Selasa, 27 September 2011

Bilingualisme Sebagai Fenomena Pemerolehan Bahasa

1. Pengantar Istilah bilingualisme dalam bahasa Inggris yaitu bilingualism. Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan kedwibahasaan. Dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh dua kode. Kedua bahasa tersebut dapat digunakan, apabila seseorang mampu menguasai bahasa itu. Bahasa pertama adalah bahasa ibu atau bahasa pertamanya (B1) dan bahasa keduanyabahasa lain (B2). Orang yang mampu menguasai kedua bahasa itu disebut bilingual. Setiap bahasa dalam masyarakat bilingual itu tidak secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya perbedaan penggunaan bahasa berdasarkan fungsi atau perananya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia. Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani oleh bahasawan Yunani Iioannis Psycharis. Dalam makalah ini akan membahas tentang bilingualisme, faktor-faktor terjadi bilingualisme atau kedwibahasaan, tipe-tipebilingualisme ataukedwibahasaan,diglosia, dan hubungan bilingualisme dan diglosia. 2. Pembahasan a. Bilingualisme Bilingualisme adalah penggunaandua bahasa oleh seseorang atau masyarakat. Mackey (dalam Chaer, 2004:112) bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.Bilingualisme atau kedwibahasaan adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya (Bloomfield,1993:56 dalam Chaer, 2004:112). Hal ini dapat diartikan seseorang dapat menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa keduanya (B2) dengan derajat yang sama baiknya atau tahu sedikit akan (B1) bahasa ibu sendiri tentunya baik, ditambah tahu sedikit akan (B2), selanjutnya dengan penguasaan (B2) yang berjenjang meningkat sampai menguasai (B2) itu sama baiknya dengan penguasaan (B1) pada tahap ini seorang penutur yang bilingual akan dapat menggunakan (B1) dan (B2) sama baiknya. Berbeda halnya dengan Hummer dan Blanc, 1998 (dalam Alamsyah, 2007:7) bilingualisme adalah suatu konsep yang mencakup dan juga keadaan yang menggambarkan kontak bahasa diantara sebuah masyarakat bahasa lainya. Berkenaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitanya dengan (B2), Diebold, 1968 (dalam Chaer, 2004:114) adanya bilingualisme pada tingkat awal, yaitu bilingulisme orang-orang, terutama anak-anak yabg sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Dalam tahap ini tidak dapat diabaikan karena pada tahap ini terletak dasar bilingualisme selanjutnya. b. Faktor-faktor terjadi bilingualisme atau kedwibahasan Grosjean 1982, (dalam Alamsyah, 2007:7-8) bahwa terjadinya kedwibahasaan itu disebebkan beberapa faktor, diantaranya: 1. Perpindahan penduduk (Movement of people) Kasus ini sering terjadi di Indonesia, hal ini sering disebabkan karena adanya perpindahan penduduk atau transmigrasi. Seorang anak yang orang tuanya berpindah dari satu daerah ke daerah lain akan mengalami pemerolehan bahasa dari tempat asal ibunya dan bahasa dari tempat barunya. Anak yang berasal dari Jawa, sangat baik berbahasa Jawa kerena bahasa ibunya. kemudian pindah ke Aceh karena faktor bisnisorang tuanya, anak tersebut juga akan belajar berbahasa Aceh untuk mampu berkomunikasi dengan daerah barunya. 2. Perkawinan campuran (Intermarriage) Kasus ini terjadi akibat perkawinan campuran. Kasus bilingual, Indonesia dan Inggris: di dalam keluarganya ia mendengar dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Dengan ibunya berbangsa Indonesia ia berbahasa Indonesia, sedangkan dengan Ayahnya yang berbangsa Inggris ia berbahasa Inggris. 3. Pendidikan (Education) Kasus bilingual Aceh-Indonesia: pada kasus ini anak yang dibesarkan dalam keluarganya berbahasa Aceh. Seorang anak tersebut hanya dapat berbahasa Aceh sampai umur 7 tahun, setelah masuk sekolah pada tingkat sekolah dasar anak baru berbahas Indonesia. 4. Letak dua daerah bahasa yang berdekatan Kasus dua daerah bahasa yang berdekatan juga dapat terjadi kedwibahasaan. Hal ini banyak dijumpai dii daerah-daerah di Indonesia. Alamsyah (2003:8) mengemukakan masyarakat di wilayah temuan penelitian ini perbatasan Aceh dan Sumatara Utara. Misalnya, masyarakat perbatasan yang masuk wilayah Sumatra Utara merupakan penutur bahasa pakpak (khususnya di kecamatan penanggalan), sedangkan di kecamatan simpang kiri juga daerah perbatasan Sumatra Utara juga mengerti bahasa Singkil (bahasa Boang) dan sebagian dari mereka juga mengerti dan mampu berbicara bahasa pakpak. Dalam arti kata masyarakat penanggalan selain berbahasa pakpak selain dapat berbahasa pakpak juga mengerti bahasa Singkil (bahasa Boang). c. Tipe-tipe bilingualisme atau kedwibahasaan Ada tiga tipe bilingualisme menurut Ibrahim (1995:182-188). 