Minggu, 03 Juli 2011

Menunggu Tenggelamnya Nagan


Artikel | Wirduna Tripa

Hati saya begitu tersentak, nafas pun terhenti sejenak, ketika saya membaca harian Serambi Indonesia (17/6) yang mengabarkan bahwa hampir mencapai 500 hektar hutan di Kabupaten Nagan Raya punah dilahap api. Keganasan si jago merah tersebut dikabarkan telah merambah pada beberapa titik, yakni Kecamatan Tadu Raya, Darul Makmur, Kuala Pesisir, dan Tripa Makmur. Kabarnya kebakaran tersebut terjadi karena ulah sejumlah purusahaan raksasa yang sedang menggarap areal perkebunan kepala sawit. Berdasarkan pengakuan salah seorang pegawai Kantor Dishutbun Kabupaten Nagan Raya, kebakaran yang terjadi di hutan Nagan Raya dalam beberapa waktu lalu sudah masuk dalam radius tinggi bahkan pihak pemerintah Nagan Raya kualahan untuk menghentikan keganasan si jago merah yang terus melenyapkan lahan-lahan gambut. Pembakaran tersebut seketika membawa petaka bagi sebagian besar masyarakat yang berdomisili di empat kecamatan tersebut. Petaka itu merupakan dampak dari kabut asap yang begitu tinggi sehingga membuat masyarakat mengalami sesak nafas serta menyebabkan iritasi pada mata.

Beginikah nasib negeri kita? Akankah kita tetap mempertahankan prestasi buruk dengan menjadi pelayan di negeri sendiri. Ini merupakan kondisi ril yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya bahkan Aceh sekali pun. Pribumi harus rela menjadi budak di negeri sendiri dan tak ada daya upaya untuk menyelamatkan tanah kelahiran dari tangan orang asing yang hanya bisa mengambil manfaat dari hasil bumi. Masyarakat hanya dapat diam, meski berteriak, suaranya akan tetap parau. Hal ini sangat selaras dengan apa yang tersurat dalam hadih maja buya krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki.

Lihat saja apa yang terjadi di Nagan Raya baru-baru ini. Beberapa perusahaan yang telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan (tidak) sengaja telah melenyapkan hampir 500 hektar hutan yang terdapat di Nagan Raya. Anehnya, pembakaran tersebut tak lagi dalam areal HGU, tetapi pembekaran sudah merambah ke dalam Kawasan Ekosistem Lestari (KEL). Sungguh diluar kematangan logika, Lahapan api tersebut tak hanya melenyapkan KEL, hahkan si jago merah mulai melirik pemukiman warga. Inikah hadiahkan yang diberikan untuk masyarakat dari fee perusahaan tersebut? Jika benar, maka selakyaknyalah masyarakat harus berterima kasih kepada perusahaan atas pemberian hadiahnya yang sangat berharga dan santun. Jika perlu doakan mereka agar mendapatkan balasan yang setimpal dari Yang Kuasa. Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan, meski telah hampir seabad merdeka, namun negeri kita masih saja dikendalikan kapitalis. Rakyat hanya sebatas memiliki rangka, sementara isinya tak pernah menyentuh kepada rakyat jelata.

Kehancuran, Ulah siapa?
Sampailah saatnya kehancuran melanda negeri ini. Hal ini pun telah diingatkan Allah kepada kita bersama, bahwa kerusakan di atas bumi ini tak lain disebabkan karena ulah tangan manusia itu sendiri (lihat ar-rum:41). Di usia yang masih belia, Nagan Raya begitu kerap dilanda berbagai macam bencana. Mulai dari tsunami, hama tanaman, dan musibah musiman (banjir) yang memang sudah menjadi langganan sebagian masyarakat Nagan Raya yang berdomisili di pinggiran sungai. Trauma banjir belum usai, kini masyarakat Nagan Raya dipanikkan dengan pembakaran hutan. Pembakaran tersebut bukan pula cilet-cilet, hampir setengah ribu hektar lanyap. Siapa yang harus disalahkan? Penguasa ataukah pengusaha? Yang jelas siapa yang kaya pasti berkuasa dan yang berkuasa pasti akan kaya.

