Jumat, 28 Desember 2012

Larut



mereka telah kehilangan arah
mungkinkah kabut-kabut itu yang membuat meraka hilang arah

angin tak lagi bertiup
hingga hilang arah tujuan

larut...
mereka telah larut


Minggu, 29 Januari 2012

Menunggu Syarifah

Karya Wirduna Tripa

Syarifah. Itulah nama gadis yang hampir satu dekade ku titipkan segenap rasa cinta dan kasih padanya. Satu dekade bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal gadis ini. Tak sanggup ku urutkan deretan kisah yang pernah kami lalui semasa hubungan cinta bersemi.

Ikrar janji sejati telah terpatri pada diri kami. Hanya beberapa saat sebelum matahari pamit menerangi Bumi, ikrar itu kami ucapkan bahwa hubungan yang telah lama terbina ini ingin kami abadikan dalam ikatan suci. Lepas hari itulah, perlahan aku mulai mengubah kebiasaan hari-hari. Bila dulunya banyak waktu yang kuhabiskan di warung kopi dan bercengkrama dengan teman-teman,  kini mulai kukurangi perlahan. Keserisuanku untuk meminang Syarifah membuat pola hidupku semakin terarah. Gaji bulanan mulai ku cicilkan untuk membeli mahar. Sedikit kukurangi menu makan yang bergizi, sebab harganya tak memadai dengan honor di tempatku abdikan ilmu.

Setahun lagi, itulah waktu yang tersisa. Syarifah akan segera menyelesaikan kuliahnya. Sebagaimana janji  kami sore itu, bahwa setelah Syarifah selesai kuliah rombongan ranup meuh gampongku akan bertamu ke rumahnya. Dan hal itu pun telah kukabari kepada orang tua dan segenap ahli familiku. Ya,  menurutku agar mereka dapat menyiapkan sesuatu dengan adanya pemberian kabar dariku. Pintaku, “Ifah, minggu ini kamu harus pulang kampung, dan kasih tahu orang tuamu akan hajat dan keseriusanku untuk menjadikanmu pendamping hidupku.” “Iya, Bang, akan kusampaikan kepada orang tuaku”.

Seminggu sudah Syarifah berada di gampongnya. Setiap malam aku selalu menelpon dan mengirim sms. Aku ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tuanya akan niatku untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga keduaku. Ia bilang, ia belum dapat menyampaikan semua itu kepada Abi dan Uminya.  “Abang, waktunya belum ada yang tepat untuk Ifah sampaikan semua ini.”  Pesan singkat ini  yang selama seminggu kuterima darinya.

 Tiga hari sudah aku tak menerima pesan darinya. Aku berharap bila ia telah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua itu, pasti ia  akan langsung menghubungiku.

Pada  minggu  pagi sekitar pukul 07.00 WIB,  sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku.  Dengan cepat aku langsung membuka sms meski mataku belum ingin diganggu, sebab semalaman aku larut begadang dengan buku.   Koyak rasanya hati ini ketika bait-bait sms terbaca. Tanpa sadar BlackBerry yang baru saja aku beli jatuh ke  lantai. “Bang, Abi telah membicarakan tentang pernikahanku dengan keluarga Bang Said pulan. Ia adalah anak teman dekat Abi, dan dia akan dijodohkan denganku,” tulisnya. Ia pun mengisahkan bahwa Umi tidak mengizinkan Ifah untuk menjalin hubungan, apalagi menikah dengan orang yang bukan seketurunan dengannya.  Ia mengaku tidak sedikit pun mempunyai rasa cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya, namun apa hendak dikata keluarganya tidak  merestui bila menikah dengan ku. 