1. Kedwibahasaan majemuk (compound bilingualisme) Kedwibahasaan majemuk ini adalah hasil belajar dalam dua bahasa dalam situasi yang sama oleh orang yang sama.Kedwibahasan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa dimana salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitanya antara B1 dan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri. 2. Kedwibahasan koordinatif/ sejajar Kedwibahasawan koordinatif inimenunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahir dalam dua bahasa. 3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks) Kedwibahasaan yang menunjukkan seorang individu pada saat memakaian B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1, seperti sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat ini memungkinkan dapat kehilangan B1-nya. d. Diglosia Diglosia adalah suatu situasi bahasa dimana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada dimasyarakat. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal dan ragam non formal. Misalnya di Indonesia terdapat perbedaan antara ragam tulis dan lisan. Fergusan (dalam Chaer, 2004:122) keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertetu. Dalam hal ini Ferguson mengartikan bahwa suatu situasi kebahasaan yang relatif satabil, dimana lain terdapat sejumlah dialek-dialek utama satu bahasa dan terdapat juga ragam bahasa lain. Dialek-dialek utama itu diantaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, dan dialek standar regional. Sedangakan ragam lain yaitu gramatikal lebih kompleks, dan sudah sangat terkondifikasi. e. Hubungan bilingualisme dengan diglosia Ketika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme sebagai adanya penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (dalam Ibrahim, 1995:206-208) menggambarkan hubungan diglosia sebagai berikut: 1. Bilingualisme dan diglosia Masyarakat yang dikarekterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam bahasa R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing, yang tidak dapat dipertukarkan. Pada tipe itu dua fenomena penggunaan bahasa terjadi. Memilikiciri yakni anggota masyarakat mengetahui situasi yang menuntut pengguaan bahasa, baik dalam kaitannya dengan bahasa yang dipilih sesuai dengan funsinya maupun dalam kaitanya dengan bahasa yang dipilih sesuai variasi bahasa. 2. Bilingulisme tanpa diglosia Masyarakat bilingualis tetapi tidak diglosia terdapat sejumlah individu yang bilingual, mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapu. Memilki ciri bahwa setiap bahasa memilki peluang untuk digunakan tanpa perlu pembatasan fungsi tertentu. Bahasa dipilih tanpa dikaitkan dengan fungsi sosial, kerena fungsi sosial bahasa pada tipe ini tidak kuat. 3. Diglosia tanpa bilingalisme Masyarakat yang berciri diglosia tapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil merupaka kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. Sedangkan kelompok kedua biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisem banyak kita jumpai di Eropa sebelum perang dunia pertama. Tipe ini memilki sebuah asumsi bahwa diantara penutur kelompok elite dan masyrakat tidak pernah terjadi dalam arti menggunakan bahasa yang dipilih. Mereke berinteraksi melalui penterjemah. 4. Tidak bilingualisme dan tidak diglosia Masyarakat yang tidak diglosia tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada dalam masyarakat primitive atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Mayarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain. 3. Penutup Simpulan Bilingualisme adalah akibat dari penggunaan dua bahasa oleh seseorang individu atau masyarakat. Diglosia adalah akibat dari variasi perbedaan fungsional semacam itu dan kemudian bilingualisme dan diglosia dapat terjadi secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu komonitas ujar. Tapi dengan melihat bahwa perubahan sosial dapat berimplikasi pada perubahan linguistik maka terjadilah komonitas yang bergerak berubah dari diglosia ke arah bilingualisme dimana bentuk-bentuk dan fungsi yang sudah secara asli jelas berbeda dari bahasa R dan T. Hal ini disebabkan sistem sosial yang dahulu begitu banyak stratifikasi dan timbulnya suatu masyarakat yang lebih terbuka, sehingga bentuk dan fungsi itu berbaur menghasilkan satu kontinun. Dalam realitas kehidupan manusia sebagai mahluk sosial saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. 4. Referensi  Alamsyah, Teuku. 2007. Teori-Teori Pembelajaran Bahasa. Banda Aceh: Universitas Syah Kuala.  Chear, Abdul. 2004. Sosiolinguitik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta  Ibrahim, syukur. 1995. Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha Nasional