Tampilkan postingan dengan label wirduna tripa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wirduna tripa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Januari 2012

Menunggu Syarifah

Karya Wirduna Tripa

Syarifah. Itulah nama gadis yang hampir satu dekade ku titipkan segenap rasa cinta dan kasih padanya. Satu dekade bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal gadis ini. Tak sanggup ku urutkan deretan kisah yang pernah kami lalui semasa hubungan cinta bersemi.

Ikrar janji sejati telah terpatri pada diri kami. Hanya beberapa saat sebelum matahari pamit menerangi Bumi, ikrar itu kami ucapkan bahwa hubungan yang telah lama terbina ini ingin kami abadikan dalam ikatan suci. Lepas hari itulah, perlahan aku mulai mengubah kebiasaan hari-hari. Bila dulunya banyak waktu yang kuhabiskan di warung kopi dan bercengkrama dengan teman-teman,  kini mulai kukurangi perlahan. Keserisuanku untuk meminang Syarifah membuat pola hidupku semakin terarah. Gaji bulanan mulai ku cicilkan untuk membeli mahar. Sedikit kukurangi menu makan yang bergizi, sebab harganya tak memadai dengan honor di tempatku abdikan ilmu.

Setahun lagi, itulah waktu yang tersisa. Syarifah akan segera menyelesaikan kuliahnya. Sebagaimana janji  kami sore itu, bahwa setelah Syarifah selesai kuliah rombongan ranup meuh gampongku akan bertamu ke rumahnya. Dan hal itu pun telah kukabari kepada orang tua dan segenap ahli familiku. Ya,  menurutku agar mereka dapat menyiapkan sesuatu dengan adanya pemberian kabar dariku. Pintaku, “Ifah, minggu ini kamu harus pulang kampung, dan kasih tahu orang tuamu akan hajat dan keseriusanku untuk menjadikanmu pendamping hidupku.” “Iya, Bang, akan kusampaikan kepada orang tuaku”.

Seminggu sudah Syarifah berada di gampongnya. Setiap malam aku selalu menelpon dan mengirim sms. Aku ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tuanya akan niatku untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga keduaku. Ia bilang, ia belum dapat menyampaikan semua itu kepada Abi dan Uminya.  “Abang, waktunya belum ada yang tepat untuk Ifah sampaikan semua ini.”  Pesan singkat ini  yang selama seminggu kuterima darinya.

 Tiga hari sudah aku tak menerima pesan darinya. Aku berharap bila ia telah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua itu, pasti ia  akan langsung menghubungiku.

Pada  minggu  pagi sekitar pukul 07.00 WIB,  sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku.  Dengan cepat aku langsung membuka sms meski mataku belum ingin diganggu, sebab semalaman aku larut begadang dengan buku.   Koyak rasanya hati ini ketika bait-bait sms terbaca. Tanpa sadar BlackBerry yang baru saja aku beli jatuh ke  lantai. “Bang, Abi telah membicarakan tentang pernikahanku dengan keluarga Bang Said pulan. Ia adalah anak teman dekat Abi, dan dia akan dijodohkan denganku,” tulisnya. Ia pun mengisahkan bahwa Umi tidak mengizinkan Ifah untuk menjalin hubungan, apalagi menikah dengan orang yang bukan seketurunan dengannya.  Ia mengaku tidak sedikit pun mempunyai rasa cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya, namun apa hendak dikata keluarganya tidak  merestui bila menikah dengan ku. 

Meratalah penderitaan cinta. Seminggu lalu, Buyung, teman dekatku, juga mengalami kisah pahit yang hampir sama denganku. Aku melihat semangat hidup Buyung bila dipersenkan hanya tinggal 20  persen lagi, setelah ditinggal pergi kekasihnya. Hampir seminggu ia seperti orang yang sedang bileung gaseu, teu tahe-tahe,   setelah kekasihnya si Upik dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya.  Menurut kabar, lelaki itu adalah teman sekampus dengan Si Upik di negeri Piramid nan jauh di sana. Cita-cita Buyung untuk menikahi anak pimpinan dayah itu pun kandas di penghujung senja. Sungguh malang melintang. Dan kini, derita yang sedang dialami sahabatku dengan sekejap beralih padaku. “Sudah kubilang padamu, jangan kau berharap banyak pada gadis,” ujar Buyung menasihatiku. “Si Upik saja yang  keturunan orang biasa tak ada rekom orang tuanya untuk kunikahi, konon lagi kamu orang kampung yang tak jelas keturunan pun,” tambahnya sambil tertawa.

Ribuan kisah silam antara aku dan Syarifah usai sudah. Kenangan dengannya kini telah kubungkus rapi dan kusimpan di sudut lubuk hati. Kadang aku berpikir, tak perlu lagi aku mengingat kisah-kisah itu. Tetap, bila sedang dilanda sepi, kisah itu bersemi dan terangkat kembali.  Kisah ini pun membuatku untuk lebih mengaca diri.

Syarifah, lama sudah aku menunggumu dan berharap kita akan bersatu. Tapi Allah berkehendak lain. Engkau pun lebih memilih lelaki yang sederajat denganmu, sebagaimana pilihan Abi dan Umimu. Begitu gampangnya kau melupakan deretan kisah-kasih yang telah lama terbina. Cukup aku saja yang merasakan dan menanggung perih tangis derita ini. Sebagai lelaki yang pernah mencintaimu, aku berharap kau dapat hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu, yang mungkin  sederajat dan satu silsilah keturunan denganmu.

* Wirduna Tripa, cerpenis. Ceberapa cerpennya pernah mengisi rubrik budaya di sejumlah  media cetak dan online di Aceh.