Meratalah penderitaan cinta. Seminggu lalu, Buyung, teman dekatku, juga mengalami kisah pahit yang hampir sama denganku. Aku melihat semangat hidup Buyung bila dipersenkan hanya tinggal 20  persen lagi, setelah ditinggal pergi kekasihnya. Hampir seminggu ia seperti orang yang sedang bileung gaseu, teu tahe-tahe,   setelah kekasihnya si Upik dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya.  Menurut kabar, lelaki itu adalah teman sekampus dengan Si Upik di negeri Piramid nan jauh di sana. Cita-cita Buyung untuk menikahi anak pimpinan dayah itu pun kandas di penghujung senja. Sungguh malang melintang. Dan kini, derita yang sedang dialami sahabatku dengan sekejap beralih padaku. “Sudah kubilang padamu, jangan kau berharap banyak pada gadis,” ujar Buyung menasihatiku. “Si Upik saja yang  keturunan orang biasa tak ada rekom orang tuanya untuk kunikahi, konon lagi kamu orang kampung yang tak jelas keturunan pun,” tambahnya sambil tertawa.

Ribuan kisah silam antara aku dan Syarifah usai sudah. Kenangan dengannya kini telah kubungkus rapi dan kusimpan di sudut lubuk hati. Kadang aku berpikir, tak perlu lagi aku mengingat kisah-kisah itu. Tetap, bila sedang dilanda sepi, kisah itu bersemi dan terangkat kembali.  Kisah ini pun membuatku untuk lebih mengaca diri.

Syarifah, lama sudah aku menunggumu dan berharap kita akan bersatu. Tapi Allah berkehendak lain. Engkau pun lebih memilih lelaki yang sederajat denganmu, sebagaimana pilihan Abi dan Umimu. Begitu gampangnya kau melupakan deretan kisah-kasih yang telah lama terbina. Cukup aku saja yang merasakan dan menanggung perih tangis derita ini. Sebagai lelaki yang pernah mencintaimu, aku berharap kau dapat hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu, yang mungkin  sederajat dan satu silsilah keturunan denganmu.

* Wirduna Tripa, cerpenis. Ceberapa cerpennya pernah mengisi rubrik budaya di sejumlah  media cetak dan online di Aceh.