Mungkin dapat dicermati bersama, beberapa dekade belakangan sejak perusahaan-perusahaan raksasa mulai menggarap lahan di Kabupaten Nagan Raya, hampir setiap bulannya masyarakat secara rutin harus menyambut kedatangan tamu yang bermuara dari sungai-sungai yang tak mampu menampung air. Mereka tiba bagai jelangkung “datang tak dijemput pulang tak diantar”. Kedatangan gerombolan air pun harus diterima masyarakat dengan begitu pasrah. Puluhan hektar tanaman gagal panen akibat genangan air. Karena bila tanaman tergenang air melebih kekebalannya, maka dalam hukum pertanian hal itu sangat fatal. Tak hanya itu, sebagian masyarakat yang berdomisili di pinggiran DAS Krueng Tripa cukup khawatir dengan keganasan Krueng Tripa. Puluhan tahun sudah kondisi Krueng Tripa yang sering mangalami abrasi sehingga menyebabkan kerusakan ruas jalan, perkebunan bahkan pemukiman penduduk pun ikut digusurnya. Ini pun cukup membuat warga setempat tersiksa akibat berpindah-pindahnya Krueng Tripa. Terjadinya erosi ini jelas karena tidak terdapat wadah penampungan serta penyerapan air ketika musim hujan, salah satunya karena penghancuran hutan.

Berdasarkan temuan beberapa Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) yang bergerak dalam bidang lingkungan menunjukkan bahwa hutan di Kabupaten Nagan Raya sampai akhir 2010 secara seseluruhan telah gundur. Kegundulan tersebut terjadi karena penebangan dan pembakaran hutan di kawasan tersebut. Termasuk penggarapan areal perkebunan kepala sawit yang dilakukan oleh beberapa perusahaan raksasa yang telah puluhan tahun menghisap hasil alam di Kabupaten Nagan Raya. Palehnya, perusahaan-perusahaan tersebut menggarap lahan yang bukan dalam areal HGU. Penggarapan yang lepas kontrol tersebut pun berakibat fatal terhadap keutuhan hutan yang masuk ke dalam KEL. Tak jarang juga pihak perusahaan bermasalah dengan masyarakat setempat. Pasalnya antara masyarakat dan perusahaan saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Konflik pun tak terelakkan, bahkan ekses dari sengketa tersebut membuat sebagian masyarakat merasa gerah dengan kerakusan perusahaan yang menggarap lahan diluar HGU. Akhirnya masyarakat pun membakar barak salah satu peusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Akibatnya, Empat warga yang terindikasi melalukan pembakaran tersebut sampai saat ini masih mendekam di Mapolres Nagan Raya. Lagi, masyarakat menerima petakanya, Serambi Indonesia (13/5).

Benarkah kehadiran investor asing dapat mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Ataukah kehandirannya malah menjadi petaka bagi masyarakat? Bak ungkapan meutume pahla ube beutheh, meutume paleh ube pha. Bila kondosi tersebut terus terjadi di Kabupaten Nagan Raya, tak tertutup kemungkinan Nagan Raya akan lenyap dari peta Aceh. Oleh karena itu, tak perlu menunggu lama, pemerintah kabupaten maupun provinsi harus segera mengambil langkah konkrit dan tegas guna menertipkan perusahaan-perusahaan nakal yang beroperasi di Nagan Raya. Sehingga tak berakibat fatal terhadap masa depan Nagan Raya. Nagan Raya tak hanya berakhir sekarang tetapi akan diwarisi untuk anak cucu. Jadilah generasi yang tidak meninggalkan beban untuk generasi selanjutnya. Selamatkan Nagan Raya demi mereka......!

Penulis adalah Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra), yang juga Aktivis LSM Prodeelat Aceh.