telah dimuat di Serambi Indonesia, Minggu, 29 Januari 2012

Rabu, 18 Januari 2012

Drama Politik Apa Latah

Wirduna Tripa        
                                Sebenarnya tidak begitu menarik opini yang ditulis Syardani M. Syarif, Serambi
, (17/10), berjudul “Pilih Pilkada atau UUPA?”. Sebab, dalam tulisan tersebut Syardani hanya memaparkan informasi terkait perundangan, kajian historis perjungan dan kisruh calon perseorangan, yang fenomena tersebut memang telah menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini serta sudah leuge untuk dibahas. Tulisan tersebut pun hanya diakhiri dengan kalimat persuasif yang tidak sedikit pun memberi solusi terkait konflik regulasi yang begitu meuputi-puti di Aceh akhir-akhir ini. Namun, yang membuat ruh keacehan saya merespon tulisan Syardani adalah pada kalimat persuasif yang diangkatnya di bagian akhir tulisan tersebut dengan bunyi penegasan “Ikut pilkada untuk menghancurkan UUPA atau tidak ikut pilkada demi menyelamatkan UUPA?”
Sebenarnya yang menjadi tanda tanya besar masyarakat Aceh saat ini, apakah benar bila Pemilukada dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang telah dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) itu akan merobek UUPA yang merupakan hasil dari Momerandum of Undestanding (MoU) yang disepakati oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia di Helsinky 2005 lalu?
Mungkin jawaban dari pertanyaan itulah yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh. Sebab, yang menjadi alasan andalan dari golongan garis merah adalah isu “Penyelamatan UUPA” semata. Sebab, amanat UUPA dan MoU Helsinky bahwa sanya jalur perseorangan di Aceh hanya berlaku satu kali, yaitu pada tahun 2005 karena saat itu belum terbentukknya partai lokal. Hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 256 UUPA. Pertanyaan kedua, apakah salah satu butir –tentang calon perseorangan-- UUPA yang dihasilkan dari MoU Helsinky dapat di-judicial review tanpa berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh yang merupakan pihak pertama dalam menghasilkan kesepatan tersebut? Ini juga sebuah pertanyaan yang harus dijawab dan diluruskan bersama. Sebanrnya dua persoalan inilah yang menjadi pemicu konflik regulasi di Aceh yang sampai saat ini belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif meskipun KIP telah melanjutkan tahapan Pemilukada. kisruh pemilikada ekses kelatahan MK Asumsi saya, pangkal kekisruhan prapemilukada di Aceh saat ini adalah murni kesalahan dari Mahkamah Konsitusi (MK). Mengapa demikian? Harusnya sebelum MK menerima usulan judicial review yang diajukan oleh beberapa orang yang mengatasnamakan dirinya –aspirasi rakayta Aceh—harusnya sebelum mengambil keputusan MK terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh (eksekulif, legislatif, dan yudikatif). Sebab, butir yang di-judicial review tersebut merupakan butir UUPA dan hal ini tidak dapat diotak-atik dengan serta merta karena status Aceh tidak sama dengan status provinsi-provinsi lain yang ada di rupublik ini. Seandainya MK lebih profesional dalam mengambil kebijakan so pasti kondisi politik di Aceh tidak terjadi sekonyol ini. Bayangkan, jika MK berkoordinasi dengan Pemerintahan Aceh, yaitu dengan Gubernur, Irwandi Yusuf dan DPRA –dominasi PA—pasti ketika itu akan ada kesepatan bahwa calon perseorangan tetap tidak dibolehkan karena jelas-jelas bertentangan dengan UUPA. Begitu mungkin suara bulat yang keluar dari eksekutif-legislatif karena pada saat itu Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf masih berada satu barisan dengan DPRA. Tetapi akhirnya karena Irwandi batal disunting PA sebagai kandidat Gubernur, ia pun menjadikan jalur perseorangan sebagai perahunya untuk berlayar pada pesta demokrasi periode ini. Sejak itulah konflik kepentingan begitu memas menjelang persiapan Pemilukada. Kelatahan MK dalam mengambil keputusan yang telah menerima judicial review terhadap butir UUPA terkait calon perseorangan tanpa ada berkoordinasi dengan pemerintahan Aceh terlebih dahulu, sebagimana keluh para politi Partai Aceh belakangan, ekses tersebut hingga kini membuat Pemilukada di Aceh belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif. Tahapan Pilkada yang dijalankan KIP masih belum dapat dikategorikan sempurna. Sebab, tanpa ada keikutsertaan unsur legislatif. Tahadapan Pemilukada Aceh bak sepeda yang melaju hanya dengan satu ban saja. Memang dengan menggunkan satu ban sepeda masih dapat berjalan, tetapi untuk menempuh perjelannan panjang masih diragukan akan sampai tujuan. Sebenarnya, orang-orang yang menduduki MK adalah replesentatif dari tiga unsur penyelenggara negara, tetapi mengapa mereka terkesan latah dalam mengambil keputusan yang begitu dini terhadap persoalan Aceh tanpa mempertimbangkan dampak-dampak yang terjadi dari pengambilan keputusan tersebut, ini membuktikan bahwa orang-orang yang duduk di MK masih begitu miskin pengetahuan dan tidak mempunyai kecerdasan prediktif yang dalam. Syukur bila kelatahan tersebut terjadi hanya karena miskinnya pengetahuan. Namun, benarkah keputusan tersebut lahir berkat niat baik MK, ataukah ada skenario lain dalam drama ini? Semoga saja tidak! Sikap DPRA Menjawab pertanyaan Syardani dalam opininya “Pilih Pilkada atau UUPA”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap DPRA bila mereka benar-benar memperjuangankan keutuhan UUPA dan bukan semata memenangkan pesta limatahunan atau saya sebut dengan istilah fively party. Bila dengan terhapusnya salah satu butir UUPA –tentang calon independen yang hanya dibolehkan sekali—dapat merusak UUPA yang dihasilkan dari buah perjuangan yang cukup panjang, melelahkan dan, jatuhnya korban yang tak terbilang, maka menurut hemat penulis hal ini harus dicermati kembali oleh semua pihak. Sebab, sebagaimana tersirat dalam ungkapan Aceh meunyoe jarom ka leupah beuneu pasti diikot. Ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa bila salah satu pasal dalam UUPA dibiarkan diutak-atik maka pasal-pasal berikutnya juga ikur terutak-atik dan akan sangat sulit untuk menghentikannya. Oleh karena itu, cegahlah agar jarum tidak menembus sutra, dan bila ia menembusnya maka segulungan benang pun akan mengikutinya. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Dapat dikatakan, saat ini adalah klimaksnya dari serial drama yang sedang berlangsung di Aceh. Publik pun sedang menikmati adegan ini, namun mereka juga sedang menanti bagaimana ending dari drama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ending serial drama Aceh yang berjudul fively party skenarionya berada ditangan DPRA, kita tunggu saja bagaimana mereka mengakhiri ceritanya ini. Tetapi ingat, dalam sebuah cerita hanya ada dua buah endi¬ng, pertama disebut dengan happy ending dan kedua bad ending. Ini adalah saatnya DRPA yang manyoritas dikuasai oleh Partai Aceh untuk dapat memperjuangan amanat MoU Helsinky karena kali ini selain bernyali tinggi juga harus jeli, percaya diri dan nuansa estetika politik yang tinggi. Metode poltik klasik Setelah berhasil menguasai sebagai besar parlemen, Partai Aceh (PA) membuktikan bahwa dirinya adalah satu-satunya partai lokal yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan sebagaimana yang diamanatkan dalam MoU Helsinky. UUPA menjadi kitab suci bagi masyarakat Aceh yang dijadikan landasan untuk mengimplementasikan buah dari tuntutan puluhan tahun lamanya. Melihat kemenangan telak PA pada pemilihan legsilatif lalu dapat dipastikan bahwa kandidat yang diusung PA sebagai gubernur Aceh dapat meraih kemenangan tanpa menghabiskan energi dan materil dalam berkampanye. Namun, yang namanya politik memang tidak ada warna yang jelas, dan semua harapan PA pun kandas begitu saja. Politik; tak ada musuh yang kekal dan tak ada teman yang abadi, inilah yang sedang menimpa partai berlatar merah saat ini. Pasang surut yang terjadi di badan Partai Aceh bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya adalah kurang memupuk nilai-nilai demokrasi dalam memanage dan pengambilan keputusan. Sebenarnya tidak ada yang keluar dari garis komando bila budaya demokrasi diterapkan dalam tubuh PA, sebagaima hadih maja menukilnya asai ka meupakat lampoh jeurat tapuegala. Metode politik klasik sangat tidak tepat dipraktikkan diera mutakhir ini. Semoga tidak ada yang latah lagi!  