telah dimuat di Serambi Indonesia, Minggu, 29 Januari 2012

Kamis, 26 Januari 2012

Biodata Wirduna Tripa


Wirduna Tripa
Biodata Wirduna Tripa
Wirduna Tripa adalah anak dari pasangan Zainun-Nurasiah. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Abangnya Tgk. Muhammad Kudra. Wirduna Tripa lahir gampong Drien Tujoh Kecamatan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh, 29 Oktober  1988.
Riwayat Pendidikan
Di masa kecil sebelum masuk Wirduna menekuni pengajian Juzz Amma. Pengajian tersebut ia tekuni di rumah dan di pesantren. Mengaji adalah kegiatan masa kecilnya di malam hari. Beranjak usia enam tahun ia masuk Sekolah Dasar Negeri Kuala Tripa (1995-2001). Karena saat itu puncak konflik di Aceh orang tuanya pun memasukkannya di sekolah yang dekat dengan lingkungan keluarganya yaitu, SLTP Negeri 3 Darul Makmur (2001-2004). Karena di daerah gampongnya tidak ada sekolah menengah, ia pun masuk ke pesantren modern Madrasah Aliyah Darul Hikmah Islamiah Meulaboh (2004-2007).
Setelah menamatkan sekolah pada madrasah aliyah, ia pun bertekad untuk melanjutkan skuliah di perguruan tinggi. Setelah mengikuti seleksi Wirduna lulus sebagai mahasiswa di S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Berkat ketekunannya ia pun menyelesaikan S1 dengan predikat culaud­e (2007-2011). Selanjutnya ia pun melanjutkan S2 di Program Pascasarjana Magister Pendididkan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh (2011-sekarang).
Organisasi Siswa-Kemahasiswaan
Di masa masih sekolah di MAS Darul Hikmah, Meulaboh, Wirduna pernah menjabat sebagai ketua OSIM (2005-206). Ketika di perguruan tinggi ia juga aktif di berbagai organisasi internal kampus. Wirduna pernah menjadi Pj. Sekertaris Umum Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) Unsyiah dan pada tahun berikutnya ia pun dipercayakan sebagai Ketua Umum Gemasastrin (2008-2009). Pada tahun yang sama ia juga aktif di Lembaga Pers Kampus DETaK Unsyiah, di sana ia penah menajadi Kabid. Mumas, Kabid. Perusahaan dan terakhir ia fokus pada bidang keredaksian. Selain itu, Wirduna juga diberikan kepercayaan sebagai Kabid. Informasi dan Komunikasi Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonsia se-Indonesia (IMABSII) yang sekretariat pusatnya di Universitas Negeri Jakarta (2010-2012).
Selain bergelut di organisasi internal kampus, Wirduna juga tertarik untuk telibat di organisasi paguyuban pemuda dan mahasiswa kabupaten kota. Pertama sekali ia aktif di paguyuban kecamatan sebagai Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Darul Makmur (Ipelmasdam) 2008-2010. Pada masa yang sama ia juga sebagai Kabid. Hubungan Antar Lemaba dan Kemasyarakatan pada Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra) 2010-2012. Kemudian ia dan teman-teman menjadi deklarator yang membidani kelahiran sebuah organisasi besar, Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) yang dalam lembaga tersebut inkrut seluruh paguyuban kabupaten kota di Aceh (2011).
Media dan Lembaga Suwadaya Masyarakat
Berbekal dari Pers Kampus dan keorganisasian, awal 2011 Wirduna diajak untuk menjadi reporter pada Majalah The CHIEK yang merupakan media LSM Prodeelat-Aceh. Kemudian pada akhir 2011, ia juga menjadi Kepala Biro Banda Aceh sebuah media nasional Jarrak Pos. Berbekal dari berbagai pengalaman tersebut, mahasiswa Pascasarjana Unsyiah itu mendirikan sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pendidikan. Ia mendirikan lembaga tersebut atas dasar keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan di Aceh dan Indonesia umumnya. Setidaknya dengan adanya lembaga tersebut ia dapat memberikan dan menyumbangkan sesuatu terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Aceh dan Indonesia. Lembaga yang didirikannya itu adalah  Center for Educational Research and Development of the Acehnese (CERDAS) yang berpusat di ibukota Provinsi Aceh, Banda Aceh.
Aktivitas dan Kreativitas
Saat ini, selain sebagai mahasiswa pada Pascasarjana Unsyiah, ia juga sebagai Asisten Dosen di Unsyiah dan Universitas Muhammadiyah Aceh. Di luar konteks kerja, akademik, dan organisasi Wirduna juga gemar membaca dan menulis. Karyanya seperti cerpen dan artikel sering mengisi beberapa rubrik media di Aceh, seperti Serambi Indonesia, Harian Aceh dan lain-lain. Selain itu, ia juga sering mengisi pelatihan Sastra (Karya Fiksi), Jurnalistik, Leadership, dan Basic Organisasi.

Laman Sosial dan Komunikasi
Hand Phone   : 085277833707
E-mail             : wir_tripa@yahoo.com
Face Book       : Wirduna Tripa
Twitter            : Wirduna_Tripa
Web/blog       : wirduna.blogspot.com
Alamat            : Komplek Perumahan Cadek Permai, Banda Aceh.


Kamis, 19 Januari 2012

Kami Bukan Lagi Orang Hutan

        SUMBER : Doc Wir_3P
Orangutan sedang menikmati indahnya hamparan lautan dari puncak 
gunong Geurute

SUMBER : Doc Wir_3P
Orangutan sedang berinteraksi dengan tentara dan seorang ibu sedang 
mempernalkan orangutan kepada anaknya. Sebab, saat sekarang sangat 
sukar didapati orangutan karena hutan telah banyak dilenyapkan

