Minggu, 15 Mei 2011

Politik Ala Pèng Bicah


Opini| Wirduna Tripa

Situasi politik di Aceh sudah mulai hangat, meski gong Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) belum dipukul. Kandidat-kandidat pun mulai menebar pesona untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Berbagai trik dan media dilakukan dengan intensif dengan hasrat terpublikasikan diri kepada masyarakat. Ada yang memajang spanduk-spanduk ke seantero pencuru. Curi Start dan memanfaatkan kesempatan pun kerab terjadi di kalangan kandidat.

Memanfaatkan fasilitas dinas untuk kepentingan politik sulit dihindari akan kesukaran terjadi, hal ini biasanya dilakukan oleh para kandidat yang notabanenya pejabat negara. Melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan dinas, alih-alih memanfatakn kesempatan dan fasilitas tersebut untuk memuluskan misi kampanye, baik terselubung mau pun kampanye telanjang. Ada juga yang secara spontanitas mengalakkan program langsung ke masyarakat. Ya agar masyarakat dapat melihat kepedulian dan menuai rasa empatinya.

Tahapan inilah yang telah, sedang dan akan berlangsung saat ini di Aceh. Para calon kandidat bersaing untuk memperlihatkan loyalitas mereka dalam melayani rakyat, senyum pun tak pernah lekang dari para calon kandidat yang datang langsung ke gampong-gampong. Raut wajah dan keakrabran yang dibangun seakan memberi warna baru terhadap kemaslahatan rakyat dan inovasi baru dalam pemerintahan.

Tokoh-tokoh mulai bermunculan untuk tampil di pesta demokrasi mendatang. Puncak kemunculan aktor-aktor baru untuk merebut kursi Aceh satu karena telah dibuka lebar keran demokrasi melalui keputusan Makamah Konsitusi (MK) bahwa untuk pemilihan kepala daerah di Aceh bisa melalui jalur independen. Sebuah kempatan besar bagi setiap orang untuk mengambil porsi pada pemilukada nanti. Meski pun syaratnya harus mengumpulkan Kartu tanda Penduduk (KTP) saboh gurubak. Hanya saja sedikit kekhawatiran dari pengesahan jalur independen, yaitu lahirnya raja-raja kecil yang tak pernah memalui proses dan pembentukan karakter pemimpin dengan baik. Siapkah mereka memimpin negeri nantinya, atau hanya sekedar mengelola para calo-calo. Ataukah hanya ingin mencari sensasi ataukah hanya sekedar peucako ie untuk menghilangkan konsentrasi subtansi perdamaian Aceh.

Kemunculan calon kandidat yang manyoritasnya berasal dari sektor timur, akhirnya poros Leuser dan pantai barat selatan pun mulai mengangkat daya tawar untuk posisi wakil. Sebenarnya persoalan ego sektoral memang sudah sedari dulunya menjadi persoalan di kedua poros, hingga pernah bergejolak untuk dimekarkan dari provinsi Aceh. Berangkat dari asumsi tingginya tensi politik sektoral, para calon kandidat pun harus lebih jeli dan pandai menetukan ruang dan peluang yang lebih menguntungkan.

Di saat partai-partai dan para kandidat jalur independen melirik pasangan dari tengah dan barat, sementara partai yang berhasil mengantongi kursi terbanyak di parlemen pada pemilihan legislatif dulu mempunyai pandangan sendiri, untuk menentukan cagub dan cawagub. Keputusan yang diambil oleh partai manyoritas tersebut justru keduanya dari sektor yang sama, yaitu lintas timur. Keputusan itu pun diambil oleh komado Partai Aceh (PA) dengan penuh demokrasi. Apakah PA punya skenario sendiri dibalik keputusan tersebut?

Lain lagi apa yang terjadi dalam masyarakat, antarsimpatisan suksesi pemilukada pun mulai terlihat renggang, keranggangan ini mumuncak ketika mereka mulai menyatakann sikap untuk mengusung salah satu balon, tagur sapa pun antarpara simpatisan jarang terlihat lagi, potret ini tak hanya terjadi di gampong-gampong, tetapi di kota-kota pun demikian adanya.

Politik Transaksional
Opini ini saya beri judul “politik peng bicah”, istilah politik peng bicah ini lebih dikenal luas dengan istilah money politic ‘politik uang’. Politik semacam ini adalah gaya politik bangsa yang masih belum begitu siap dengan sistem negara demokrasi, karena tingkat kecerdasan masyarakat dalam politik masih sangat labil. Faktor inilah Indonesia dan Aceh khususnya semenjak kemerdekaan sampai dengan saat ini tak sukar terjadi politik peng bicah dalam menjalankan sistem demokrasi.