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.

Minggu, 03 Juli 2011

Menunggu Tenggelamnya Nagan


Artikel | Wirduna Tripa

Hati saya begitu tersentak, nafas pun terhenti sejenak, ketika saya membaca harian Serambi Indonesia (17/6) yang mengabarkan bahwa hampir mencapai 500 hektar hutan di Kabupaten Nagan Raya punah dilahap api. Keganasan si jago merah tersebut dikabarkan telah merambah pada beberapa titik, yakni Kecamatan Tadu Raya, Darul Makmur, Kuala Pesisir, dan Tripa Makmur. Kabarnya kebakaran tersebut terjadi karena ulah sejumlah purusahaan raksasa yang sedang menggarap areal perkebunan kepala sawit. Berdasarkan pengakuan salah seorang pegawai Kantor Dishutbun Kabupaten Nagan Raya, kebakaran yang terjadi di hutan Nagan Raya dalam beberapa waktu lalu sudah masuk dalam radius tinggi bahkan pihak pemerintah Nagan Raya kualahan untuk menghentikan keganasan si jago merah yang terus melenyapkan lahan-lahan gambut. Pembakaran tersebut seketika membawa petaka bagi sebagian besar masyarakat yang berdomisili di empat kecamatan tersebut. Petaka itu merupakan dampak dari kabut asap yang begitu tinggi sehingga membuat masyarakat mengalami sesak nafas serta menyebabkan iritasi pada mata.

Beginikah nasib negeri kita? Akankah kita tetap mempertahankan prestasi buruk dengan menjadi pelayan di negeri sendiri. Ini merupakan kondisi ril yang terjadi di Kabupaten Nagan Raya bahkan Aceh sekali pun. Pribumi harus rela menjadi budak di negeri sendiri dan tak ada daya upaya untuk menyelamatkan tanah kelahiran dari tangan orang asing yang hanya bisa mengambil manfaat dari hasil bumi. Masyarakat hanya dapat diam, meski berteriak, suaranya akan tetap parau. Hal ini sangat selaras dengan apa yang tersurat dalam hadih maja buya krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki.

Lihat saja apa yang terjadi di Nagan Raya baru-baru ini. Beberapa perusahaan yang telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan (tidak) sengaja telah melenyapkan hampir 500 hektar hutan yang terdapat di Nagan Raya. Anehnya, pembakaran tersebut tak lagi dalam areal HGU, tetapi pembekaran sudah merambah ke dalam Kawasan Ekosistem Lestari (KEL). Sungguh diluar kematangan logika, Lahapan api tersebut tak hanya melenyapkan KEL, hahkan si jago merah mulai melirik pemukiman warga. Inikah hadiahkan yang diberikan untuk masyarakat dari fee perusahaan tersebut? Jika benar, maka selakyaknyalah masyarakat harus berterima kasih kepada perusahaan atas pemberian hadiahnya yang sangat berharga dan santun. Jika perlu doakan mereka agar mendapatkan balasan yang setimpal dari Yang Kuasa. Sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan, meski telah hampir seabad merdeka, namun negeri kita masih saja dikendalikan kapitalis. Rakyat hanya sebatas memiliki rangka, sementara isinya tak pernah menyentuh kepada rakyat jelata.

Kehancuran, Ulah siapa?
Sampailah saatnya kehancuran melanda negeri ini. Hal ini pun telah diingatkan Allah kepada kita bersama, bahwa kerusakan di atas bumi ini tak lain disebabkan karena ulah tangan manusia itu sendiri (lihat ar-rum:41). Di usia yang masih belia, Nagan Raya begitu kerap dilanda berbagai macam bencana. Mulai dari tsunami, hama tanaman, dan musibah musiman (banjir) yang memang sudah menjadi langganan sebagian masyarakat Nagan Raya yang berdomisili di pinggiran sungai. Trauma banjir belum usai, kini masyarakat Nagan Raya dipanikkan dengan pembakaran hutan. Pembakaran tersebut bukan pula cilet-cilet, hampir setengah ribu hektar lanyap. Siapa yang harus disalahkan? Penguasa ataukah pengusaha? Yang jelas siapa yang kaya pasti berkuasa dan yang berkuasa pasti akan kaya.

Mungkin dapat dicermati bersama, beberapa dekade belakangan sejak perusahaan-perusahaan raksasa mulai menggarap lahan di Kabupaten Nagan Raya, hampir setiap bulannya masyarakat secara rutin harus menyambut kedatangan tamu yang bermuara dari sungai-sungai yang tak mampu menampung air. Mereka tiba bagai jelangkung “datang tak dijemput pulang tak diantar”. Kedatangan gerombolan air pun harus diterima masyarakat dengan begitu pasrah. Puluhan hektar tanaman gagal panen akibat genangan air. Karena bila tanaman tergenang air melebih kekebalannya, maka dalam hukum pertanian hal itu sangat fatal. Tak hanya itu, sebagian masyarakat yang berdomisili di pinggiran DAS Krueng Tripa cukup khawatir dengan keganasan Krueng Tripa. Puluhan tahun sudah kondisi Krueng Tripa yang sering mangalami abrasi sehingga menyebabkan kerusakan ruas jalan, perkebunan bahkan pemukiman penduduk pun ikut digusurnya. Ini pun cukup membuat warga setempat tersiksa akibat berpindah-pindahnya Krueng Tripa. Terjadinya erosi ini jelas karena tidak terdapat wadah penampungan serta penyerapan air ketika musim hujan, salah satunya karena penghancuran hutan.

Berdasarkan temuan beberapa Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) yang bergerak dalam bidang lingkungan menunjukkan bahwa hutan di Kabupaten Nagan Raya sampai akhir 2010 secara seseluruhan telah gundur. Kegundulan tersebut terjadi karena penebangan dan pembakaran hutan di kawasan tersebut. Termasuk penggarapan areal perkebunan kepala sawit yang dilakukan oleh beberapa perusahaan raksasa yang telah puluhan tahun menghisap hasil alam di Kabupaten Nagan Raya. Palehnya, perusahaan-perusahaan tersebut menggarap lahan yang bukan dalam areal HGU. Penggarapan yang lepas kontrol tersebut pun berakibat fatal terhadap keutuhan hutan yang masuk ke dalam KEL. Tak jarang juga pihak perusahaan bermasalah dengan masyarakat setempat. Pasalnya antara masyarakat dan perusahaan saling mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Konflik pun tak terelakkan, bahkan ekses dari sengketa tersebut membuat sebagian masyarakat merasa gerah dengan kerakusan perusahaan yang menggarap lahan diluar HGU. Akhirnya masyarakat pun membakar barak salah satu peusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut. Akibatnya, Empat warga yang terindikasi melalukan pembakaran tersebut sampai saat ini masih mendekam di Mapolres Nagan Raya. Lagi, masyarakat menerima petakanya, Serambi Indonesia (13/5).

