Rabu, 23 Februari 2011
Tulak Bala, Sebuah Rutinitas
(Sebuah kelaziman masyarakat poros barat-selatan Aceh)
Wirduna Tripa
Sebulan yang lalu saya pulang ke gampong, tepatnya di Tripa, nyakni satu gampong yang terletak di Kabupaten Ngan Raya, dua hari sesampai di gampong ternyata tepat dengan sebuah momentum yang tak pernah dilewari oleh masyarakat Aceh umumnya dan digampong-gampong khususnya. “Singoh beungoh tulak bala, malam nyoe rabu abeh” demikian kata Syarifuddin yang akrap disapa Pak Yeuk.
Keesokan harinya muda-mudi bahkan orang-orang yang sudah usianya senja di gampong saya ikut memadati Pante Suak Dama. Pantai itu adalah salah satu dari beberapa pantai yang terletak di Kabupaten Nagan Raya. Suasana pantaitersebut masih sangat segar dan dipenuhi dengan pepohonan mahoni, dan pohon arun yang masih menginjak usia dini. Pepohonan yang direboisasi pascatsunami itu seakan memberi kesejukan tersendiri, di samping itu, hawa sejuk pun di tepi pantai menyapa tubuh manusia di pagi hari.
Beberapa gubuk kecil milik sebuah cafe tegap di bawah-bawah pohon tersebut. Di hari-hari libur biasanya banyak pemuda bermain-main ke situ. Namun pada hari rabu abeh ituratusan manusia menyesaki gubuk-gubuk tersebut. Cafe-cafe tersebut terbuat dari pohon bambu yang diatapi daun rumbia kering. Tak kecuali di pojok-pojok pantai beberapa pasangan muda-mudi yang masih dipertanyakan ikatannya tampak bermesraan di bawah-bawah pohon.
Sengaja saya mengamati peristiwa itu. Gas sepeda motor pun saya turunkan agar semua dapat teramati apa adanya. “Apa seperti ini tulak bala” batinku.
Entah karena sudah hampir tujuh tahun saya berenjak dari gampong sehingga tak tahu dengan perubahan yang telah terjadi di tanah kelahiran sendiri. Beberapa tahun lalu ketika saya masih menduduki bangku kelas tiga SMP, sengingat saya peringatan tulak balak bukan seperti yang saya lihat hari itu
Dulu ketika malam rabu abeh tiba, semua masyarakat gampong, tak terkecuali tuw-muda, anak-anak, bahkan yang balita pun ikut memadati masjid. Sementara kaum ibu pada siang harinya sibuk menyiapkan bu kulah yang dipadu dengan ikan-ikan yang berasal dari lembah atau rawa-rawa, yang biasa disebut eungkot paya. Kala itu rawa-rawa memproduksikan ikan-ikan yang melimpah ruah, bahkan sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada potensi rawa.
Malam harinya, para jamaah masyarakat memenuhi masjid dan mereka pun membacakan doa tulak bala atau seriang disebut dengan ya latif, lantunan zikir terus keluar dari banyak mulut di masjid itu. Seusai pembaan ya latif, seluruh warga berjalan kaki mengelilingi sepanjang jalan dan lorong-lorong yang ada di gampong, sambil melantunkan zikir ya latif. Barisan depan biasanya para syeihk atau teungku-teungku yang merupakan pemandu zikir. Di samping kiri dan kanan biasanya para pemuda yang berperan sebagai pemegang obor untuk memberi sedikit cahaya.
Setelah selesai zikir, para jamaah pun berkumpul kembali ke masjid. Beberapa saat di masjid barulah mereka membubarkan diri ke kediamannya masing-masing.
Sementara itu, keesokan harinya ada masyarakat yang merayakan tulak bal di sungai. Biasanya saat menjelang tulak bala, sepanjang Krueng Tripa dibanjiri warga untuk melakukan ritual pelepasan rakit. Saya masih sangat ini memori tulak bala satu dekade silam. Tepat pukul 10.00 WIB. Sebagian masyarakat telah berkumpul di teupin-teupin untuk melepaskan raket bak pisang di sungai itu. Keramaian tercipta seraya lafal doa dan mengaharap dijauhkan dari marabahaya seusai melepaskan rakit.
Rakit tersebut tentu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Di atas rakit tersebut dipenuhi makan-makanan, seperti bu kulah, ayam bakar, buah-buahan, apam, serta turut dihiasi dengan bunga-bunga yang menebarkan wewangian. Tak lama setelah matahari mulai condong ke ufuk barat, secara berjamaah masyarakat melepaskan rakit. Rkit tersebut dilepaskan oleh pawang “Nyoe jeu gata, bek neupeukaru-karu kamoe”, ucap Pawang seraya melepaskan rakit.
Di balik mitos para kaum tua, ada sesuatu yang sangat menarik. Ketika rakit telah dilepas ke hilir, teman-teman saya pun telah bersiap-siap untuk menanti rakit berkah tersebut, tepatnya di bengkolan sungai. Tanpa menunggu lama, saya pun menghampiri mereka untuk memuluskan rencana yang telah kami planing-kan sebelumnya. Target kami adlah mengambil makanan yang ada di rakit yang dihilirkan itu.
“Nyoe manok keu jhen hai, ka talantak le tanyoe” kata seorang teman saya ketika menyantap ayam panggang hasil tangkapan hanyutan warga. Kami paham bahwa makan tersebut dipersembahkan untuk mahkluk gaib, seperti kepercayaan sebagian masyarakat gampong. Kami juga paham bahwa rutinitas rabu abeh itu untuk menolak bala. Tetapi entah kenapa, iming-iming ayam panggang pun melenyapkan mitos para tetua. Kami pun menghabiskan makanan tersebut sebelum sampai pada mahkluk gaib, sebagaiman hajat warga setempat. Entahlah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan Anda