapi demokrasi hanya dalam kinerja dan sistem dan tak sepenuhnya partipasi masyarakat. Inilah yang membedakan serang dengan masa dulu. Di masa kesultanan dulu tak ada yang namanya sistem domokrasi dalam kesultatan/pemerintahan, akan tetapi meski tak bersistem domokrasi, namun dalam kehidupan masyarakat tertanam nilai demokrasi yang sangat tinggi.

Goresan Kasih

Karya Wirduna Tripa

Kawan
Terima kasihku telah mengenalimu
Meski tak lama, namun dengan waktu yang hanya secengkal
Kau telah memberi sedikit cahaya dalam segenap poros lintasan usiaku

Kau memang berdiri tegap dan membisu
Membisu kata-kata
Nihil akan suara
Namun ku tahu kalbumu tak seperi itu

Segenap sisa usia kau hadiahkan
Tuk menjadi sumbu-sumbu
Kau rela membakar hayatmu tuk mendidihkan kepekaanku akan maha tahu
Meski kau masih ragu kenyataan tak seperti harapannmu
Aku tak tahu kata apa yang tepat tuk menyapamu
Teman, guru, kekasih sulit tuk menentukan sapaan itu

Lama sudah kita mengukir beragam cerita di sisi
Cerita-cerita itu akan selalu membeku dibenakku
Ku rasa sampai malaikat menuntunku
Tak dapat terlupakan ribuan kisah usang antarakau dan aku
Dan bocah-bocah pengkelana itu

SMA 4
Ya... itulah nama gerbong maha tahu
Gerbong penghantar cita
Gerbong pelipur lara, gerbong yang membawa segenap putra generasi negeri ini
Ia tak pernah pilih kasih
Kaya, miskin tak jadi lirih

Mungkin kata terima kasih tak cukup tuk mengakhiri jumpa ini
Mungkin sebuah cendramata tak mewakili keadaan ini
Tapiku rasa ketulusan hatilah sebagai pengganti
Meski waktu telah memisahkan kita
Jarak membatasi gerak
Namun itu bukalah dinding pemisah diantara kita

Terimalah salam cinta kasihku
Meski kita tak lagi menyatu
Yakinlahku tetap di sampingmmu
Ya
Tetap di sampingmu

Banda Aceh, Januari 2011

Tulak Bala, Sebuah Rutinitas


(Sebuah kelaziman masyarakat poros barat-selatan Aceh)


Wirduna Tripa

Sebulan yang lalu saya pulang ke gampong, tepatnya di Tripa, nyakni satu gampong yang terletak di Kabupaten Ngan Raya, dua hari sesampai di gampong ternyata tepat dengan sebuah momentum yang tak pernah dilewari oleh masyarakat Aceh umumnya dan digampong-gampong khususnya. “Singoh beungoh tulak bala, malam nyoe rabu abeh” demikian kata Syarifuddin yang akrap disapa Pak Yeuk.
Keesokan harinya muda-mudi bahkan orang-orang yang sudah usianya senja di gampong saya ikut memadati Pante Suak Dama. Pantai itu adalah salah satu dari beberapa pantai yang terletak di Kabupaten Nagan Raya. Suasana pantaitersebut masih sangat segar dan dipenuhi dengan pepohonan mahoni, dan pohon arun yang masih menginjak usia dini. Pepohonan yang direboisasi pascatsunami itu seakan memberi kesejukan tersendiri, di samping itu, hawa sejuk pun di tepi pantai menyapa tubuh manusia di pagi hari.
Beberapa gubuk kecil milik sebuah cafe tegap di bawah-bawah pohon tersebut. Di hari-hari libur biasanya banyak pemuda bermain-main ke situ. Namun pada hari rabu abeh ituratusan manusia menyesaki gubuk-gubuk tersebut. Cafe-cafe tersebut terbuat dari pohon bambu yang diatapi daun rumbia kering. Tak kecuali di pojok-pojok pantai beberapa pasangan muda-mudi yang masih dipertanyakan ikatannya tampak bermesraan di bawah-bawah pohon.
Sengaja saya mengamati peristiwa itu. Gas sepeda motor pun saya turunkan agar semua dapat teramati apa adanya. “Apa seperti ini tulak bala” batinku.
Entah karena sudah hampir tujuh tahun saya berenjak dari gampong sehingga tak tahu dengan perubahan yang telah terjadi di tanah kelahiran sendiri. Beberapa tahun lalu ketika saya masih menduduki bangku kelas tiga SMP, sengingat saya peringatan tulak balak bukan seperti yang saya lihat hari itu
Dulu ketika malam rabu abeh tiba, semua masyarakat gampong, tak terkecuali tuw-muda, anak-anak, bahkan yang balita pun ikut memadati masjid. Sementara kaum ibu pada siang harinya sibuk menyiapkan bu kulah yang dipadu dengan ikan-ikan yang berasal dari lembah atau rawa-rawa, yang biasa disebut eungkot paya. Kala itu rawa-rawa memproduksikan ikan-ikan yang melimpah ruah, bahkan sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada potensi rawa.
Malam harinya, para jamaah masyarakat memenuhi masjid dan mereka pun membacakan doa tulak bala atau seriang disebut dengan ya latif, lantunan zikir terus keluar dari banyak mulut di masjid itu. Seusai pembaan ya latif, seluruh warga berjalan kaki mengelilingi sepanjang jalan dan lorong-lorong yang ada di gampong, sambil melantunkan zikir ya latif. Barisan depan biasanya para syeihk atau teungku-teungku yang merupakan pemandu zikir. Di samping kiri dan kanan biasanya para pemuda yang berperan sebagai pemegang obor untuk memberi sedikit cahaya.
Setelah selesai zikir, para jamaah pun berkumpul kembali ke masjid. Beberapa saat di masjid barulah mereka membubarkan diri ke kediamannya masing-masing.
Sementara itu, keesokan harinya ada masyarakat yang merayakan tulak bal di sungai. Biasanya saat menjelang tulak bala, sepanjang Krueng Tripa dibanjiri warga untuk melakukan ritual pelepasan rakit. Saya masih sangat ini memori tulak bala satu dekade silam. Tepat pukul 10.00 WIB. Sebagian masyarakat telah berkumpul di teupin-teupin untuk melepaskan raket bak pisang di sungai itu. Keramaian tercipta seraya lafal doa dan mengaharap dijauhkan dari marabahaya seusai melepaskan rakit.
Rakit tersebut tentu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Di atas rakit tersebut dipenuhi makan-makanan, seperti bu kulah, ayam bakar, buah-buahan, apam, serta turut dihiasi dengan bunga-bunga yang menebarkan wewangian. Tak lama setelah matahari mulai condong ke ufuk barat, secara berjamaah masyarakat melepaskan rakit. Rkit tersebut dilepaskan oleh pawang “Nyoe jeu gata, bek neupeukaru-karu kamoe”, ucap Pawang seraya melepaskan rakit.
Di balik mitos para kaum tua, ada sesuatu yang sangat menarik. Ketika rakit telah dilepas ke hilir, teman-teman saya pun telah bersiap-siap untuk menanti rakit berkah tersebut, tepatnya di bengkolan sungai. Tanpa menunggu lama, saya pun menghampiri mereka untuk memuluskan rencana yang telah kami planing-kan sebelumnya. Target kami adlah mengambil makanan yang ada di rakit yang dihilirkan itu.
“Nyoe manok keu jhen hai, ka talantak le tanyoe” kata seorang teman saya ketika menyantap ayam panggang hasil tangkapan hanyutan warga. Kami paham bahwa makan tersebut dipersembahkan untuk mahkluk gaib, seperti kepercayaan sebagian masyarakat gampong. Kami juga paham bahwa rutinitas rabu abeh itu untuk menolak bala. Tetapi entah kenapa, iming-iming ayam panggang pun melenyapkan mitos para tetua. Kami pun menghabiskan makanan tersebut sebelum sampai pada mahkluk gaib, sebagaiman hajat warga setempat. Entahlah!