Benarkah kehadiran investor asing dapat mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Ataukah kehandirannya malah menjadi petaka bagi masyarakat? Bak ungkapan meutume pahla ube beutheh, meutume paleh ube pha. Bila kondosi tersebut terus terjadi di Kabupaten Nagan Raya, tak tertutup kemungkinan Nagan Raya akan lenyap dari peta Aceh. Oleh karena itu, tak perlu menunggu lama, pemerintah kabupaten maupun provinsi harus segera mengambil langkah konkrit dan tegas guna menertipkan perusahaan-perusahaan nakal yang beroperasi di Nagan Raya. Sehingga tak berakibat fatal terhadap masa depan Nagan Raya. Nagan Raya tak hanya berakhir sekarang tetapi akan diwarisi untuk anak cucu. Jadilah generasi yang tidak meninggalkan beban untuk generasi selanjutnya. Selamatkan Nagan Raya demi mereka......!

Penulis adalah Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra), yang juga Aktivis LSM Prodeelat Aceh.

Senin, 28 Februari 2011

Surat Permohonan Beasiswa

Nomor : Istimewa Banda Aceh, 26 Juli 2010
Lamp : 1 berkas
Perihal : Permohonan Beasiswa Kepada Yth,
Bapak Bupati Nagan Raya
di
Suka Makmue

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

nama : Teuku Asrul
NIM : 0706102040070
tempat/tgl lahir : Suka Mulia, 15 Februari 1989
jenis kelamin : Laki-laki
agama : Islam
fakultas : FKIP
jurusan : Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia
alamat : Jl. Seroja, Gampong Ie Masen Kaye Adang

Dengan ini saya mengajukan permohonan beasiswa kepada Bapak agar dapat sudi kiranya menerima saya sebagai salah satu calon penerima beasiswa Pemda Nagan Raya tahun 2010. dengan beasiswa ini dapat membantu saya dalam menyelesaikan pendidikan saya.
Sebagai bahan pertimbangan Bapak turut saya lampirkan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Surat Permohonan
2. Fotokopi KTM 1 lembar
3. Fotokopi KHS 1 lembar
4. Fotokopi KTP 1 lembar
5. Fotokopi KTP orang tua 1 lembar
6. Fotokopi KK 1 lembar
7. Fotokopi ijazah SMA 1 lembar
8. Fotokopi slip SPP 1 lembar
9. Pas foto ukuran 3x4 cm 2 lembar

Demikianlah surat permohonan ini saya buat, atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih.



Hormat Saya
Pemohon


(TEUKU ASRUL)

Meraba

Puisi| Wirduna Tripa

Tangannya meraba-raba
Ia bilang ini bukan dusta
Ia bilang ini bukan dosa
Ia bilang ini panggilan mata

“Haruskah meminta-minta?”
Tanyanya,
Bukankah tuhan tak suka kalau tangan di bawah
Meminta bukankah tangan di bawah
Sementara meraba tangan tersembunyi

Tak ada yang tahu
Dia, kamu
Malaikat pun ragu mengintip jemari pembisu
Kenapa harus malu

Meraba
Itulah pihan hidup
Terhormat tak ada yang tahu

Meraba
Meraba
Meraba
Senang....!!!!

Tak ada yang boleh melarang
Kera pelarang hanya sebatas melarang
Namun hanya jalan buntu curah pelanrang

Banda Aceh, 28 Februari 2011

Sabtu, 26 Februari 2011

Mencuri Sang Wali


Cerpen | Wirduna Tripa

Jamilah, itulah nama gadis kecil itu. Kini usianya telah menginjak lima belas tahun. Ia sekarang terdaftar sebagai siswa di salah satu Madrasah Aliyah Panti Asuhan di Koetaraja. Lima tahun sudah Jamilah melewati hari-harinya di Panti Asuhan. Hari-hari, Jamilah selalu disubukkan dengan berbagai aktivitas, siang dan malam hari, mulai dari beut, sekolah dan berbagai macam kursus ia tekuni. Hidupnya sangat terstruktur. Tak ada waktu yang ia lewati dengan sia-sia, meski banyak teman-temannya yang tak berpikir panjang dalam memanej waktu.

Para gure dan teungku-teugku panti sangat bangga padanya. Di mata para gure-nya, Jamilah adalah anak yang cerdas, pintar, rajin dan sopan santun. Ia tak pernah berjamaah dengan teman-temanya dalam hal bergosip. Selain sikapnya yang terpuji, Jamilah juga menjadi bahan diskusi para lelaki akan kemolekkannya. Tinggi semampai, badan langsing dan kulitnya sawo matang, membuat para lelaki menaruh perhatian lebih. Bahkan Teungku Idris pun sempat menaruh rasa pada muridnya yang elok itu. Namun Teungku Idris merasa belum saatnya untuk menyampaikan isi hati yang telah lama terbungkam.

Seiring bergulirnya waktu, Jamilah pun semakin dewasa dan menuntut ia untuk menata masa depan yang lebih kompleks. Teungku Idris adalah orang pertama yang ingin menghalalkan Jamilah lahir dan batin.

Seperti biasanya, ketika seorang wanita akan dinikahi. Maka ia harus mendapatkan restu atau izin dari walinya. Wali pun tak sembarang orang, tak bisa si gam panjo atau si gam bakoeng yang bisa menjadi wali nikah. Bila orang tua sendiri, itu pun harus beragama, paham dangan aturan-aturan agama serta amalannya tak perlu diragukan. Jika wali tak ada kriteria itu, maka dianjurkan seorang wali untuk ditaubatkan.

“Wali tak bisa sembarang orang” ucap Gure Ma’e, memberi penjelasan kepada Jamilah.
Jamilah hanya mengangguk-ngangukkan kepalanya mendengar tausiah dari Gure Ma’e. Gure Ma’e adalah Imum Mukim yang merangkap sebagai tokoh ulama di Mukim Koeta Jaya itu.

Hari-hari Gure Ma’e selain mengahabiskan waktu di lampoh, sebagian waktunya juga disisihkan untuk bermasyarakat. Maklumlah ia adalah seorang terpandang dalam bidang agama serta merangkap sebagai pemangku adat. Selain tausiah dan konsultasi agama, Gure Ma’e juga pemangku adat, namun sayangnya, Gure Ma’e hanya sebagai simbol adat sebagai Imum Mukim, namun delapan tahun sudah ia sebagai Imum Mukim, ia tak pernah berperan sebagai seorang pamangku adat adanya. Namun Gure Ma’e hanya berfungsi ketika ada masalah antar-gampong. Tapi Gure Ma’e tak pernah mempermasalahkannya, Gure Ma’e juga paham mungkin tugasnya selaku pemangku adat adalah sebagai penengah dari persoalan.

