gedung gelanggang mahasiswa Unsyiah dibanjiri puluhan mahasiswa Gemasastrin, Selasa, (30/12). Mereka mengambil tepat gedung gelanggang untuk latihan teater yang akan di pentaskan minggu depan di Auditorum FKIP Unsyiah.
Wirduna, sutradara teater, sangat mengharapkan kelompoknya dapat tampil dengan maksimal. Penampilan ini harus dipersiapkan sematang mukin, pasalnya ini merupakan penilaian unruk final mata kuliah Drama "Kita harus berlatih dengan baik sebab penampilan kita sebagai tolak ukur nilai final.
Selasa, 29 Desember 2009
Senin, 07 Desember 2009
Ketika Kampus Dijadikan Tempat Pesta Narkoba
DETaK | Wirduna
Hari itu, saat matahari mulai condong ke ufuk barat, jarum jam menunjukan tepatnya pukul 14.00, suasana depan ruang kuliah di salah satu fakultas universitas Syiah Kuala, terlihat kerumunan mahasiswa yang sedang menunggu dosen.
Beberapa kelompok sedang duduk di depan ruang kuliah, sambil menunggu dosen datang, mereka mengambil kesempatan untuk membuka lembaran-lembaran makalah yang telah dipersiapkan untuk dipresentasikan. Kelompok lain juga tidak mau kalah, mereka membuka buku dan polpen di tangan tak henti menulis poin-poin penting ke note book, yang dipersiapkan untuk menguji kebolehan kelompok yang akan mempresentasikan makalah pada hari itu.
Suasana yang penuh nuansa edukasi itu, tidak dialami oleh dua orang mahasiswa yang sedang duduk di depan ruang kuliah paling ujung. Asap beraroma tajam yang mereka hembuskan dari sebatang rokok berpeting hinggap di hidung saya melalui perantaraan angin spoi-spoi. Rasa penasaran pun terbesit di hati saya, karena asap rokok yang mereka hisap sangat berbeda dengan asap rokok biasa.
Berlahan saya melangkahkan kaki ke arah mereka yang sedang larut dalam alam reinkarnasi, sesampai disana, aroma yang tadi masih agak samar-samar akhirnya ketahuan, ternayata prediksi hati saya benar bahwa mereka bukan perokok gampangan.
Mata sayu serta raut wajah yang seakan merindukan kasur nampak jelas dari muka lelaki muda yang masih berumur 21 tahun itu. Sebut saja namaya Riko (bukan nama asli-red). Riko mengatakan bahwa dia dan kawannya sudah hampir saban hari melakukan pesta narkoba kecil-kecilan di kampus. Yang sangat menarik, mereka memakai narkoba bukan di tempat-tempat sepi atau jauh dari kerumunan mahasiswa lainnya, akan tetapi, mereka menikmati narkoba jenis yang akrap disebut bakong Atjeh yang tidak jauh bahkan di tempat-tempat ramai.
Alasannya berani mengkonsumsi barang haram itu di kampus bahkan di suasana yang kerap sebagai tempat berkumpul dan lalu-lalangnya orang-orang, karena mereka sudah membaca situasi ”di sini kami aman meubakong” kata Riko sambil menghembuskan asap dari sebatang rokok yang telah dimodifikasikan isinya. Menurut mereka kampus termasuk tempat yang aman untuk saat ini untuk berpesta narkoba kecil-kecilan.
Sudah hampir mencapai dua tahun mereka memakai narkoba di kawasan kampus, tidak ada yang harus ditakutkan untuk memakai narkoba di kampus. Karena menurut Riko, mahasiswa yang belum tahu bagaimana rasa dan baunya tidak akan tahu bahwa yang mereka hisap bukan sekedar rokok yang sebagaimana tampak dari luarnya.
Riko sudah bisa membaca mahasiswa yang status kecanduan sama seperti dia ”dari mata sudah nampak kalau orang yang makek” ungkap Riko sambil mengacuhkan tangan ke arah mata sayunya. Barang haram itu Riko mendapatkanya dari pengedar-pengedar yang sudah profesional serta transaksinya pun diatur dengan sangat rapi sehingga tidak
meningglkan kesan kecurigaan bagi siap yang melihat berlangsungnya transaksi ”seperti transaksi yang dilakukan para mafia di film” tambah Riko dengan sedikit senyuman.
Kemudian setelah didapatklan di luar, baru diedarkan kepada teman-teman yang sudah menjadi langganan di kampus. Proses transaksi serta saling membagi barang haram itu mereka lakukan dengan sangat cermat, baik di luar ruang kuliah bahkan di dalam ruang kuliah, dengan berpura-pura menukarkan tas atau buku saat teman-teman lain sedang larut belajar. Padahal di dalam tas atau buku telah disusupkan narkoba.
Untuk mendapatkan narkoba Riko harus mengeluarkan uang sekitar dua puluh sampai dengan seratus ribu. Karena sudah menjadi kebutuhan primer, Riko harus menyisihkan uangnya untuk persediaan narkoba. Kadang-kadang sempat tidak ada uang, Riko sangat resah takut tidak dapat menghisap ganja. Kepala rasanya berdenyut-denyut dan mulut hilang rasa, saat-saat seperti itu sangat ditakuti Riko. Pas seketika stok habis dan uang pun ikut meninggalakan kantongnya, Riko langsung menekan tombol hand phone tanpa henti dan SMS pun dia layangkan ke semua jaringannya untuk meminta bakong (ganja). ”kalau ganja habis, saya lngsung meminta pada teman-teman saya” ungkap Riko sambil mengisyarahkan tangan meminta.
Potret di luar kampus
Kamar kos yang berukuran hanya muat dua buah kasur itu, hampir saban hari dipenuhi asap bakong atjeh, nama lain dari ganja. Sarang laba-laba yang menghiasi kamar kecil itu, nampak berubah warna, akibat hinggapnya asap yang diproduksi dari rokok yang sudah dimodifikasikan isinya. Di kamar inilah mereka melinting ganja dengan menggunakan peper dan ada juga yang memodifikasikan rokok. Luarnya terlihat seperti rokok biasanya tetapi isinya barang haram.
