Karya Wirduna Tripa
Syarifah.
Itulah nama gadis yang hampir satu dekade ku titipkan segenap rasa
cinta dan kasih padanya. Satu dekade bukanlah waktu yang singkat untuk
mengenal gadis ini. Tak sanggup ku urutkan deretan kisah yang pernah
kami lalui semasa hubungan cinta bersemi.
Ikrar janji sejati
telah terpatri pada diri kami. Hanya beberapa saat sebelum matahari
pamit menerangi Bumi, ikrar itu kami ucapkan bahwa hubungan yang telah
lama terbina ini ingin kami abadikan dalam ikatan suci. Lepas hari
itulah, perlahan aku mulai mengubah kebiasaan hari-hari. Bila dulunya
banyak waktu yang kuhabiskan di warung kopi dan bercengkrama dengan
teman-teman, kini mulai kukurangi perlahan. Keserisuanku untuk
meminang Syarifah membuat pola hidupku semakin terarah. Gaji bulanan
mulai ku cicilkan untuk membeli mahar. Sedikit kukurangi menu makan
yang bergizi, sebab harganya tak memadai dengan honor di tempatku
abdikan ilmu.
Setahun lagi, itulah waktu yang tersisa.
Syarifah akan segera menyelesaikan kuliahnya. Sebagaimana janji kami
sore itu, bahwa setelah Syarifah selesai kuliah rombongan ranup meuh
gampongku akan bertamu ke rumahnya. Dan hal itu pun telah kukabari
kepada orang tua dan segenap ahli familiku. Ya, menurutku agar mereka
dapat menyiapkan sesuatu dengan adanya pemberian kabar dariku. Pintaku,
“Ifah, minggu ini kamu harus pulang kampung, dan kasih tahu orang tuamu
akan hajat dan keseriusanku untuk menjadikanmu pendamping hidupku.”
“Iya, Bang, akan kusampaikan kepada orang tuaku”.
Seminggu sudah
Syarifah berada di gampongnya. Setiap malam aku selalu menelpon dan
mengirim sms. Aku ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tuanya
akan niatku untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga keduaku. Ia
bilang, ia belum dapat menyampaikan semua itu kepada Abi dan Uminya.
“Abang, waktunya belum ada yang tepat untuk Ifah sampaikan semua ini.”
Pesan singkat ini yang selama seminggu kuterima darinya.
Tiga
hari sudah aku tak menerima pesan darinya. Aku berharap bila ia telah
menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua itu, pasti ia akan
langsung menghubungiku.
Pada minggu pagi sekitar pukul 07.00
WIB, sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku. Dengan cepat aku langsung
membuka sms meski mataku belum ingin diganggu, sebab semalaman aku
larut begadang dengan buku. Koyak rasanya hati ini ketika bait-bait
sms terbaca. Tanpa sadar BlackBerry yang baru saja aku beli jatuh ke
lantai. “Bang, Abi telah membicarakan tentang pernikahanku dengan
keluarga Bang Said pulan. Ia adalah anak teman dekat Abi, dan dia akan
dijodohkan denganku,” tulisnya. Ia pun mengisahkan bahwa Umi tidak
mengizinkan Ifah untuk menjalin hubungan, apalagi menikah dengan orang
yang bukan seketurunan dengannya. Ia mengaku tidak sedikit pun
mempunyai rasa cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya, namun apa
hendak dikata keluarganya tidak merestui bila menikah dengan ku.
Meratalah
penderitaan cinta. Seminggu lalu, Buyung, teman dekatku, juga mengalami
kisah pahit yang hampir sama denganku. Aku melihat semangat hidup
Buyung bila dipersenkan hanya tinggal 20 persen lagi, setelah
ditinggal pergi kekasihnya. Hampir seminggu ia seperti orang yang
sedang bileung gaseu, teu tahe-tahe, setelah kekasihnya si Upik
dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya. Menurut kabar,
lelaki itu adalah teman sekampus dengan Si Upik di negeri Piramid nan
jauh di sana. Cita-cita Buyung untuk menikahi anak pimpinan dayah itu
pun kandas di penghujung senja. Sungguh malang melintang. Dan kini,
derita yang sedang dialami sahabatku dengan sekejap beralih padaku.
“Sudah kubilang padamu, jangan kau berharap banyak pada gadis,” ujar
Buyung menasihatiku. “Si Upik saja yang keturunan orang biasa tak ada
rekom orang tuanya untuk kunikahi, konon lagi kamu orang kampung yang
tak jelas keturunan pun,” tambahnya sambil tertawa.
Ribuan kisah
silam antara aku dan Syarifah usai sudah. Kenangan dengannya kini telah
kubungkus rapi dan kusimpan di sudut lubuk hati. Kadang aku berpikir,
tak perlu lagi aku mengingat kisah-kisah itu. Tetap, bila sedang
dilanda sepi, kisah itu bersemi dan terangkat kembali. Kisah ini pun
membuatku untuk lebih mengaca diri.
Syarifah, lama sudah aku
menunggumu dan berharap kita akan bersatu. Tapi Allah berkehendak lain.
Engkau pun lebih memilih lelaki yang sederajat denganmu, sebagaimana
pilihan Abi dan Umimu. Begitu gampangnya kau melupakan deretan
kisah-kasih yang telah lama terbina. Cukup aku saja yang merasakan dan
menanggung perih tangis derita ini. Sebagai lelaki yang pernah
mencintaimu, aku berharap kau dapat hidup bahagia dengan lelaki pilihan
orang tuamu, yang mungkin sederajat dan satu silsilah keturunan
denganmu.
* Wirduna Tripa, cerpenis. Ceberapa cerpennya pernah mengisi rubrik budaya di sejumlah media cetak dan online di Aceh.
telah dimuat di Serambi Indonesia,
Minggu, 29 Januari 2012