“Gure. Saya pulang dulu ya” pinta Jamilah.
“Assalamu’alaikum” ta’zim pisahnya.
Mundur rapi, perlahan Jamilah turun dari meunasah, hampir saja ia terpeleset dari tangga meunasah. Maklum meunasuh tersebut hampir saja usianya setengah abad. Dindingnya yang kian rapuh memberi jawaban akan usianya yang kian renta.

Perlahan Jamilah melangkahkan kaki beranjak dari meunasah Gure Ma’e.
“Siapa yang akan menjadi wali nikahku” besit Jamilah sembari ia berjalan pelan. “Apa aku tak bisa menikah tanpa adanya seorang wali? Atau aku harus mencari seorang wali?” tanya-tanya risih terus mencuat di kalbu Jamilah.

Ia bingung, akankah ia harus menghadirkan Wali Nanggroe nanti kala pernikahannya. Benaknya merawi “Wali Nanggroe’kan ada, lagi pula Wali Nanggroe’kan wali untuk semua orang yang ada di nanggroe dan itu termasuk aku orangnya karena aku adalah penghuni naggroe ini”.

Dengan hati riang, Jamilah mendatangi Meuligoe Wali Nanggroe. Ia berharap Wali Nonggre dapat menjadi wali nikahnya nanti. “Semoga Wali Nanggroe bersedia menjadi wali-ku nanti” tadahnya sembari mengamini.

“Jamilah....!!!!”
Teriak seorang areh.
“Bangun Jamilah! Salat Subuh” Jamilah pun terbangun mengangah, sambil ia berucap “asstaqfirullah...”. Ia pun beranjak dari tempat tidur.

Penulis adalah Mahasiswa Gemasastrin, Ketua Depertemen Informasi dan Komunikasi (Infokom) Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (Imabsii), juga sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra).

Titah Raja Kerdil


Sastra

Karya|Wirduna Tripa
Di ujung negeri kepulauan hijau ini, tersimpan setitik embun di bawah rereduhan pohon jelata yang sulit diketahui laqab-nya. Embun bening yang setiap pagi disapa mentari selalu memberikan kesejukan bagi mereka yang mendengarkan kabar. Kabar yang menggumam keseluruh negeri kepulauan, negeri jiran bahkan sampai ke negeri paman sam.
Peradaban tentang negeriku terhitung peka. Lembaran-lembaran sejarah masih memberi tanda tentang perjuangan mereka. Tentunya dalam mengukir peta perdaban dunia bersama rakyat jelata. Kebersamaan mereka utamakan dalam mengambil keputusan sehingga menghasilkan qanun-qanun yang relevan dan memberi ketenangan di berbagai sendi kehidupan. Barisan peta hijau gemilang. Siang malam rakyat jelata dapat memenjamkan mata dengan tenang.
Meski dulu meugo, meulaot dan berdagang sebagai profesi kehidupan, tak pernah dikesalkan. Keringat yang mengalir dari tubuh-tubuh kerdil, kecil dan hitam mendapat imbalan setimpal. “ulul’amriminkum” tak pernah pudar dari sisi kehidupan, tak punah diterjang peradan, tak kusam ditelan upah liar. Nurani jelata tak tersimpan legenda kusam, selalu memancar sejuknya embut yang hinggap di barisan ilalang, meski telah petang embun itu masih memancar bening kesejukan.
Kau bisa melihat? Semua itu sekarang hanya tersimpan dalam catatan lesuh di rak-rak jamuan bacaan. Bila kau ingin menemukan silakan berkunjung jamuan lafal, meski katalognya sembarang, tak beraturan. “Sempit catatan” mukin itu jawaban bila ada yang menanyakan. Ah… semua memang tak menentu.
Pucuk,dahan, batang, cabang bahkan sampai ke akar-akar layu dan hanya menyisakan rerantingan. Terbesit di hati untuk menebang, mehilangkan dari cacatan zaman hingga ia tak diketahui keadaan. Tinggi memang keinginan. Akan tetapi itu semua terlupakan, hilang diterpa ketakberdayaan. Ada yang mencoba menyiram batang-batang yang telah kusam, tak lama kemudian mereka pun terhapus dari catatan zaman. Hingga yang lain ciut dengan keadaan. Artikulasi terbungkam. Ada yang lantang tertahan dengan timpan. Hingga suaranya tertelan. Itulah benih-benih pecundang yang miring dengan keadaan. Benang yang telah terlintang berlahan rapuh dan kusam diterjang terik panas dan air tawan yang mengalir dari langit jingga.

Mereka telah lahir. Lihat! Titah-tinah kerajaan peninggalan sultan berteduh di bawah pohon yang hanya tinggal rerantingan. Terang-gelap bumi selalu dibasi air yang terjun tanpa henti dari bawah penerang bumi. Sungai dan parit-parit yang lurus berdiri semua tergenangi. Tetapi pohon kerdil ini tak pernah menyerab pemberian sang pengatur alam ini.
Dedaunan kian jatuh menepi. Peristiwa aneh pun kerap mengahantui. Batang dan cabang pohon kerap bermimpi, hingga dedauan layu dan turun ke bumi. “Batang ini masih sangat muda, tentu bukan usia, hanya bisa dijadikan tangga. Sungguh tak tepat bila ia penopang istana” usia pohon memang terhitung lama, tak cukup jemari tuk menghitungnya. Bahkan ditambah denga kedua kaki masih belum memadai. Mukin karena pohon itu berada di tepi kali yang dikelilingi tanah liat mati.

Penulis, Ketua Umum Gemasastrin FKIP Unsyiah 2009-2010 Ketua IPELMASRA, 2010-2012

Mengharap Akan Kedaulatan Mukim

Jurnalisme
Wirduna Tripa

Sore itu, tak lama selepas asar, suasana di salah satu warung kopi di kawasan Tungkop, Darusalam tampak dipenuhi pelanggan. Di sudut depan warung tampak dua orang lelaki menempati salah satu meja. Ia duduk tegap sesekali ia menoleh ke arah jalan, tampak ia seperti sedang menunggu seseorang. Baju batik khas Aceh melekat ditubuhnya. Lelaki berpostur tubuh tegap dan berkulit sawo matang terlihat begitu bersahaja, akrap menyapa dan ia tak sukar tersenyum, apalagi senyumannya bertambah manis dipadu kumis tipisnya. Ia termasuk salah seorang penikmat mie aceh ala Warkop Mie Dun Tungkop. Sore itu pun meja yang ia duduki juga terlihat beberapa porsi mie aceh siap saji, serta ditemani segelas jus wortel.

Lelaki itu adalah Asnawi. Bagi warga Mukim Siem, nama Asnawi memang tak asing lagi. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, konon lagi yang tua-tua, nama Asnawi memang sudah sangat familiar dan sulit untuk dilupakan. Mengapa tidak, pasalnya Asnawi adalah sosok pemangku adat tertinggi di Mukim Siem. Dalam struktural Mukim Siem, lelaki kelahiran 13 Juli 1967 adalah nahkodanya.

Asnawi resmi dilantik menjadi Kepala Pemerintahan Mukim Siem pada awal Mei 2009 lalu. Meski ia baru menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Mukim Siem baru dua tahun, namun pengalamannya di dalam dunia mukim tak seperti usia jabatannya sebagai Imum Mukim. Mengapa tidak! Karena ia bergelut di dunia mukim sejak tahun 1998 dan jabatannya pun sangat strategis yaitu sebagai Sekretaris Mukim Siem. Bukanlah waktu yang singkat bila dimulai sejak ’98. Fantastis.

Asnawi adalah putra asli Aceh Besar. Ia sekarang menetap di gampong Lamreh, Mukim Siem, Kecamatan Darusalam Aceh Besar. Asnawi pertama sekali mengecam pendidikan di SD Negeri Siem selanjutnya ia melanjutkan ke SMP Negeri Darusalam. Selain itu ai juga terdaftar di SMA Negeri 5 Banda Aceh. Mengingat pendidikan sangatlah penting, ia pun tak mencukupkan pendidikannya hanya usai di bangku SMA saja. Dengan semangat pendidikan tinggi, akhirnya ia pun memilih Fakultas Hukum Unsyiah sebagai ladang pengembangan potensi.

Lantas, mangapa sarjana hukum tersebut mendedikasikan sebagian usianya di dunia pemangku adat tingkat mukim?

Di mata Asnawi, menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Mukim adalah sebuah tanggung jawab moral. Menurutnya dalam hal Pemerintahan Mukim sebenarnya bukan saja semata tangung jawab Kepala Pemerintahan Mukimnya, akan tetapi ini adalah tanggung jawab semua warga masyarakat yang merupakan pemangku adat secara fungsional dalam masyarakat. Menjadi Kepala Pemerintahan Mukim adalah menjalankan amanat dan kepercayaan dari masyarakat untuk membina dan menjalankan serangkaian tugas adat.

menjaga khasanah budaya Aceh
Lebih lanjut Asnawi melihat bahwa khasanah adat dan kebudayaan Aceh ini merupakan tanggung jawab setiap generasi untuk menjaga dan menyelamatkan adat dan kebudayaan yang kini kian terkikis seiring kemajuan zaman. Bila hal-hal terkait adat dan budaya Aceh tidak ada perhatian dari kalangan tua sekarang, maka dapat dipastikan, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, generasia muda Aceh nyaris tak tahu apa itu Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan dan beragam perangkat pemerintahan adat lainnya akan lenyap dari peta kultural Aceh. Kawatirnya.

Bila kita mengkaji sejarah Aceh, kedudukan mukim adalah salah-satu unsur adat resmi dalam pemerintahan adat Aceh. Bahkan segala aspek tak terlepas dari kontrol dan peran mukim. Secara wilayah kerja pun mukim membawahi beberapa gampong. Dalam istilah bahasa Aceh, luas wilayah mukim mengunakan barometer si uroe jak, si uroe wo.

Wacana untuk mengatur pemerintahan sendiri juga mengelinding di Aceh. Melalui UU no. 18 tahun 2001 dan dikuatkan dengan UU no. 11 tahun 2006, Aceh pun mulai memyiapkan diri untuk menjadi daerah yang menjunjung tinggi kebudayaan dan adat istiadatnya dengan mengembalikan struktur pemerintahan gampong (Qanun no. 5 tahun 2003) dan mukim (Qanun No. 4 tahun 2003). Pada tingkatan struktural pemerintahan, pengembalian istilah gampong dan mukim telah berubah kembali peta pemerintahan adat Aceh, namun sejauh ini terkesan hanya sebatas mengembalikan nilai romantisme lama saja. Karena dalam hal pelaksanaannya, tidak ada bedanya dengan apa yang diatur di dalam UU No. 5 tahun 1979.

Pemerintahan Gampong dan mukim hanya sebatas pergantian nama dari kepala desa, dan ini terkesan hanya sebatas untuk meredamkan konflik di kalangan masyarakat Aceh. Sama halnya seperti seorang anak-anak yang diberi permen untuk mendiamkan tangisnya. “Mukim hanya sebagi simbol saja, bila memang tak sanggup pemerintah mengeksistensikannya lebih baik bubarkan saja” Jelas pria mantan aktivis PMI Aceh tersebut.

Padahal, lanjutnya, Secara tegas lembaga-lembaga adat tersebut di dalam UUPA merupakan bukti bahwa Pemerintahan Republik Indonesia, disatu sisi mengakui eksistensi kekayaan budaya Aceh, dan disisi lain merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.

Selanjutnya, bisa juga dicermati dalam Pasal 98 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan, lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban mesyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga-lembaga adat tersebut menurut ayat (3) Pasal 98 UUPA adalah: 1. Majelis Adat Aceh, 2. Imeum Mukim, 3. Imeum Chik, 4. Tuha Lapan, 5. Keuchik, 6. Imeum Meunasah, 7. Tuha Peut, 8. Kejruen Blang, 9. Panglima Laot, 10. Pawang Glee, 11. Peutua Seuneubok, 12. Haria Peukan, dan 13. Syahbanda. Ulas alumnus Fakultas Hukum Unsyiah itu.

Namun dalam hal ini, Asnawi melihat bahwa pemerintah terkesan kurang serius dalam mengembalikan kedaulatan Mukim. Peraturan-peraturan tentang mukim hanya sepintas simbolisasi saja, yang tak tahu fungsi dan perannya. “Mukim sekang bak sapi ompong” ungkap Asnawi denga tawa kecil.

Ia berharap, agar pemerintah dapat lebih serius dalam mengembalikan kedaulatan mukim sebagaimana dulu kala. Lanjutnya, Pemerintahan Aceh terkesan tak lagi mempedulikan terhadap nilai-nilai sosiokultural keacehan yang kian hilang dari tatanan masyarakat. “Pemerintah harus lebih serius-lah, dalam menyelamatkan kedaulatan pemerintahan adat Aceh” harapnya.

Meski kurangnya perhatian pemerintahan untuk mengembalikan kadaulatan adat dan kebudayaan Aceh, namun ia tetap akan mendedikasikan hidupnya untuk menyelamatkan khansanah adat Aceh, meski sebatas kemampuannya yang serba terbatas itu. Karena dalam pandangannya, menjaga adat dan kebudayaan Aceh tugas setiap orang yang mempunyai loyalitas terhadap warisan po teumeureuhom.

Rabu, 23 Februari 2011

Gersos, Tumbuh Dari Kaum Tertindas


Jurnalisme
Wawancara : Wirduna Tripa dengan Otto Syamsuddin Ishak


Kapan munculnya gerakan sosial (Gersos) masyarakat Aceh dan bagaimana pandangan anda dengan perjalanan gerakan tersebut?
Gerakan sosial masyarakat Aceh sudah muncul sejak tahun ’75. Ketika itu, gerakan sosial tumbuh atas dua buah fokus isu yang berbeda, yaitu isu lokal (Aceh) dan isu nasional (Indonesia). Fokus utama pergerakan sosial era reformasi tersebut adalah mendesak agar dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dan secara bersamaaan pergerakan tersebut juga menjadi mobile di era reformasi untuk menjatuhkan Seokarno.

Apa menyebabkan munculnya Gersos di Aceh dan siapa yang memotorinya?
Salah satu faktor munculnya gerakan sosial di Aceh adalah karena masyarakat Aceh ingin mengkritisi sistem pemerintahan dan implementasinyya yang tak sesuai dengan apa yang telah diatur, oleh karena itulah sebagian masyarakat Aceh tergugah hatinya untuk membentuk pergerakan guna menanggapi hal tersebut.
Gerakan sosial ini pada mulanya hanya dimotori oleh kaum-kaum tertindas akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh. Priodisasi konflik Aceh terdiri dari beberapa fase dan tak sedikit menewaskan masyarakat Aceh kala itu. Para kaum tertindaslah yang awalnya berinisiatif untuk mencetuskan gerakan sosial di Aceh.

Apa dampak yang signifikan dari pergerakan tersebut?
Hakikat munculnya gerakan sosial karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat, baik kepuasan hak atau politik. Dampak yang signifikan dari gerakan sosial ini adalah tercapainya aspirasi masyarakat yang mungkin terbungkam atau tak diketahui publik. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan suatu gagasan dan perubahan dalam tatanan pemerintahan. Dengan kata lain, gerakan sosial ini adalah suatu kritikan atau teriakan duka dari masyarakat yang memang harus dibenahi serta mendapat perhatian dari semua pihak untuk mencari solusi permasalahannya.

Bagaimana anda melihat pergerakan sosial pra-MoU Helsinky dan pergerakan sosial pasca-MoU Helsinky?
Sebenarnya tak ada yang membedakan antara pergerakan yang dibangun praperdamaian dan pascaperdamaian, keduanya adalah pergerakan yang bertujuan untuk mencapai perubahan. Hanya saja yang membedakannya adalah isu yang menjadi tuntutan atau fokus dari pergerakan tersebut.

Pascaperdamaian dulu, pergerakan sosial yang dibangun adalah untuk mengembalikan kedaulatan Aceh, yang dinilai selama beberapa tahun setelah kemerdekaan NKRI, Aceh tak pernah mencium nikmat kemerdekaan. Hal itulah yang melatarbelakangi masyarakat Aceh untuk menarik diri dari republik.
Sementara, pergerakan sosial pasca-MoU adalah suatu pergerakan yang dibangun oleh masyarakat untuk mengontrol jalannya perdamainnya serta menjembatani keadilan bagi korban konflik Aceh. Namun dalam hal ini yang sangat saya sedihkan adalah sikap pemerintahannya Aceh yang saya nilai tak sepantasnya membiarkan para korban konflik yang hanya memninta haknya 4 kg beras tak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah, meski mereka meminta dengan bentuk pergerakan sosial.
Dulu ketika komplik mereka adalah barisan depan yang memberikan semangat pergerakan kepada masyarakat untuk mengembalikan kedaulatan Aceh dalam berbagai aspek. Namun sekarang ketika mereka sudah berhasil masuk ke dalam sistem pemerintahan, malah seruan pergerakan yang pernah mereka suarakan dulu parau di tengah jalan.

Apakah hanya ketika melarat memerlukan rakyat?
Bagaimana Anda melihat respons pemerintah (Aceh) terhadap pergerakan sosial yang dibangun oleh masyarakat saat ini?
Saya melihat pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa dan masyarakat sangatlah signifikan. Namun, belakangan ini saya memperhatikan ada sebagian elit yang beranggapan bahwa gerakan sosial propokatif. Bila ada sebuah pergerakan yang bersuara, maka dikait-kaitkan dengan isu-isu politis. Misalnya kalau ada massa yang berunjuk rasa, sebagian elit mengangap itu adalah titipan atau massa yang diboncengi oleh pihak tertentu.
Harusnya dalam hal ini pemerintah lebih responsif dan apresiatif terhadap peregerakan yang dibangun oleh masyarakat, sebab itu adalah sebuah bentuk kritikan demi perbaikan ke depan. Janganlah terlalu cepat berprasangka negatif terhadap gerakan-gerakan yang dibangun oleh masyarakat.

Apa yang menjadi catatan Anda untuk pemerintah dari kilas balik peregrakan sosial masyarakat Aceh?
Saya yakin, orang-orang yang sekarang menjabat di pemerintahan Aceh adalah orang-orang terpilih, baik di eksekutif maupun legislatif. Harapan saya semoga para elit yang sedang mengemban tugas untuk mengembalikan kedaulatan Aceh sedikit tidak harus menjiwai gaya hidup demokrasi. Pemerintah yang normal dalam berdemokrasi dalah pemerintah yang terbukan dan senantiasa menerima kritikan dari berbagai kalangan. Nah, bila ada pemerintah yang tak terbuka dalam berdemokrasi maka itu namanya pemerintah yang up-normal

Sabtu, 14 Agustus 2010

Misteri Ara Kundo


Wirduna Tripa
Angin sayup-sayup menerpa bebas. Sabit mengintip malu lewat celah atap daun rumbia lesu. Cecak pun tak berkotek, hanya diam terpana di dinding dan atap-atap, lenyap suara. Nyamuk tak menafkahi diri pada kulit-kulit kuning langsat itu. Suasana tenang, tentram, tak seciptaannya pun yang riuh-piuh. Hanya suara Gure Husen yang menggumam di meunasah itu. Bait-perbait keluar dari mulutnya dengan fasih, lalu bait-bait itu ia surah. Meski suara serak, namun lafal-lafal tak pernah janggal. Dulu, semasa ia masih di dayah, suaranya sangat bagus dan merdu, tetapi suara itu perlahan pamit darinya bersama asap-asap tembakau yang dilinting nipah kering.

Semua pasti berubah seiring perjalanan waktu. Tak ada yang dapat menghentikan itu. Begitu pun dengan usia yang dititipkan, balita hingga renta. Suka-duka, ceria, senang, bahagia, elok-buruk rupa, telah tercatat semua. Seperempat usia dari umur Gure Husen dihabiskan untuk seumeubeut di meunasah. Seusai senja beranjak, saban malamnya ia sudah menempati meunasah.

“Sekarang kalian dengarkan surah!” serunya.
Para santriwati memperhatian bait yang telah dibacakan Gure Husen. Salah seorang santriwati barisan belakang adalah Fatimah. Fatimah setiap malam selalu datang cepat. Sebelum Gure Husen tiba, Fatimah telah lebih dahulu tiba di meunasah. Ia yang selalu membentangkan tika seuke pada tempat duduk Gure Husen. Namun meski ia datang cepat, ia selalu menempati posisi paling belakang, tepat di samping pintu meunasah. Berbeda dengan teman-temannya, mereka selalu berebutan tempat duduk untuk memperoleh barisan paling depan.

Pernah suatu malam Fatimah ditanyai Gure Husen
“Mah… Kenapa kamu tidak duduk di depan saja?” tanya Gure Husen,
“Saya di sini saja Gure” jawabnya pendek.
Fatimah sangat jarang membuka mau mulut di depan Gure Husen, hanya saja bila ada surah-surah yang belum jelas baru ia mau membuka mulut, itu pun sangat jarang terjadi.