Dengan suasana kamar kos yang sepi mereka lebih rileks dalam menikmatinya. ”di kos kita bisa lebih bebas menghisapnya” kata teman Riko yang juga sering bersama Riko saat pesta narkoba berlangsung. Tangan kanan di atas lutut. Perlahan mereka menghisap sebatang ganjan dengan penuh sensasi. Jauh berbeda yang perokok biasa, yang biasanya setelah menghisap lalu dihembuskan, akan tetapi para remaja ini punya triks tersendiri. Mereka tidak mengelurkan asap yang telah dihisap, akan tetapi diendapkan sejenak sampai bereaksi. Disitulah kenikmatan yang tidak ada duanya ”kalau tidak diendapkan, tidak akan teras nikmatnya” ungkap mereka sambil membakar sebatang lintingan ganja yang hampir mati.
Bewalal dari coba-coba
Memakai narkoba bukan suatu hal yang aneh bagi remaja yang postur tubuhnya hanya tinggal kerangka itu. Riko sudah meulai menggunakan narkoba (jenis ganja dan minuman keras) semenjak dia menduduki kelas dua SMU. Pada awalnya dia hanya seorang perokok biasa, akan tetapi karean pergaulan bebas yang merubah dirinya untuk memakai narkoba. Mulanya dia mencoba-coba untuk merasakan rasanya ”teman-teman mengatakan aku bencong, karena tidak berani menghisap ganja”. akhirnya aku pun mencobanya. Berawal dari situlah Riki menjadi kecanduan narkoba.
Saat ditanyakan bagaimana seandaikan tertangkap polisi apa kalian tidak takut. Sebenarnya mereka juga was-was dengan polisi, ”tidak ada yang mau tinggal di Sel” kata salah seorang teman Riko. Akan tetapi ketakutan mereka sirna karena terlanjur cinta kepada narkoba. Meraka juga tidak tahu sampai kapankah, potret hidup buram ini akan terus dalam belenggu narkoba.
Wawancara Pemakai Riko (bukan nama asli-red) dkk
1. Kapan anda mulai menggunakan narkoba?
”Saya mulai menggukan narkoba (jenis ganja) semenjak di bangku SMU”
2. Dimana anda mendapatkan narkoba?
”Barangnya saya membelinya diluar kampus pada pengedar dan ada juga di kampus sama kawan”
3. Berapa biaya untuk mendapatkan narkoba?
”kalau ganja sekitar 20 s.d. 100 ribu tetapi shabu-shabu jarang saya beli, paling-paling saya diksaih teman, karena harganya bukan kelas mahasiswa”
4. Apa kenikmatan dari narkoba?
”yah.... biasa hilangin pusing, anti depresi serta seakan kita tidak ada beban. Saya sabgat menikmati kekosongan, seakanudara ini hampa”
5. Jenis narkoba apa yang sering dan pernah dikomsumsi?
”biasanya bakong atjeh, karena mudah didapatkan, tetapi kadang-kadang minuman keras. Kalau shabu jarang, karena harganya mahal”
6. Apakah anda tidak takut ditangkap polisi?
”siapa yang amu tinggal di penjara. Tetapi mau gimana, sudah terlanjur cinta”
7. Biasanya memakai narkoba sendiri atau berjamaah?
”Kadang-kadang sendiri dan ada juga dengan teman-teman. Kalau di kos bareng teman. Tetapi kalu di kampus hanya dengan orang-orang yang sudah saya kenal”
8. Banyakkah orang seperti anda di kampus?
”limayan ada, tapi gak banyak kali juga. Saya bia kenal orang yang suadah makek, di matanya dah nampak kalau di dah kecanduan”
9. Kenapa anda berani hisap ganja di kampus?
”saya pikir kampus tempat yang aman untuk memakai ganja, karena tidak ada kita takutkan, hanya orang-orang yang sudah pernah beganja yang tahu aromanya”
Hari itu, saat matahari mulai condong ke ufuk barat, jarum jam menunjukan tepatnya pukul 14.00, suasana depan ruang kuliah di salah satu fakultas universitas Syiah Kuala, terlihat kerumunan mahasiswa yang sedang menunggu dosen.
Beberapa kelompok sedang duduk di depan ruang kuliah, sambil menunggu dosen datang, mereka mengambil kesempatan untuk membuka lembaran-lembaran makalah yang telah dipersiapkan untuk dipresentasikan. Kelompok lain juga tidak mau kalah, mereka membuka buku dan polpen di tangan tak henti menulis poin-poin penting ke note book, yang dipersiapkan untuk menguji kebolehan kelompok yang akan mempresentasikan makalah pada hari itu.
Suasana yang penuh nuansa edukasi itu, tidak dialami oleh dua orang mahasiswa yang sedang duduk di depan ruang kuliah paling ujung. Asap beraroma tajam yang mereka hembuskan dari sebatang rokok berpeting hinggap di hidung saya melalui perantaraan angin spoi-spoi. Rasa penasaran pun terbesit di hati saya, karena asap rokok yang mereka hisap sangat berbeda dengan asap rokok biasa.
Berlahan saya melangkahkan kaki ke arah mereka yang sedang larut dalam alam reinkarnasi, sesampai disana, aroma yang tadi masih agak samar-samar akhirnya ketahuan, ternayata prediksi hati saya benar bahwa mereka bukan perokok gampangan.
Mata sayu serta raut wajah yang seakan merindukan kasur nampak jelas dari muka lelaki muda yang masih berumur 21 tahun itu. Sebut saja namaya Riko (bukan nama asli-red). Riko mengatakan bahwa dia dan kawannya sudah hampir saban hari melakukan pesta narkoba kecil-kecilan di kampus. Yang sangat menarik, mereka memakai narkoba bukan di tempat-tempat sepi atau jauh dari kerumunan mahasiswa lainnya, akan tetapi, mereka menikmati narkoba jenis yang akrap disebut bakong Atjeh yang tidak jauh bahkan di tempat-tempat ramai.
Alasannya berani mengkonsumsi barang haram itu di kampus bahkan di suasana yang kerap sebagai tempat berkumpul dan lalu-lalangnya orang-orang, karena mereka sudah membaca situasi ”di sini kami aman meubakong” kata Riko sambil menghembuskan asap dari sebatang rokok yang telah dimodifikasikan isinya. Menurut mereka kampus termasuk tempat yang aman untuk saat ini untuk berpesta narkoba kecil-kecilan.
Sudah hampir mencapai dua tahun mereka memakai narkoba di kawasan kampus, tidak ada yang harus ditakutkan untuk memakai narkoba di kampus. Karena menurut Riko, mahasiswa yang belum tahu bagaimana rasa dan baunya tidak akan tahu bahwa yang mereka hisap bukan sekedar rokok yang sebagaimana tampak dari luarnya.
Riko sudah bisa membaca mahasiswa yang status kecanduan sama seperti dia ”dari mata sudah nampak kalau orang yang makek” ungkap Riko sambil mengacuhkan tangan ke arah mata sayunya. Barang haram itu Riko mendapatkanya dari pengedar-pengedar yang sudah profesional serta transaksinya pun diatur dengan sangat rapi sehingga tidak
meningglkan kesan kecurigaan bagi siap yang melihat berlangsungnya transaksi ”seperti transaksi yang dilakukan para mafia di film” tambah Riko dengan sedikit senyuman.
Kemudian setelah didapatklan di luar, baru diedarkan kepada teman-teman yang sudah menjadi langganan di kampus. Proses transaksi serta saling membagi barang haram itu mereka lakukan dengan sangat cermat, baik di luar ruang kuliah bahkan di dalam ruang kuliah, dengan berpura-pura menukarkan tas atau buku saat teman-teman lain sedang larut belajar. Padahal di dalam tas atau buku telah disusupkan narkoba.
Untuk mendapatkan narkoba Riko harus mengeluarkan uang sekitar dua puluh sampai dengan seratus ribu. Karena sudah menjadi kebutuhan primer, Riko harus menyisihkan uangnya untuk persediaan narkoba. Kadang-kadang sempat tidak ada uang, Riko sangat resah takut tidak dapat menghisap ganja. Kepala rasanya berdenyut-denyut dan mulut hilang rasa, saat-saat seperti itu sangat ditakuti Riko. Pas seketika stok habis dan uang pun ikut meninggalakan kantongnya, Riko langsung menekan tombol hand phone tanpa henti dan SMS pun dia layangkan ke semua jaringannya untuk meminta bakong (ganja). ”kalau ganja habis, saya lngsung meminta pada teman-teman saya” ungkap Riko sambil mengisyarahkan tangan meminta.
Potret di luar kampus
Kamar kos yang berukuran hanya muat dua buah kasur itu, hampir saban hari dipenuhi asap bakong atjeh, nama lain dari ganja. Sarang laba-laba yang menghiasi kamar kecil itu, nampak berubah warna, akibat hinggapnya asap yang diproduksi dari rokok yang sudah dimodifikasikan isinya. Di kamar inilah mereka melinting ganja dengan menggunakan peper dan ada juga yang memodifikasikan rokok. Luarnya terlihat seperti rokok biasanya tetapi isinya barang haram.
Dengan suasana kamar kos yang sepi mereka lebih rileks dalam menikmatinya. ”di kos kita bisa lebih bebas menghisapnya” kata teman Riko yang juga sering bersama Riko saat pesta narkoba berlangsung. Tangan kanan di atas lutut. Perlahan mereka menghisap sebatang ganjan dengan penuh sensasi. Jauh berbeda yang perokok biasa, yang biasanya setelah menghisap lalu dihembuskan, akan tetapi para remaja ini punya triks tersendiri. Mereka tidak mengelurkan asap yang telah dihisap, akan tetapi diendapkan sejenak sampai bereaksi. Disitulah kenikmatan yang tidak ada duanya ”kalau tidak diendapkan, tidak akan teras nikmatnya” ungkap mereka sambil membakar sebatang lintingan ganja yang hampir mati.
Bewalal dari coba-coba
Memakai narkoba bukan suatu hal yang aneh bagi remaja yang postur tubuhnya hanya tinggal kerangka itu. Riko sudah meulai menggunakan narkoba (jenis ganja dan minuman keras) semenjak dia menduduki kelas dua SMU. Pada awalnya dia hanya seorang perokok biasa, akan tetapi karean pergaulan bebas yang merubah dirinya untuk memakai narkoba. Mulanya dia mencoba-coba untuk merasakan rasanya ”teman-teman mengatakan aku bencong, karena tidak berani menghisap ganja”. akhirnya aku pun mencobanya. Berawal dari situlah Riki menjadi kecanduan narkoba.
Saat ditanyakan bagaimana seandaikan tertangkap polisi apa kalian tidak takut. Sebenarnya mereka juga was-was dengan polisi, ”tidak ada yang mau tinggal di Sel” kata salah seorang teman Riko. Akan tetapi ketakutan mereka sirna karena terlanjur cinta kepada narkoba. Meraka juga tidak tahu sampai kapankah, potret hidup buram ini akan terus dalam belenggu narkoba.
Wawancara Pemakai Riko (bukan nama asli-red) dkk
1. Kapan anda mulai menggunakan narkoba?
”Saya mulai menggukan narkoba (jenis ganja) semenjak di bangku SMU”
2. Dimana anda mendapatkan narkoba?
”Barangnya saya membelinya diluar kampus pada pengedar dan ada juga di kampus sama kawan”
3. Berapa biaya untuk mendapatkan narkoba?
”kalau ganja sekitar 20 s.d. 100 ribu tetapi shabu-shabu jarang saya beli, paling-paling saya diksaih teman, karena harganya bukan kelas mahasiswa”
4. Apa kenikmatan dari narkoba?
”yah.... biasa hilangin pusing, anti depresi serta seakan kita tidak ada beban. Saya sabgat menikmati kekosongan, seakanudara ini hampa”
5. Jenis narkoba apa yang sering dan pernah dikomsumsi?
”biasanya bakong atjeh, karena mudah didapatkan, tetapi kadang-kadang minuman keras. Kalau shabu jarang, karena harganya mahal”
6. Apakah anda tidak takut ditangkap polisi?
”siapa yang amu tinggal di penjara. Tetapi mau gimana, sudah terlanjur cinta”
7. Biasanya memakai narkoba sendiri atau berjamaah?
”Kadang-kadang sendiri dan ada juga dengan teman-teman. Kalau di kos bareng teman. Tetapi kalu di kampus hanya dengan orang-orang yang sudah saya kenal”
8. Banyakkah orang seperti anda di kampus?
”limayan ada, tapi gak banyak kali juga. Saya bia kenal orang yang suadah makek, di matanya dah nampak kalau di dah kecanduan”
9. Kenapa anda berani hisap ganja di kampus?
”saya pikir kampus tempat yang aman untuk memakai ganja, karena tidak ada kita takutkan, hanya orang-orang yang sudah pernah beganja yang tahu aromanya”
Namaku Bukan Teuku
Sore itu ,para calon penumpang membanjiri bandara yang sangat megah di timur tengah yang dikenal dengan Bandara International King Abdul Aziz. Para calon penumpang sedang menunggu jadwal keberangkatan di waiting room terlihat lesu, ada yang sedang menguap, ada juga yang sedang menghibur mata pada tayangan televisi yang dipajang di setiap depan waiting room itu.
“Pengumuman, kepada penumpang Garuda Indonesia tujuan Nanggroe Aceh Darusalam, jadwal penerbangan ditunda satu jam, terima kasih”. Mendengar penundaan tersebut, aku pun merasa jenuh untuk menunggu sampai satu jam “the most boring activity is waiting” besit hatiku dengan sedikit rasa kecewa. Tetapi aku tidak mau membuang waktu dengan begitu saja, karena waktu itu sangatlah berharga. Kekosongan selama satu jam diwarnai dengan bait-bait suci dari lembaran-lembaran wahyu-Nya yang memberikan ketentraman abadi bagi jiwa.
Beberapa saat kemudian, saat aku sedang hanyut dengan bait-bait kitab suci, tiba-tiba seorang lelaki yang usianya sudah menginjak sekitar 35 tahun itu mengisi sebuah kursi kosong di samping kananku. Bait-bait qur’an pun sejenak berhenti dari mulutku. Hati ini berkata “Ini pasti orang yang berasal dari nanggroku”. Baju yang dikenakan lelaki itu, memberikan jawaban bahwa dia adalah sosok yang berasal dari nanggro kelahiranku.
Rasa penasan pun membungkam di benak, “apa dia orang nanggroku” batinku berkata begitu. Tak lama kemudian, lelaki berkacamata yang dipadu kupiah berwarna hitam itu ku sapa. “Assalamu’alaikum Pak” sapaku. “Wa’alaikumsalam, lho… Adek orang Indonesia juga?” jawabnya pendek. “Iya Pak.” Jawabku sambil mengulurkan tangan. “Di Indonesia dimanaya tu dek?”sambungnya. “Aku di Aceh Pak ”. “Lon Ureueng Aceh Chit” jawabnya dalam bahasa Aceh. Keakraban pun mulai mengisi suasana kami di waiting room sore itu.
“Pak. Bagaimana keadaan di gampong kita?” tanyaku dengan rasa ingin tahu sangat. Kerinduan akan gampong kelahiran kian menggugah di hati. nanggro yang sangat kaya dengan kekayaan alam, subur dan masyarakatnya saat taat beragama. nanggro yang semenjak aku lahir selalu dalam keadaan yang sangat tegang, nanggroku dulu tiap harinya selalu diwarnai dengan darah. Banyak orang bilang, penghuni gampongku berwatak keras, tetapi menurutku itu bukanlah kemauannya, hanya saja wakta mereka dibentuk oleh masa dan peradaban di masanya.
Lelaki yang biasa disapa Pak Husen itu mulai membuka lembaran memori gampong kami. Beberapa tahun yang lalu saya tercatat sebagai mahasiswa Al-Azhar Kairo Mesir. Setelah saya menyelasaikan kuliah, dengan penuh semangat berharap apa yang telah saya dapatkan di Al-Azhar kiranya dapat saya bawa pulang sebagai ole-ole pengabdiaku untuk nanggro.
Di pagi yang cerah, saat mentari mulai menyapa bumi, dengan semanagat sang sosok sejati yang penuh opsesi untuk berkontribusi dalam membangun nanggroe. Nanggro warisan para leluhur yang peradabannya sempat tercium harum semerbak keseluruh jagat raya. Ingin sangat saya untuk meneruskan estapet mereka, walau bukan sebagai papan atas.
Semangat yang menggebu, akhirnya lenyap dari jiwaku, karena orang-orang bilang naggro kita telah dikuasai oleh orang-orang meukaom. Katanya, mereka tidak akan memberikan kesempatan kepada orang lain selain kaom mereka. Hanya saja para pejantan mereka yang dapat menikmati dan menguasai naggro warisan para lelulur, padahal para lelulur tidak mewariskan perangai itu.
Setika saya masuk ke dalam gedung nanggro, tempat para penguasa menyetir arah naggro. Gedung yang terhitung besar yang didesain dengan arsitektur timur tengah itu berdiri tegap di tengah naggro. Saban hari mereka menjalankan tugas di dalam bangunan yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Suasana di dalam gedung sangat beda dari layaknya kantor nanggro. Mulai dari desain ruangannya, barisan meja yang diatur layaknya warong kupi. Tidak hanya desainnya, tetepi para pekerja yang hanya lulusan SMA itu membawa nuansa warong kupi ke dalam ruangan berase itu. Saya sangat muak melihat adegan yang sangat memalukan, lalu saya berpindah ke tempat lain, juga adegan yang sama terjadi.
