31-Januari-2010-Minggu-Cerpen-Isabel-LengiesasaISABEL tertangkap basah sedang bersunyi-sunyi di sebuah rumah sunyi di kampung sunyi. Para warga melaporkannya ke kantor penegak hukum agamais yang berada tak jauh dari kampung tersebut. Sebuah komplotan dengan seragam resmi yang menandakan mereka orang-orang yang siap mendirikan hukum agama di negeri itu-negeri yang memang masyhur dengan ketaatan beragama- turun dari mobil dinas laiknya polisi dan segera menangkap Isabel dan lelakinya.
Vanbeiden, lelaki yang bersunyi-sunyi dengan Isabel tak ayal menjadi penyantap bogem mentah warga yang pada dasarnya memang suka bermain tangan. Di sepanjang jalan Lengiesasa, Isabel dan vanbeiden terpaku di bangku kayu mobil dinas tersebut. Oh, muka Vanbeiden hampir hancur, Isabel telah dimandikan warga, ditampar-tampar perempuan-perempuan kampung yang munafik dengan diri mereka dan berlagak suci di depan khalayak.
Namun wajah Isabel yang memang cantik tak mampu tertutup oleh mukanya yang memerah karena malu dan terkena pukulan. Ia gadis kampung yang baru saja mengenal dunia liar, hingga ia tak mengindahkan lagi aturan-aturan. Vanbeiden hanya tertunduk tak berdaya sejak tertangkap basah hingga di atas mobil. Para pungawa hukum sengaja bermuka sangar di sepanjang jalan.
Senja hilang dalam kuluman malam. Beiden lebih dulu diinterogasi, sedangkan perempuannya duduk di bangku tunggu di ruang sederhana yang dijadikan kantor cabang Penegak Hukum Agama negeri sunyi. Tentu saja tanyaan-tanyaan itu tentang perbuatan yang baru saja mereka dilakukannya. Kaos biru berlumur darah yang mengucur dari hidung dan dahinya masih basah. Ia mungkin tidak berpikir sampai kesitu.
Hingga hampir menjelang dua jam lelaki itu diperiksa, ditanya-tanya dengan tanyaan-tanyaan yang hampir itu-itu saja, jika salah-salah menjawab ia akan mendapat tinju. Negeri ini memang begitu adanya, yang berseragam kadang kala kejamnya minta ampun. Dan Beiden telah merasakan puluhan tinju hari itu saja.
Saat jarum jam telah menunjukkan pukul delapan malam lebih beberapa menit Beiden disuruh pulang untuk mengurus surat-surat dan beberapa hal lagi yang menyangkut pelanggaran yang telah ia lakukan bersama Isabel. Ia begitu lemah sudah, mukanya menyurat lelah. Hanya sekilas senyum getir yang sempat dilayangkannya pada perempuannya itu dan Isabel membalasnya dengan sedikit saja mulut terbuka wab penyesalan. Isabel ditahan sementara.
Ada tiga penegak hukum yang menjaga gadis itu. Isabel masih cantik dengan balutan pakaiannya yang ketat. Ia diamankan di sebuah kamar yang dilengkapi tempat tidur. Memang para punggawa itu masih sayang kepada Isabel, mereka mengorbankan tempat tidur yang biasa mereka bagi bertiga bergiliran itu. Mereka mengambil bagian di ruang depan sambil menonton televisi 20 inch dan menikmati kopi serta kue-kue basah.
Tengah malam Gabriel, seorang punggawa berbadan besar yang belum tidur tiba-tiba sakit perut. Mungkin karena kebanyakan makan dan minum kopi. Dia buru-buru berlari ke WC di belakang kantor. Melewati kamar Isabel sakit perut Gabriel tertahan, ia melihat gadis itu sedang pulas. Tiba-tiba saja pikirannya berubah, ia ingin menikmati pandangannya pada tubuh gadis berkulit putih itu dalam jarak dekat. Di pintu ia mematung menatap lekuk tubuh sintal gadis yang mereka tangkap karena bersunyi-sunyi tersebut. Lama ia menatap saja geliat Isabel saat sedang tidur. Tiba-tiba ia berubah pikiran, oh ini waktunya. Tak lupa memeriksa keamanan, dua temannya sedang larut menonton bola. Dan ia berbalik ke kamar Isabel.
Pintu ditutup. Ia begitu bergairah melihat badan Isabel. Disentuhnya tubuh gadis itu, Isabel terjaga dan melawan.Suara gaduh karena Isabel tak terima perlakuan itu. Dua pungawa lainnya kemudian mendengar suara itu dan berlari menghampiri kamar Isabel. Keduanya mendobrak pintu kamar yang tidak begitu kuat terkunci, mereka mendapati Gabriel sedang mencoba menggagahi Isabel dan gadis itu terlihat lemah melawan. Puerto dan Stephar, dua sang punggawa hukum agamais itu beradu tatap.
Dalam pandangan itu nampaknya ada sebuah kesepakatan. Saat Isabel terlihat memelas memohon bantuan, saat Gabriel sedang dibalut birahi, dan mata mereka semua beradu, Puerto dan Stephar sepakat untuk membantu tugas Gabriel. Isabel sudah tak mampu lagi melawan. Gadis ayu dari pelosok kampung Paybuthong di hampir ujung kota Lengiesasa itu hanya mampu mengucurkan airmata.
Isabel masih menangis hingga malam hampir habis. Sungguh jauh dari lorong pikirnya punggawa-punggawa hukum agamais yang selama ini berceloteh banyak tentang hukum-hukum agama itu ternyata adalah pencemar agama itu sendiri.
Pagi telah gagah saat datang beberapa keluarga Isabel dan beberapa keluarga Vanbeiden untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anak-anak mereka. Dan perempuan tua yang adalah ibu Isabel mendapati putrinya sedang menangis dengan raut mengiba. Ibu tua itu menghibur anaknya, ia menyetujui Beiden sebagai menantunya tanpa syarat apa-apa seperti yang pernah ia pertahankan dulu. Namun tangis Isabel kian membuncah, memecah sepi kantor. Atas dasar heran yang memuncak ayah Isabel yang terlihat lebih muda dari ibunya bertanya sebab putri kedua mereka menangis begitu tersedu.
Meledaklah suasana ketika nyatanya Isabel menceritakan semua laku yang terjadi padanya sejak Beiden pulang semalam. Berang ayahnya, berang ibunya, berang Beiden. Kontan serapah dan kemarahan meledak di kantor cabang penegak hukum agamais tersebut. Ayahnya membanting barang-barang, beiden bertanya siapa pelakunya.
Seperti lumrah terjadi di negeri Atheraj atau lingkup besarnya Negara Elboniandos, pemimpin besar orang-orang berseragam selalu tidak begitu membenarkan berita buruk yang menuduh bawahan-bawahan mereka telah melakukan perbuatan tercela. Mereka menjaga seragam, meski semua itu benar adanya.
Esoknya di sebuah koran lokal halaman pertama kolom ketiga terpampang berita “Tiga Oknum Penegak Hukum Agamais Lengiesasa ‘Gilir’ Wanita Tersangka Khalwat”
Rukoh, 15 Januari 2010
Oleh Nazar Shah Alam
gua suka cerpennya
BalasHapus