Sabtu, 26 Februari 2011
Titah Raja Kerdil
Sastra
Karya|Wirduna Tripa
Di ujung negeri kepulauan hijau ini, tersimpan setitik embun di bawah rereduhan pohon jelata yang sulit diketahui laqab-nya. Embun bening yang setiap pagi disapa mentari selalu memberikan kesejukan bagi mereka yang mendengarkan kabar. Kabar yang menggumam keseluruh negeri kepulauan, negeri jiran bahkan sampai ke negeri paman sam.
Peradaban tentang negeriku terhitung peka. Lembaran-lembaran sejarah masih memberi tanda tentang perjuangan mereka. Tentunya dalam mengukir peta perdaban dunia bersama rakyat jelata. Kebersamaan mereka utamakan dalam mengambil keputusan sehingga menghasilkan qanun-qanun yang relevan dan memberi ketenangan di berbagai sendi kehidupan. Barisan peta hijau gemilang. Siang malam rakyat jelata dapat memenjamkan mata dengan tenang.
Meski dulu meugo, meulaot dan berdagang sebagai profesi kehidupan, tak pernah dikesalkan. Keringat yang mengalir dari tubuh-tubuh kerdil, kecil dan hitam mendapat imbalan setimpal. “ulul’amriminkum” tak pernah pudar dari sisi kehidupan, tak punah diterjang peradan, tak kusam ditelan upah liar. Nurani jelata tak tersimpan legenda kusam, selalu memancar sejuknya embut yang hinggap di barisan ilalang, meski telah petang embun itu masih memancar bening kesejukan.
Kau bisa melihat? Semua itu sekarang hanya tersimpan dalam catatan lesuh di rak-rak jamuan bacaan. Bila kau ingin menemukan silakan berkunjung jamuan lafal, meski katalognya sembarang, tak beraturan. “Sempit catatan” mukin itu jawaban bila ada yang menanyakan. Ah… semua memang tak menentu.
Pucuk,dahan, batang, cabang bahkan sampai ke akar-akar layu dan hanya menyisakan rerantingan. Terbesit di hati untuk menebang, mehilangkan dari cacatan zaman hingga ia tak diketahui keadaan. Tinggi memang keinginan. Akan tetapi itu semua terlupakan, hilang diterpa ketakberdayaan. Ada yang mencoba menyiram batang-batang yang telah kusam, tak lama kemudian mereka pun terhapus dari catatan zaman. Hingga yang lain ciut dengan keadaan. Artikulasi terbungkam. Ada yang lantang tertahan dengan timpan. Hingga suaranya tertelan. Itulah benih-benih pecundang yang miring dengan keadaan. Benang yang telah terlintang berlahan rapuh dan kusam diterjang terik panas dan air tawan yang mengalir dari langit jingga.
Mereka telah lahir. Lihat! Titah-tinah kerajaan peninggalan sultan berteduh di bawah pohon yang hanya tinggal rerantingan. Terang-gelap bumi selalu dibasi air yang terjun tanpa henti dari bawah penerang bumi. Sungai dan parit-parit yang lurus berdiri semua tergenangi. Tetapi pohon kerdil ini tak pernah menyerab pemberian sang pengatur alam ini.
Dedaunan kian jatuh menepi. Peristiwa aneh pun kerap mengahantui. Batang dan cabang pohon kerap bermimpi, hingga dedauan layu dan turun ke bumi. “Batang ini masih sangat muda, tentu bukan usia, hanya bisa dijadikan tangga. Sungguh tak tepat bila ia penopang istana” usia pohon memang terhitung lama, tak cukup jemari tuk menghitungnya. Bahkan ditambah denga kedua kaki masih belum memadai. Mukin karena pohon itu berada di tepi kali yang dikelilingi tanah liat mati.
Penulis, Ketua Umum Gemasastrin FKIP Unsyiah 2009-2010 Ketua IPELMASRA, 2010-2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan Anda