Di Aceh sendiri, mendengar ungkapan peng bicah ‘koin’ mengingatkan kita akan peristiwa tempo dulu yang pernah terjadi di Aceh. Kejadian tersebut terjadi di masa dinasti Teuku Umar vs Cut Nyak Dhien. Anda pasti ingat sejarah pada saat Kolonial Belanda menghamburkan koin di hutan tring meuduro ‘bambu berduri’, begitu banyak masyarakat Aceh kemudian mengambil koin tersebut dengan cara meratakan hutan bambu demi untuk mengantongi koin. Alih-alih Belanda menghamburka koin tersebut justru untuk memusnahkan hutan bambu yang dianggap sebagai benteng alamiah yang dapat menghalangi misi mereka untuk menguasai daerah.

Itulah politik Kolonial dalam mengelabui orang Aceh tempo dulu. Kejadian sudah sangat lama terjadi di Aceh, namun sejarah itu tak dapat dilupakan dan menjadi sebuah pelajaran besar bagi bangsa ini, yang tiada hari selalu dalam keadaan jipeungeut. Akankah potret buram tersebut akan tetap terwarisi sampai hari ini? Orang Aceh hanya mengukur dirinya dengan peng bicah saja? Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab bersama, sampai kapan harga diri kita seperti baju bekas yang diobrar di pasar-pasar.

Dalam paradigma pemikirikan masyarakat Aceh, pemiilhan kepada daerah bukanlah sesuatu hal penting bagi mereka. Asumsi masyarakat ini karena sudah bosan dengan rangkaian demokrasi yang terjadi selama ini. Di mata masyarakat pemilu hanya sebatas pergantian kepemimpinan saja dan tak ada sebuah inovasi baru yang dampak pascapergantian pemimpin. Oleh karena itulah masyarakat memilih apatis untuk melibatkan diri dalam politik. “So le jok peng nyan matong tapileh” begitulah ungkapan-ungkpan yang keluar dari masyarakat bila kita tanyakan siapa yang akan dipilih.

Dengan paradigma seperti ini justru oleh para elit tak mau ambil pusing dengan kondisi masyarakat yang apatis. Para calon pun tak segan-segan untuk menghambur-hamburkan uang kepada masyarakat dalam mengampanyekan dirinya. Sehingga masyarakat pun akan terus terbodohi dengan situasi seperti itu. Bukannya memberikan inovasi-inovasi baru terhadap pembangun daerah dalam berbagai aspek, malah membodohkan masyarakat. Masyarakat hanya di ukur sebatas kain sarung, baju, dan alat-alat olah raga. Itulah pembelajaran politik ala elit Aceh.

Membangun tradisi politik sehat
Membangun pola politik sehat kira adalah sebuah keharusan yang meski dipraktikkan oleh setiap kandidat yang akan maju dalam pemilukada nanti. Tradisi politik yang sehat akan membuat pesta demokrasi berjalan baik, sportivitas dalam demokrasi dan saling mengahargai harus menjadi karakter setiap calon pemimpin negeri ini. Lebih elegan dan tak bersikap arogansi. Dengan demikian, masyarakat akan paham dengan hakikat demokrasi sehingga tak mengukur harga diri sebatas peng bicah saja. Kampenye terhadap politik dengan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keterlibatan dalam demokrasi sudah merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berpikir kritis.
Perlu dicermati, pelaksanaan pemilukada tidak hanya untuk pemenangan saja. Karena pemenangan itu merupakan proses yang tetap harus dilalui tetapi yang terpenting adalah untuk melakukan pencerdasan dan pendidikan politik terhadap masyarakat. Sebab pendidikan politik kepada masyarakat senantiasa menjadi amanat yang dipikulkan dipundak para politisi dan partai politik. Pendidikan politik memiliki tiga tujuan yaitu, Pertama, membentuk kepribadian politik, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Kedua, membentuk kesadaran politik yaitu dengan dialog dan pengajaran instruktif. Ketiga, membentuk partisipasi politik dengan cara mengikutsertakan individu-individu secara sukarela dalam kehidupan politik bermasyarakat.
Membangun politik yang lebih sehat, tentu harus menjadi prioritas yang harus diembankan oleh semua pihak. Terumata adalah politisi, karena merekalah yang menjadi aktor penting dalam drama demokrasi, politisi tak hanya mengutamakan kepentingan semata, tetapi pencerdasan rakyatlah yang harus menjadi skala prioritas. Selanjutnya peran mahasiswa dan pemuda yang merupakan kaum intelektual juga mempunyai andil yang besar terhadap penyadaran demokrasi sehat untuk berbagai kalangan. Dalam di mensi lain, media massa berposisi pada garda terdepan. Keseimbangan dalam penyajian berita berpengaruh besar terhadap opini publik. Dalam hal ini media tetap memosisikan diri independen dan senantiasa memberikan pembelajaran kepada masyarakat. Bila peran ini dapat sama-sama diimplementasikan dengan jiwa yang bersih dan iklas. Yakinlah akan perubahan! Dan orang Aceh pun tak lagi lale ngon peng bicah.

*Penulis adalah aktivis mahasiswa Aceh. Sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra)