Sabtu, 14 Agustus 2010

Misteri Ara Kundo


Wirduna Tripa
Angin sayup-sayup menerpa bebas. Sabit mengintip malu lewat celah atap daun rumbia lesu. Cecak pun tak berkotek, hanya diam terpana di dinding dan atap-atap, lenyap suara. Nyamuk tak menafkahi diri pada kulit-kulit kuning langsat itu. Suasana tenang, tentram, tak seciptaannya pun yang riuh-piuh. Hanya suara Gure Husen yang menggumam di meunasah itu. Bait-perbait keluar dari mulutnya dengan fasih, lalu bait-bait itu ia surah. Meski suara serak, namun lafal-lafal tak pernah janggal. Dulu, semasa ia masih di dayah, suaranya sangat bagus dan merdu, tetapi suara itu perlahan pamit darinya bersama asap-asap tembakau yang dilinting nipah kering.

Semua pasti berubah seiring perjalanan waktu. Tak ada yang dapat menghentikan itu. Begitu pun dengan usia yang dititipkan, balita hingga renta. Suka-duka, ceria, senang, bahagia, elok-buruk rupa, telah tercatat semua. Seperempat usia dari umur Gure Husen dihabiskan untuk seumeubeut di meunasah. Seusai senja beranjak, saban malamnya ia sudah menempati meunasah.

“Sekarang kalian dengarkan surah!” serunya.
Para santriwati memperhatian bait yang telah dibacakan Gure Husen. Salah seorang santriwati barisan belakang adalah Fatimah. Fatimah setiap malam selalu datang cepat. Sebelum Gure Husen tiba, Fatimah telah lebih dahulu tiba di meunasah. Ia yang selalu membentangkan tika seuke pada tempat duduk Gure Husen. Namun meski ia datang cepat, ia selalu menempati posisi paling belakang, tepat di samping pintu meunasah. Berbeda dengan teman-temannya, mereka selalu berebutan tempat duduk untuk memperoleh barisan paling depan.

Pernah suatu malam Fatimah ditanyai Gure Husen
“Mah… Kenapa kamu tidak duduk di depan saja?” tanya Gure Husen,
“Saya di sini saja Gure” jawabnya pendek.
Fatimah sangat jarang membuka mau mulut di depan Gure Husen, hanya saja bila ada surah-surah yang belum jelas baru ia mau membuka mulut, itu pun sangat jarang terjadi.

Seusainya pengajian, secara bergantian mereka menyalami Gure Husen. Seperti biasa Fatimah sebagai penutup salam, kenapa tidak? Karena ia selalu di posisi belakang. Saat ia menyalami Gure Husen pandangannya hanya ke lantai meunasah, ia enggan untuk bertatap muka dengan laki-laki termasuk Gure Husen. Padahal Gure Husen sudah berkepala empat. Mukena putih yang selalu menjadi tabir tangannya ketika bersalan dengan Gure Husen, bila dengan ia bersalaman dengan lelaki yang tak seperut dengannya, ia hanya mengisyarahkan dengan tangan saja.

Sambil bersalaman Gure Husen berkata
“Mah. Kalau kamu pulang sendiri hati-hati ya!”
“Iya Gure” Jawabnnya pendek,
Fatimah pun perlahan turun dari meunasah, hampir saja ia terpeleset di tangga meunasah yang telah rapuh itu. Maklum, meunasah itu sudah sangat senja usianya.

Jarak rumah Fatimah dengan meunasah tak begitu jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan. Tetapi rumah Fatimah masuk jalan setapak sekitar dua ratus meter. Ia menapaki jalan-jalan sunyi yang hanya diterangi obor bambu yang dipegang dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan memegang kitab yang tertutup mukena. Ketika ia akan masuk lorang arah rumahnya, segerombolan lelaki berseragam keluar dari semak-semak pinggiran jalan di lokasi pohon pinang Haji Baka. Fatiamah sama sekali tak mengenal mereka, sebab gerombolan itu menghitamkan mukanya.

“Dub…dub…dub…”
Dada kiri Fatimah bergetar seketika,
seraya ia berucap
“Siapa kalian?”
Sampai tiga kali ia menanyakan itu, namun tak seorang pun dari gerombolan yang bersuara. Sembari bertanya dengan rasa takut yang sangat, ia mendekatkan culot ke wajah salah seorang lelaki bermuka hitam itu.
“Trappp….” suara jatuh culot
Lelaki berwajah hitam menghantap culot dengan sebilas senjata yang tak jelas jenisnya itu. Fatimah berteriak, namun teriakannya tak berarti bagi pendengar, orang gampong lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dari pada menelusuri teriakan itu. Teriyakan hilang seketika saat sebelas pisau mendarat di leher Fatimah. ia tak kuasa, hanya diam terpana.

Beberapa saat kemudian, Fatimah dirangkul oleh tiga lelaki itu dan dibawa tenda semak buleket. Sesampai di tenda, mukena, jilbab besar serta seluruh kain yang menutupi kulit kuning langsat terpisah darinya. Tak sehelai benang pun tersisa. Air bening bengalir tanpa henti dari kedua matanya, ia tak dapat berkata apa-apa, tak kuasa. Lat batat tak riang, berhenti senda, mereka iba, namun tak kuasa berkata, konon lagi beranjak ke sana. Berjamaah, nafsu pejantan itu mengotori Fatimah. Mahkota yang sudah lama terjaga, tak pernah hinggap tangan berbisa, punah seketika.

Terbahak-bahak tawa mereka, setalah putaran pertama usai terlaksana. Tubuh Fatimah tegeletak di sana, lemah tanpa kuasa. Sendi-sendi tak berfungsi seakan terpisah antarnya. Darah mahkota menguburi masa depan dan cita dara itu. Hatinya bagai disayat-sayat sembilu. Akhirnya Fatimah tertidur lelap di bawah tenda beralaskan tanah gambut, sembari menguburkan kesedihan amat dalam yang menusuk ke ulu hatinya.

“Auhhhh…..” teriak Fatimah yang masih belum buka mata diri tidurnya. Gerombolan itu melempari Fatimah ke sungai Ara Kundo.
Fatimah terbangun saat badanya terkapar ke dalam air keruh Ara Kundo. Ia terjun bebas dari jembatan ke dalam sungai Ara Kundo. Ketika kepalanya terapung-rapung, ia sempat melihat gerombolan lelaki di atas jembatan, lelaki yang semalam menindihnya buas. Dingin sungai di fajar itu yang menusuk ke sum-sum menghantarkan Fatimah ke dasar Ara Kundo. Sesampai di dasar, Fatimah disambut ratusan penghuni Ara Kundo, tentu mereka yang lebih awal mendahuluinya. Mereka tersenyum melihat kedatangan tamu perempuan muda yang akan menjadi penghuni Ara Kundo.

Di kerumunan itu, Fatimah sempat melihat lelaki berkemeja panjang dipadu kupiah hitam yang menutupi ubannya. Lelaki yang sudah berumur itu sangat mirip dengan ayah Fatimah “Apa itu Ayah” besitnya. Ayahnya yang disebut-sebut hilang di masjid saat salat subuh dan tak diketemukan jasadnya. Fatimah ingin menghampiri lelaki itu untuk memastikan, namun pengawal Ara Kundo tak memberinya waktu, mereka membawa Fatimah menghadap Ule Balang Ara Kundo. Bagi setiap pendatang baru, sebelum resmi menjadi penghuni Ara Kundo diharuskan untuk menghadap Ule Balang terlebih dahulu.

Di sudut lain Fatimah juga melihat orang-orang yang pernah ia kenal dulu. Seperti Apa Lah. Apa Lah adalah Teungku Sagoe gampongnya, yang tempo dulu kami pernah kehilangnya. Tak jauh dari posisi Apa Lah berdiri, Fatimah juga melihat Mak Juned, “itu-kan Mak Juned” ucapnya cepat. Fatimah masih ingat betul wajah Mak Juned, sebab Mak Juned hampir setiap magrib awal bulan selalu datang ke rumah. Sesampai di rumah biasanya Mak Juned meminta sumbangan pada Mak Fatimah. Suatu ketika kebetulan Mak Fatimah belum menerima upah dari tempat ia bekerja, dan mereka hanya memberikan dua batok beras kepada Mak Juned.

Sepanjang perjalanan bersama kawalan jubah putih, Fatimah mendengarkan teriakan-terikan histeris “Bek poh lon, bek poh lon…!” Sementara di sudut lain ia juga mendengarkan suara-suara merdu yang melantunkan bait-bait suci. Mata Fatimah liar. Kedua telinga mencuri setiap suara yang menggumam “Tempat apa ini?” ucap hatinya. Sebuah kehidupan tumbuh di sana, di sungai amis itu, Ara Kundo.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Idonesia FKIP Unsyiah, pengurus Gemasastrin FKIP Unsyiah dan UKM Pers DETaK Unsyiah.