Renta


Karya Wirduna Tripa


masa
Kau telah tutup usia tuk melambaikan tangan
pada dataran tempat mereka bersua
semua tanda telah kau lukiskan
di tembok-tembok pembatas usia

Aku tahu
sebenarnya kau belum mau tuk pamit dari dataran ini
tanpaknya kau telah bosan dengan ulah para bedebah telanjang
mereka mengolok-olokmu
mereka menganggapmu angin berlalu

banyak sudah kau lukiskan itu di tembok-tembok
sapaan, senyuman, teguran,
bahkan petaka kau berikan,
seolah mereka bukan insan.

Kau pasti sudah tak sabar
Tak sabar tuk menghilang
Meski mereka tak berbekal
Dan melupakan masa depan

Pak Rektor Jangan Tinggalkan Kampus!



Menjelang gasak-gasuk isu Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), nama Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof. Dr. Darni M. Daud, M.A., mulai familiar di kalangan masyarakat Aceh. Isu maju Rektor Unsyiah akrab diperbincangkan di mana-mana. Bahkan menurut kabar ia telah membentuk skenario untuk dapat merebut kursi nomor satu di Aceh pada Pemilukada mendatang.


Sebuah keyakinan ia ingin hijrah dari sosok akademisi menjadi politisi. Memang keran demokrasi terbuka lebar bagi setiap warga negera yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin negeri, tanpa dibatasi oleh profesi. Namun akankah idealisme akademisi akan sanggup dipertahankan ketika berpindah ke lahan yang lebih pragmatis.

Entah gerangan apa sehingga Darni begitu serius untuk mengambil bagian dalam pesta demokrasi di Aceh. Padahal ia pun baru saja dilantik kedua kalinya sebagai rektor Unsyiah periode 2010-2014, setelah memperoleh kemenangan pada pemilihan senad beberapa bulan lalu. Padahal Unsyiah juga merupakan lahan basah yang juga incaran banyak orang. Mungkinkah ia maju karena ingin memperbaiki negeri ini terlebih dalam bidang pendidikan di Aceh, karena ia adalah Bapak Pendidikan Aceh. Ataukah keinginan ia maju hanya untuk menggarap lahan basah baru yang potensialnya lebih subur.

Mungkin beberapa waktu lalu Pak Rektor masih bingung perahu mana yang akan dinaikinya atau ia menunggu nahkoda mana yang akan menjemputnya. Namun kekhawatiran itu hilang seketika melalui putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mengesahkan untuk wilayah Aceh dibukanya jalur independen pada Pemilukada mendatang. Sehingga Darni tak lagi ambil pusing perahu mana yang akan ia naiki untuk berlayar di lautan pemilukada nanti. Mungkin ini adalah petuah baginya sebagai sosok akademisi yang berambisi untuk memimpin negeri ini. Cocokkah sosok akademisi untuk memimpin negeri ini? Memang Aceh saat ini membutuhkan sosok pemimpin yang kaya akan teoritis sehingga pemimpin mempunyai sebuah konsep untuk membangun negeri. Namun uji kelayakan juga patut dipertanyakan, tentu dengan melihat kilas balik sepak terjangnya.

Sebenarnya bila dilihat dari posisinya, Darni sekarang adalah orang yang sangat dikagumi dan disanjung oleh masyarakat Aceh, mengapa tidak karena fungsinya di Aceh sebagai pompa darah “Jatung” dalam tubuh Aceh. Dilihat dari posisi dan fungsi sangatlah strategis. Fokus dan menjalankan fungsi sesuai dengan profesi mungkin itu lebih tepat dan mulia.

Berangkat dari hal itu, saya ingin sejenak mengajak untuk melihat kondisi Jantong Hate Rakyat Aceh, yang sedang melarat dan sekarat. Apalagi sekarang Jantong Hate Rakyat Aceh sedang mengindap lefel. Saya rasa alangkah lebih eloknya Pak Rektor menyembuhkan dulu penyakit “jantong” di tubuh “jantong hate rakyat Aceh” yang sedang dalam kondisi kritis. Karena bila penyakit itu diabaikan dan tak ditangani secara intensif dikhawatirkan akan ladeu’ah dan sulit untuk di obati. Apalagi tabibnya dialihtangankan ke tabib lainya yang mereka tak tahu mengapa ia sakit dan sejak kapan ia mulai sakit. Justru akan memakan waktu yang panjang untuk beradabtasi sementara kondisi kampus jantong hate rakyat Aceh dalam keadaan ladeu’ah.

Segelumit masalah yang sekarang sedang terjadi di kampus kebanggaan jutaan rakyat Aceh. Namun tak banyak masyarakat tahu tentang kondisi Unsyiah dalam keadaan kritis. Mereka masih menggantung harapan besar pada kampus yang dijuluki jantong hate rakyat Aceh ini. Mendengar nama Unsyiah saja mereka terharu, konon lagi ada kerebat-kerabatnya yang kuliah di Unsyiah sudah merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Aceh. Begitulah gaung Unsyiah yang begitu megah bagi masyarakat Aceh. “Aneuk lon kuliah bak Unsyiah” ucap para orang tua dengan penuh rasa bangga. Namun gaung dan kebanggaan itu perlahan lenyap dari benak masyarakat Aceh seiring surutnya tingkat kualitas Unsyiah dengan memperoleh akreditasi C. Bukankah sebuah fenomenal yang mencoreng peta pendidikan Aceh. Kampus banggaan dan nomor satu di Aceh memperoleh akreditasi C. Meski pun banyak suntikan dana dari berbagai aliran. Kemanakah dana itu disuntik? Ataukah over dosis suntikan sehingga membuat “Jatong” mengindap lever.

Belum lagi kekhawatiran para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Unsyiah. Khususnya bagi mahasiswa angkatan perdana (2007), mereka bagai “simalakama” ingin menyiapkan kuliah akreditasi FISIP masih dalam awang-awang, ingin menunggu sampai terakreditasi takut tua di sarang. Banyak teman-teman saya yang kuliah di FISIP yang gundah besar akan nasibnya. Hampir empat tahun sudah FISIP dioprasikansampai saat ini “masih dalam proses”, sampai kapankah akan terus dalam proses. Akankah mahasiswa angkatan pertama FISIP akan menjadi tumbalnya?


FISIP merupakan pabrik yang akan meyiapkan cikal bakal tokoh-tokoh sosial politik, namun apakah semua produk FISIP akan memosisikan nasipnya sebgai politisi liar? Kemanakah mereka akan membawa ijazah nanti, tak lebih dapat berfungsi untuk membungkus cabe di pasar. Belum lagi harapan para orang tua mahasiswa agar kelak anaknya bisa berhasil setelah kuliah, yang mereka tahu anaknya kuliah di Unsyiah tapi mereka tak tahu bagaimana kualitas pendidikan di Unsyiah yang meucawoe, lebih mending dan bernilai jual bila kuliah di kampus-kampus yang bergentayangan di toko-toko sana.

Bukankah sama dengan menabung dosa bila mengecewakan ratusan anak-anak bangsa terlebih orang tua mereka yang telah mengadaikan harta benda demi menguliahkan anaknya dengan harapan akan sukses. Meski lembu dan sawah digadaikan yang penting anaknya bisa kuliah.

Fenomena inilah yang sekarang terjadi di tubuh Unsyiah. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan hal ini. Oleh karena itulah seharusnya Pak Rektor untuk saat ini fokus dulu dengan berbagai persoalan yang terjadi di internal Unsyiah. Jangan sampai ia meninggalkan Unsyiah dalam kondisi yang memperihatinkan. Tidak takutkah akan sumpah-serapah rakyat jelata yang telah menggantungkan harapannya pada Unsyiah. Ingat, doa orang papa akan dikabulkan oleh Yang Kuasa.

Celoteh saya ini bukanlah bermaksud untuk silop rok Unsyiah, namun ini adalah suatu persoalan yang sudah sering diangkat kepermukaan dan urgen untuk dituntaskan dengan lebih serius. Saya mencoba untuk mengajak kita semua merenungkan tentang kondisi jantong hate. Mungkin belum saatnya Pak Rektor meninggalkan Unsyiah dalam kondisi meucawo. Alangkah eloknya ketika seseorang akan pergi dari rumah, ia meninggalkan rumah dalam keadaan aman dan tentram. Maka mereka akan mengenangmu. Yakinlah Pak!