Sebuah pamplet yang bertuliskan Struktur Pengurus Nanggro terpajang tepat di ruang utama gedung naggroe, mata pun ku hadapkan pada tulisan yang mengisi pamphlet itu. Satu persatu saya membacanya, mulai dari wali naggro sampai ke jabatan yang paling kecil, tidak satu orang pun yang namanya tidak di awali dengan Teuku, Raja dan Cut. “apa ini tidak salah baca” ucapku sendiri. Lalu saya membuka kaca mata, pikir saya ini kesalahannya, tetapi tulisan di pamphlet itu tetap seperti mulanya.
Saya pun melangkahkan kaki dari kantor nanggro yang dihuni oleh orang-orang yang namanya diwali dengan unsur Teuku, Raja dan Cut. Ternyata saya tahu, mengapa saya tidak bisa menjadi penghuni kantor nanggro, pasti karena nama saya tidak seperti nama mereka. Sempat terbesit di hati “apa saya harus menambahkan nama” dari Muhammad Husen menjadi Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen, agar Saya bisa diterima sebagai rentenil nanggro.
Seingat saya, peristiwa ganti nama bukan ini pertama kali terjadi. Dulu pernah juga, katanya kalau mau menjadi rentenil naggro namanya harus ada vokal [o], kalau Supian harus di tambah dengan Supianto. Terus beberepa tahun setelah itu, dari nama Supianto berubah lagi menjadi Supian, karena orang-orang bilang kalau namanya ada vocal [o] bakal di usir dari nanggro bahkan ada yang dipotong lehernya.
“Ah… masa bodoh” untuk apa saya harus ganti nama kalau hanya untuk menjadi rentenil nanggroe,tho dunia ini’kan sangat luas, diluar pasti banyak yang membutuhkan skil saya, walau hanya sebagai sarjana Filsafat Islam.
Gonta-ganti nama memang sudah menjadi budaya turun-temurun di nanggro kita. Saya lebih memilih untuk meningglakan nanggro, karena Saya tidak mau ganti nama, bagi saya nama sangatlah berharga. Nama saya tetap Muhammada Husen, bukan Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen.
“Begitulah Dek, keadaan naggro kita sekarang” ucap Pak Husen lemah, raut wajahnya seperti menyimpan kekesalan dan kekecewaan.
“Mohon perhatian kepada maskapai Garuda Indonesia tujuan Nanggro Aceh Darusalam untuk menaiki pesawat, terima kasih” aba-aba dari operator pun keluar dari speaker yang dipasang pada setiap waiting room. Pak Husen pun mengakhiri ceritanya, karena aku harus segera berangkat.”Sampai jumpa Pak ” ucapku sebelum berpisah dengannya.
Catatan
Gampong : Desa/wilayah
Nanggroe : Negara
Kaom : kaum/saudara
Teuku, Cut dan Raja : Nama bagi keturunan raja.
“Pengumuman, kepada penumpang Garuda Indonesia tujuan Nanggroe Aceh Darusalam, jadwal penerbangan ditunda satu jam, terima kasih”. Mendengar penundaan tersebut, aku pun merasa jenuh untuk menunggu sampai satu jam “the most boring activity is waiting” besit hatiku dengan sedikit rasa kecewa. Tetapi aku tidak mau membuang waktu dengan begitu saja, karena waktu itu sangatlah berharga. Kekosongan selama satu jam diwarnai dengan bait-bait suci dari lembaran-lembaran wahyu-Nya yang memberikan ketentraman abadi bagi jiwa.
Beberapa saat kemudian, saat aku sedang hanyut dengan bait-bait kitab suci, tiba-tiba seorang lelaki yang usianya sudah menginjak sekitar 35 tahun itu mengisi sebuah kursi kosong di samping kananku. Bait-bait qur’an pun sejenak berhenti dari mulutku. Hati ini berkata “Ini pasti orang yang berasal dari nanggroku”. Baju yang dikenakan lelaki itu, memberikan jawaban bahwa dia adalah sosok yang berasal dari nanggro kelahiranku.
Rasa penasan pun membungkam di benak, “apa dia orang nanggroku” batinku berkata begitu. Tak lama kemudian, lelaki berkacamata yang dipadu kupiah berwarna hitam itu ku sapa. “Assalamu’alaikum Pak” sapaku. “Wa’alaikumsalam, lho… Adek orang Indonesia juga?” jawabnya pendek. “Iya Pak.” Jawabku sambil mengulurkan tangan. “Di Indonesia dimanaya tu dek?”sambungnya. “Aku di Aceh Pak ”. “Lon Ureueng Aceh Chit” jawabnya dalam bahasa Aceh. Keakraban pun mulai mengisi suasana kami di waiting room sore itu.
“Pak. Bagaimana keadaan di gampong kita?” tanyaku dengan rasa ingin tahu sangat. Kerinduan akan gampong kelahiran kian menggugah di hati. nanggro yang sangat kaya dengan kekayaan alam, subur dan masyarakatnya saat taat beragama. nanggro yang semenjak aku lahir selalu dalam keadaan yang sangat tegang, nanggroku dulu tiap harinya selalu diwarnai dengan darah. Banyak orang bilang, penghuni gampongku berwatak keras, tetapi menurutku itu bukanlah kemauannya, hanya saja wakta mereka dibentuk oleh masa dan peradaban di masanya.
Lelaki yang biasa disapa Pak Husen itu mulai membuka lembaran memori gampong kami. Beberapa tahun yang lalu saya tercatat sebagai mahasiswa Al-Azhar Kairo Mesir. Setelah saya menyelasaikan kuliah, dengan penuh semangat berharap apa yang telah saya dapatkan di Al-Azhar kiranya dapat saya bawa pulang sebagai ole-ole pengabdiaku untuk nanggro.
Di pagi yang cerah, saat mentari mulai menyapa bumi, dengan semanagat sang sosok sejati yang penuh opsesi untuk berkontribusi dalam membangun nanggroe. Nanggro warisan para leluhur yang peradabannya sempat tercium harum semerbak keseluruh jagat raya. Ingin sangat saya untuk meneruskan estapet mereka, walau bukan sebagai papan atas.
Semangat yang menggebu, akhirnya lenyap dari jiwaku, karena orang-orang bilang naggro kita telah dikuasai oleh orang-orang meukaom. Katanya, mereka tidak akan memberikan kesempatan kepada orang lain selain kaom mereka. Hanya saja para pejantan mereka yang dapat menikmati dan menguasai naggro warisan para lelulur, padahal para lelulur tidak mewariskan perangai itu.
Setika saya masuk ke dalam gedung nanggro, tempat para penguasa menyetir arah naggro. Gedung yang terhitung besar yang didesain dengan arsitektur timur tengah itu berdiri tegap di tengah naggro. Saban hari mereka menjalankan tugas di dalam bangunan yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Suasana di dalam gedung sangat beda dari layaknya kantor nanggro. Mulai dari desain ruangannya, barisan meja yang diatur layaknya warong kupi. Tidak hanya desainnya, tetepi para pekerja yang hanya lulusan SMA itu membawa nuansa warong kupi ke dalam ruangan berase itu. Saya sangat muak melihat adegan yang sangat memalukan, lalu saya berpindah ke tempat lain, juga adegan yang sama terjadi.
Sebuah pamplet yang bertuliskan Struktur Pengurus Nanggro terpajang tepat di ruang utama gedung naggroe, mata pun ku hadapkan pada tulisan yang mengisi pamphlet itu. Satu persatu saya membacanya, mulai dari wali naggro sampai ke jabatan yang paling kecil, tidak satu orang pun yang namanya tidak di awali dengan Teuku, Raja dan Cut. “apa ini tidak salah baca” ucapku sendiri. Lalu saya membuka kaca mata, pikir saya ini kesalahannya, tetapi tulisan di pamphlet itu tetap seperti mulanya.
Saya pun melangkahkan kaki dari kantor nanggro yang dihuni oleh orang-orang yang namanya diwali dengan unsur Teuku, Raja dan Cut. Ternyata saya tahu, mengapa saya tidak bisa menjadi penghuni kantor nanggro, pasti karena nama saya tidak seperti nama mereka. Sempat terbesit di hati “apa saya harus menambahkan nama” dari Muhammad Husen menjadi Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen, agar Saya bisa diterima sebagai rentenil nanggro.
Seingat saya, peristiwa ganti nama bukan ini pertama kali terjadi. Dulu pernah juga, katanya kalau mau menjadi rentenil naggro namanya harus ada vokal [o], kalau Supian harus di tambah dengan Supianto. Terus beberepa tahun setelah itu, dari nama Supianto berubah lagi menjadi Supian, karena orang-orang bilang kalau namanya ada vocal [o] bakal di usir dari nanggro bahkan ada yang dipotong lehernya.
“Ah… masa bodoh” untuk apa saya harus ganti nama kalau hanya untuk menjadi rentenil nanggroe,tho dunia ini’kan sangat luas, diluar pasti banyak yang membutuhkan skil saya, walau hanya sebagai sarjana Filsafat Islam.
Gonta-ganti nama memang sudah menjadi budaya turun-temurun di nanggro kita. Saya lebih memilih untuk meningglakan nanggro, karena Saya tidak mau ganti nama, bagi saya nama sangatlah berharga. Nama saya tetap Muhammada Husen, bukan Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen.
“Begitulah Dek, keadaan naggro kita sekarang” ucap Pak Husen lemah, raut wajahnya seperti menyimpan kekesalan dan kekecewaan.
“Mohon perhatian kepada maskapai Garuda Indonesia tujuan Nanggro Aceh Darusalam untuk menaiki pesawat, terima kasih” aba-aba dari operator pun keluar dari speaker yang dipasang pada setiap waiting room. Pak Husen pun mengakhiri ceritanya, karena aku harus segera berangkat.”Sampai jumpa Pak ” ucapku sebelum berpisah dengannya.
Catatan
Gampong : Desa/wilayah
Nanggroe : Negara
Kaom : kaum/saudara
Teuku, Cut dan Raja : Nama bagi keturunan raja.
Jangan Biarkan Alam Murka
Dulu, Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang populasi kekayaan alam sangat tinggi. Hutan hijau terbentang menjadi saksi keseburan alam, tempat satwa menjalani hari-hari indahnya. Pepohonan yang masih segar menghasilakan oksigen yang lumayan besar, serta mampu menampung air berjuta-juta barer perharinya.
Namun, hutan Aceh yang dulu hijau (green) kini berubah menjadi kuning. Barisan pepohonan kian melonggar, tidak hanya yang tua, yang muda pun ikut pamit dari barisan. Barisan pepohonan, berubah menjadi hamparan padang seketika. Sementara, para penghuninya (satwa) harus angkat kaki dari ranah kehidupan mereka. Seakan para satwa bukan penghuni dunia. Teguran yang diberikan satwa tidak memberi pemahaman kepada para pembabat ranah mereka.
Hampir setiap bulannya media memberitakan , bahwa satwa kini telah turun ke desa. Memporak-porandakan rumah warga, karena rumah mereka telah tiada, namun manusia tidak memahami kritik mereka.
Berberapa waktu lalu, saya sempat mengunjungi ”RAMAT” International Wildlife Meseum dan Geliry, Medan-Idonenesia. Kebetulan saat itu sedang berlangsung seminar yang bertajuk ”Hari Cinta Puspa”. Setelah seminar usai, saya menjumpai pemateri, yaitu Dr. Jaya Arjuna. Setelah saya memperkenalkan diri dan asal. ”tolong kamu katakan kepada kawan-kawan di Aceh, dalam Al-quran Allah sangat mengutuk bagi orang yang menghancurkan lingkungan” begitu pesannya kepada saya sambil memberikan makalah yang berisi ayat Al-Quran tentang dosa perusak lingkungan. ”Di Aceh kan syariat Islam” tambahnya. Saya pun merasa agak malu dengan status Aceh sebagai salah satu provinsi yang berlandaskan syariat Islam, tetapi implementasinya masih sangat kurang.
Mereka para pelaku
Hari demi hari, penebangan liar kian menjadi-jadi. Hampir seluruh titik hutan yang ada di Aceh telah terjamah oleh tangan-tangan mereka yang tidak bertanggung jawab. Akankah beberpa tahun ke depan hutan Aceh yang dulunya hijau akan berubah menjadi warna kuning? Mukin ini akan terjadi apa bila kegiatan ini akan selalu rutinitas terjadi.
Hasil survei menunjukan, bahwa pelaku utama yang sangat berperan dalam penebangan liar ini adalah masyarakat yang dilatar belakangi oleh faktor sosial ekonomi. Hal ini dipicu untuk memenuhi kebutuhan primer, karena kurangnya tersedia lapangan kerja, maka solusinya adalah menebang hutan. Walau pun perbuatan ini bertentangan hukum (negara) bahkan Islam pun mengutuknya. Tetapi apa hendak di kata kebutuhan yang menuntutnya.
Disamping itu, tidak hanya faktor sosial ekonomi, akan tetapi latar belakang pendidikan juga sangat mempengaruhinya. Karena pengetahuan akan mengubah sikap dan perilaku manusia.
Manusia tidak menyadarinya, bahwa dari perbuatannya akan berdampak besar terhadap potensi bencana. Seperti banjir, tanah longsor, dan sangat besar kemukinan rawan gempa. Karena pepohoan/hutan merupakan nadi dari pada bumi.
Selain itu, pepohonan/hutan juga sangat berfungsi untuk menghirup asap yang dapat menyebabkan volusi/pencemaran udara, dalam hal ini hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Maka apabila kita tidak memperdulikannya maka tunggulah bencana akan melanda kita (lih, Ar-Rum-41).
Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali dia yang akan mengubahnya sendiri. Kiranya ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Untuk apa kita mengejar kesenagan sesaat, sementara dampaknya kehancuran di masa mendatang.
Terkait hal ini, pemerintah pun kiranya dapat membuka mata untuk mengkaji latar belakang sehingga masyarakat melakukan penebangan liar. Namun, ini tidak hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas kita bersama untuk mensosialisasikan kepada saudara-saudara kita untuk menyelamatkan lingkungan ini.
Melaui Hari Menanam Nasional. Mari kita kembalikan semangat untuk menata alam ini kembali. Salah satunya adalah dengan program reboisasi, satu orang sepuluh pohon. Dengan progaram cinta lingkungan ini kita telah ikut berperan terhadap kondisi alam di masa mendatang.
Lihat masa depan, karena kehidupan bukan saja di masa kita, akan tetapi berikan peluang untuk generasi bangsa selanjutnya. Jangan sampai kita mewariskan lingkungan sirna kepada generasi muda. Mereka juga merindukan alam yang indah dan dipenuhi oleh satwa-satwa. (Dirgahuyu Hari Menenam Nasional)
Namun, hutan Aceh yang dulu hijau (green) kini berubah menjadi kuning. Barisan pepohonan kian melonggar, tidak hanya yang tua, yang muda pun ikut pamit dari barisan. Barisan pepohonan, berubah menjadi hamparan padang seketika. Sementara, para penghuninya (satwa) harus angkat kaki dari ranah kehidupan mereka. Seakan para satwa bukan penghuni dunia. Teguran yang diberikan satwa tidak memberi pemahaman kepada para pembabat ranah mereka.
Hampir setiap bulannya media memberitakan , bahwa satwa kini telah turun ke desa. Memporak-porandakan rumah warga, karena rumah mereka telah tiada, namun manusia tidak memahami kritik mereka.
Berberapa waktu lalu, saya sempat mengunjungi ”RAMAT” International Wildlife Meseum dan Geliry, Medan-Idonenesia. Kebetulan saat itu sedang berlangsung seminar yang bertajuk ”Hari Cinta Puspa”. Setelah seminar usai, saya menjumpai pemateri, yaitu Dr. Jaya Arjuna. Setelah saya memperkenalkan diri dan asal. ”tolong kamu katakan kepada kawan-kawan di Aceh, dalam Al-quran Allah sangat mengutuk bagi orang yang menghancurkan lingkungan” begitu pesannya kepada saya sambil memberikan makalah yang berisi ayat Al-Quran tentang dosa perusak lingkungan. ”Di Aceh kan syariat Islam” tambahnya. Saya pun merasa agak malu dengan status Aceh sebagai salah satu provinsi yang berlandaskan syariat Islam, tetapi implementasinya masih sangat kurang.
Mereka para pelaku
Hari demi hari, penebangan liar kian menjadi-jadi. Hampir seluruh titik hutan yang ada di Aceh telah terjamah oleh tangan-tangan mereka yang tidak bertanggung jawab. Akankah beberpa tahun ke depan hutan Aceh yang dulunya hijau akan berubah menjadi warna kuning? Mukin ini akan terjadi apa bila kegiatan ini akan selalu rutinitas terjadi.
Hasil survei menunjukan, bahwa pelaku utama yang sangat berperan dalam penebangan liar ini adalah masyarakat yang dilatar belakangi oleh faktor sosial ekonomi. Hal ini dipicu untuk memenuhi kebutuhan primer, karena kurangnya tersedia lapangan kerja, maka solusinya adalah menebang hutan. Walau pun perbuatan ini bertentangan hukum (negara) bahkan Islam pun mengutuknya. Tetapi apa hendak di kata kebutuhan yang menuntutnya.
Disamping itu, tidak hanya faktor sosial ekonomi, akan tetapi latar belakang pendidikan juga sangat mempengaruhinya. Karena pengetahuan akan mengubah sikap dan perilaku manusia.
Manusia tidak menyadarinya, bahwa dari perbuatannya akan berdampak besar terhadap potensi bencana. Seperti banjir, tanah longsor, dan sangat besar kemukinan rawan gempa. Karena pepohoan/hutan merupakan nadi dari pada bumi.
Selain itu, pepohonan/hutan juga sangat berfungsi untuk menghirup asap yang dapat menyebabkan volusi/pencemaran udara, dalam hal ini hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Maka apabila kita tidak memperdulikannya maka tunggulah bencana akan melanda kita (lih, Ar-Rum-41).
Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali dia yang akan mengubahnya sendiri. Kiranya ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Untuk apa kita mengejar kesenagan sesaat, sementara dampaknya kehancuran di masa mendatang.
Terkait hal ini, pemerintah pun kiranya dapat membuka mata untuk mengkaji latar belakang sehingga masyarakat melakukan penebangan liar. Namun, ini tidak hanya tugas pemerintah, tetapi juga tugas kita bersama untuk mensosialisasikan kepada saudara-saudara kita untuk menyelamatkan lingkungan ini.
Melaui Hari Menanam Nasional. Mari kita kembalikan semangat untuk menata alam ini kembali. Salah satunya adalah dengan program reboisasi, satu orang sepuluh pohon. Dengan progaram cinta lingkungan ini kita telah ikut berperan terhadap kondisi alam di masa mendatang.
Lihat masa depan, karena kehidupan bukan saja di masa kita, akan tetapi berikan peluang untuk generasi bangsa selanjutnya. Jangan sampai kita mewariskan lingkungan sirna kepada generasi muda. Mereka juga merindukan alam yang indah dan dipenuhi oleh satwa-satwa. (Dirgahuyu Hari Menenam Nasional)
Sabtu, 21 November 2009
Ayahku sekarang sedang terbaring di rumah sakit
Kawan,aku sekarang di rumah sakit Cut Nyak Dhien Meulaboh. Dimana bisa dapatkan darah gol b, sktar 4 kantong?
Rabu, 11 November 2009
Tarian Ala Gemasastrin
Workshop Nasional Jurnalisme Online
Workshop Nasional Jurnalisme Online yang diselengarakan oleh LPM SUARA USU-Medan pada 5-7 November 2009 yang bertempat di gedung Pelatihan Formal dan Informal, Setia Budi Meda. Acara tersebut diikutu lebih dari sepuluh Lembaga Pers Mahasiswa di seluruh Indonesia. termasuk saya sendiri yang mewakili dari UKM Pers DETaK Unsyiah.
Makam Sultan Deli
Interferensi dalam bahasa
Konsep Bahasa
Bahasa merupakan alat kumunikasi9 yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan perasaannya kepada lawan bicara..... bersambung
Bahasa merupakan alat kumunikasi9 yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan perasaannya kepada lawan bicara..... bersambung
Why Kebodohan terjadi dimana-mana
kenapa kebodohan terjadi dimana-mana?
jawabnya:
Karena,
manusia tidak memperdulikan pendidikannya?
kenapa?
karena dia merasa cukup dengan apa yang ada
padahal,
itu belum seberapa.
nah...
bagaimana caranya?
renungkan kehidupanmu sesaat
buka mata, lihat dunia
buka hati, rasakan segalanya
bahwa kita masih bodoh....
otak kita masih kosong
pikiran slalu plong.....
hidup tak pernah menyonsong.
hai.....
pandanglah penghujung senja
tanyakan batinmu,
apa yang aku bisa
selain menghirup dan menglepaskan oksigen_Nya.
jawabnya:
Karena,
manusia tidak memperdulikan pendidikannya?
kenapa?
karena dia merasa cukup dengan apa yang ada
padahal,
itu belum seberapa.
nah...
bagaimana caranya?
renungkan kehidupanmu sesaat
buka mata, lihat dunia
buka hati, rasakan segalanya
bahwa kita masih bodoh....
otak kita masih kosong
pikiran slalu plong.....
hidup tak pernah menyonsong.
hai.....
pandanglah penghujung senja
tanyakan batinmu,
apa yang aku bisa
selain menghirup dan menglepaskan oksigen_Nya.
Bunga Senja
Bunga Senja
dulu…
dirimu pelipur lara
menghiasi jagat raya
terjaga, berharga, dan terpelihara
terjaga dari jamahan tangan berbisa
pagar
iman, taqwa
dinding
besi, baja
jauh
laut, samudra
selalu terpanjar nur rabbana
harum semerbak, mbak sedap malam
tetapi sekarang sirna…
mahkota yang berharga
menjadi sarang laba-laba
bebas…
siapa saja boleh juga
menggoda,
merasa,
meraba,
bahkan mengotorinya
sulit
sulit
sulit
sulit mencari yang sempurna
walau di taman bunga
semua telah tercuca
harum meninggalkannya
semua telah layu
dan sirna
ya
sirna
dulu…
dirimu pelipur lara
menghiasi jagat raya
terjaga, berharga, dan terpelihara
terjaga dari jamahan tangan berbisa
pagar
iman, taqwa
dinding
besi, baja
jauh
laut, samudra
selalu terpanjar nur rabbana
harum semerbak, mbak sedap malam
tetapi sekarang sirna…
mahkota yang berharga
menjadi sarang laba-laba
bebas…
siapa saja boleh juga
menggoda,
merasa,
meraba,
bahkan mengotorinya
sulit
sulit
sulit
sulit mencari yang sempurna
walau di taman bunga
semua telah tercuca
harum meninggalkannya
semua telah layu
dan sirna
ya
sirna
Langganan:
Postingan (Atom)