Rabu, 18 Januari 2012

Drama Politik Apa Latah

Wirduna Tripa        
                                Sebenarnya tidak begitu menarik opini yang ditulis Syardani M. Syarif, Serambi
, (17/10), berjudul “Pilih Pilkada atau UUPA?”. Sebab, dalam tulisan tersebut Syardani hanya memaparkan informasi terkait perundangan, kajian historis perjungan dan kisruh calon perseorangan, yang fenomena tersebut memang telah menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini serta sudah leuge untuk dibahas. Tulisan tersebut pun hanya diakhiri dengan kalimat persuasif yang tidak sedikit pun memberi solusi terkait konflik regulasi yang begitu meuputi-puti di Aceh akhir-akhir ini. Namun, yang membuat ruh keacehan saya merespon tulisan Syardani adalah pada kalimat persuasif yang diangkatnya di bagian akhir tulisan tersebut dengan bunyi penegasan “Ikut pilkada untuk menghancurkan UUPA atau tidak ikut pilkada demi menyelamatkan UUPA?”
Sebenarnya yang menjadi tanda tanya besar masyarakat Aceh saat ini, apakah benar bila Pemilukada dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang telah dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) itu akan merobek UUPA yang merupakan hasil dari Momerandum of Undestanding (MoU) yang disepakati oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia di Helsinky 2005 lalu?
Mungkin jawaban dari pertanyaan itulah yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh. Sebab, yang menjadi alasan andalan dari golongan garis merah adalah isu “Penyelamatan UUPA” semata. Sebab, amanat UUPA dan MoU Helsinky bahwa sanya jalur perseorangan di Aceh hanya berlaku satu kali, yaitu pada tahun 2005 karena saat itu belum terbentukknya partai lokal. Hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 256 UUPA. Pertanyaan kedua, apakah salah satu butir –tentang calon perseorangan-- UUPA yang dihasilkan dari MoU Helsinky dapat di-judicial review tanpa berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh yang merupakan pihak pertama dalam menghasilkan kesepatan tersebut? Ini juga sebuah pertanyaan yang harus dijawab dan diluruskan bersama. Sebanrnya dua persoalan inilah yang menjadi pemicu konflik regulasi di Aceh yang sampai saat ini belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif meskipun KIP telah melanjutkan tahapan Pemilukada. kisruh pemilikada ekses kelatahan MK Asumsi saya, pangkal kekisruhan prapemilukada di Aceh saat ini adalah murni kesalahan dari Mahkamah Konsitusi (MK). Mengapa demikian? Harusnya sebelum MK menerima usulan judicial review yang diajukan oleh beberapa orang yang mengatasnamakan dirinya –aspirasi rakayta Aceh—harusnya sebelum mengambil keputusan MK terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh (eksekulif, legislatif, dan yudikatif). Sebab, butir yang di-judicial review tersebut merupakan butir UUPA dan hal ini tidak dapat diotak-atik dengan serta merta karena status Aceh tidak sama dengan status provinsi-provinsi lain yang ada di rupublik ini. Seandainya MK lebih profesional dalam mengambil kebijakan so pasti kondisi politik di Aceh tidak terjadi sekonyol ini. Bayangkan, jika MK berkoordinasi dengan Pemerintahan Aceh, yaitu dengan Gubernur, Irwandi Yusuf dan DPRA –dominasi PA—pasti ketika itu akan ada kesepatan bahwa calon perseorangan tetap tidak dibolehkan karena jelas-jelas bertentangan dengan UUPA. Begitu mungkin suara bulat yang keluar dari eksekutif-legislatif karena pada saat itu Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf masih berada satu barisan dengan DPRA. Tetapi akhirnya karena Irwandi batal disunting PA sebagai kandidat Gubernur, ia pun menjadikan jalur perseorangan sebagai perahunya untuk berlayar pada pesta demokrasi periode ini. Sejak itulah konflik kepentingan begitu memas menjelang persiapan Pemilukada. Kelatahan MK dalam mengambil keputusan yang telah menerima judicial review terhadap butir UUPA terkait calon perseorangan tanpa ada berkoordinasi dengan pemerintahan Aceh terlebih dahulu, sebagimana keluh para politi Partai Aceh belakangan, ekses tersebut hingga kini membuat Pemilukada di Aceh belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif. Tahapan Pilkada yang dijalankan KIP masih belum dapat dikategorikan sempurna. Sebab, tanpa ada keikutsertaan unsur legislatif. Tahadapan Pemilukada Aceh bak sepeda yang melaju hanya dengan satu ban saja. Memang dengan menggunkan satu ban sepeda masih dapat berjalan, tetapi untuk menempuh perjelannan panjang masih diragukan akan sampai tujuan. Sebenarnya, orang-orang yang menduduki MK adalah replesentatif dari tiga unsur penyelenggara negara, tetapi mengapa mereka terkesan latah dalam mengambil keputusan yang begitu dini terhadap persoalan Aceh tanpa mempertimbangkan dampak-dampak yang terjadi dari pengambilan keputusan tersebut, ini membuktikan bahwa orang-orang yang duduk di MK masih begitu miskin pengetahuan dan tidak mempunyai kecerdasan prediktif yang dalam. Syukur bila kelatahan tersebut terjadi hanya karena miskinnya pengetahuan. Namun, benarkah keputusan tersebut lahir berkat niat baik MK, ataukah ada skenario lain dalam drama ini? Semoga saja tidak! Sikap DPRA Menjawab pertanyaan Syardani dalam opininya “Pilih Pilkada atau UUPA”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap DPRA bila mereka benar-benar memperjuangankan keutuhan UUPA dan bukan semata memenangkan pesta limatahunan atau saya sebut dengan istilah fively party. Bila dengan terhapusnya salah satu butir UUPA –tentang calon independen yang hanya dibolehkan sekali—dapat merusak UUPA yang dihasilkan dari buah perjuangan yang cukup panjang, melelahkan dan, jatuhnya korban yang tak terbilang, maka menurut hemat penulis hal ini harus dicermati kembali oleh semua pihak. Sebab, sebagaimana tersirat dalam ungkapan Aceh meunyoe jarom ka leupah beuneu pasti diikot. Ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa bila salah satu pasal dalam UUPA dibiarkan diutak-atik maka pasal-pasal berikutnya juga ikur terutak-atik dan akan sangat sulit untuk menghentikannya. Oleh karena itu, cegahlah agar jarum tidak menembus sutra, dan bila ia menembusnya maka segulungan benang pun akan mengikutinya. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Dapat dikatakan, saat ini adalah klimaksnya dari serial drama yang sedang berlangsung di Aceh. Publik pun sedang menikmati adegan ini, namun mereka juga sedang menanti bagaimana ending dari drama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ending serial drama Aceh yang berjudul fively party skenarionya berada ditangan DPRA, kita tunggu saja bagaimana mereka mengakhiri ceritanya ini. Tetapi ingat, dalam sebuah cerita hanya ada dua buah endi¬ng, pertama disebut dengan happy ending dan kedua bad ending. Ini adalah saatnya DRPA yang manyoritas dikuasai oleh Partai Aceh untuk dapat memperjuangan amanat MoU Helsinky karena kali ini selain bernyali tinggi juga harus jeli, percaya diri dan nuansa estetika politik yang tinggi. Metode poltik klasik Setelah berhasil menguasai sebagai besar parlemen, Partai Aceh (PA) membuktikan bahwa dirinya adalah satu-satunya partai lokal yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan sebagaimana yang diamanatkan dalam MoU Helsinky. UUPA menjadi kitab suci bagi masyarakat Aceh yang dijadikan landasan untuk mengimplementasikan buah dari tuntutan puluhan tahun lamanya. Melihat kemenangan telak PA pada pemilihan legsilatif lalu dapat dipastikan bahwa kandidat yang diusung PA sebagai gubernur Aceh dapat meraih kemenangan tanpa menghabiskan energi dan materil dalam berkampanye. Namun, yang namanya politik memang tidak ada warna yang jelas, dan semua harapan PA pun kandas begitu saja. Politik; tak ada musuh yang kekal dan tak ada teman yang abadi, inilah yang sedang menimpa partai berlatar merah saat ini. Pasang surut yang terjadi di badan Partai Aceh bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya adalah kurang memupuk nilai-nilai demokrasi dalam memanage dan pengambilan keputusan. Sebenarnya tidak ada yang keluar dari garis komando bila budaya demokrasi diterapkan dalam tubuh PA, sebagaima hadih maja menukilnya asai ka meupakat lampoh jeurat tapuegala. Metode politik klasik sangat tidak tepat dipraktikkan diera mutakhir ini. Semoga tidak ada yang latah lagi!  


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.