Seusainya pengajian, secara bergantian mereka menyalami Gure Husen. Seperti biasa Fatimah sebagai penutup salam, kenapa tidak? Karena ia selalu di posisi belakang. Saat ia menyalami Gure Husen pandangannya hanya ke lantai meunasah, ia enggan untuk bertatap muka dengan laki-laki termasuk Gure Husen. Padahal Gure Husen sudah berkepala empat. Mukena putih yang selalu menjadi tabir tangannya ketika bersalan dengan Gure Husen, bila dengan ia bersalaman dengan lelaki yang tak seperut dengannya, ia hanya mengisyarahkan dengan tangan saja.

Sambil bersalaman Gure Husen berkata
“Mah. Kalau kamu pulang sendiri hati-hati ya!”
“Iya Gure” Jawabnnya pendek,
Fatimah pun perlahan turun dari meunasah, hampir saja ia terpeleset di tangga meunasah yang telah rapuh itu. Maklum, meunasah itu sudah sangat senja usianya.

Jarak rumah Fatimah dengan meunasah tak begitu jauh, hanya sekitar sepuluh menit berjalan. Tetapi rumah Fatimah masuk jalan setapak sekitar dua ratus meter. Ia menapaki jalan-jalan sunyi yang hanya diterangi obor bambu yang dipegang dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan memegang kitab yang tertutup mukena. Ketika ia akan masuk lorang arah rumahnya, segerombolan lelaki berseragam keluar dari semak-semak pinggiran jalan di lokasi pohon pinang Haji Baka. Fatiamah sama sekali tak mengenal mereka, sebab gerombolan itu menghitamkan mukanya.

“Dub…dub…dub…”
Dada kiri Fatimah bergetar seketika,
seraya ia berucap
“Siapa kalian?”
Sampai tiga kali ia menanyakan itu, namun tak seorang pun dari gerombolan yang bersuara. Sembari bertanya dengan rasa takut yang sangat, ia mendekatkan culot ke wajah salah seorang lelaki bermuka hitam itu.
“Trappp….” suara jatuh culot
Lelaki berwajah hitam menghantap culot dengan sebilas senjata yang tak jelas jenisnya itu. Fatimah berteriak, namun teriakannya tak berarti bagi pendengar, orang gampong lebih memilih untuk berdiam diri di rumah dari pada menelusuri teriakan itu. Teriyakan hilang seketika saat sebelas pisau mendarat di leher Fatimah. ia tak kuasa, hanya diam terpana.

Beberapa saat kemudian, Fatimah dirangkul oleh tiga lelaki itu dan dibawa tenda semak buleket. Sesampai di tenda, mukena, jilbab besar serta seluruh kain yang menutupi kulit kuning langsat terpisah darinya. Tak sehelai benang pun tersisa. Air bening bengalir tanpa henti dari kedua matanya, ia tak dapat berkata apa-apa, tak kuasa. Lat batat tak riang, berhenti senda, mereka iba, namun tak kuasa berkata, konon lagi beranjak ke sana. Berjamaah, nafsu pejantan itu mengotori Fatimah. Mahkota yang sudah lama terjaga, tak pernah hinggap tangan berbisa, punah seketika.

Terbahak-bahak tawa mereka, setalah putaran pertama usai terlaksana. Tubuh Fatimah tegeletak di sana, lemah tanpa kuasa. Sendi-sendi tak berfungsi seakan terpisah antarnya. Darah mahkota menguburi masa depan dan cita dara itu. Hatinya bagai disayat-sayat sembilu. Akhirnya Fatimah tertidur lelap di bawah tenda beralaskan tanah gambut, sembari menguburkan kesedihan amat dalam yang menusuk ke ulu hatinya.

“Auhhhh…..” teriak Fatimah yang masih belum buka mata diri tidurnya. Gerombolan itu melempari Fatimah ke sungai Ara Kundo.
Fatimah terbangun saat badanya terkapar ke dalam air keruh Ara Kundo. Ia terjun bebas dari jembatan ke dalam sungai Ara Kundo. Ketika kepalanya terapung-rapung, ia sempat melihat gerombolan lelaki di atas jembatan, lelaki yang semalam menindihnya buas. Dingin sungai di fajar itu yang menusuk ke sum-sum menghantarkan Fatimah ke dasar Ara Kundo. Sesampai di dasar, Fatimah disambut ratusan penghuni Ara Kundo, tentu mereka yang lebih awal mendahuluinya. Mereka tersenyum melihat kedatangan tamu perempuan muda yang akan menjadi penghuni Ara Kundo.

Di kerumunan itu, Fatimah sempat melihat lelaki berkemeja panjang dipadu kupiah hitam yang menutupi ubannya. Lelaki yang sudah berumur itu sangat mirip dengan ayah Fatimah “Apa itu Ayah” besitnya. Ayahnya yang disebut-sebut hilang di masjid saat salat subuh dan tak diketemukan jasadnya. Fatimah ingin menghampiri lelaki itu untuk memastikan, namun pengawal Ara Kundo tak memberinya waktu, mereka membawa Fatimah menghadap Ule Balang Ara Kundo. Bagi setiap pendatang baru, sebelum resmi menjadi penghuni Ara Kundo diharuskan untuk menghadap Ule Balang terlebih dahulu.

Di sudut lain Fatimah juga melihat orang-orang yang pernah ia kenal dulu. Seperti Apa Lah. Apa Lah adalah Teungku Sagoe gampongnya, yang tempo dulu kami pernah kehilangnya. Tak jauh dari posisi Apa Lah berdiri, Fatimah juga melihat Mak Juned, “itu-kan Mak Juned” ucapnya cepat. Fatimah masih ingat betul wajah Mak Juned, sebab Mak Juned hampir setiap magrib awal bulan selalu datang ke rumah. Sesampai di rumah biasanya Mak Juned meminta sumbangan pada Mak Fatimah. Suatu ketika kebetulan Mak Fatimah belum menerima upah dari tempat ia bekerja, dan mereka hanya memberikan dua batok beras kepada Mak Juned.

Sepanjang perjalanan bersama kawalan jubah putih, Fatimah mendengarkan teriakan-terikan histeris “Bek poh lon, bek poh lon…!” Sementara di sudut lain ia juga mendengarkan suara-suara merdu yang melantunkan bait-bait suci. Mata Fatimah liar. Kedua telinga mencuri setiap suara yang menggumam “Tempat apa ini?” ucap hatinya. Sebuah kehidupan tumbuh di sana, di sungai amis itu, Ara Kundo.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Idonesia FKIP Unsyiah, pengurus Gemasastrin FKIP Unsyiah dan UKM Pers DETaK Unsyiah.




Jumat, 09 Juli 2010

Bentrok Pun Terjadi!



DETaK | Wirduna
Pagi itu, Sabtu, 15 Mei 2010, ruang Flamboyan AAC Dayan Dawood dipenuhi oleh mahasiswa. Mereka hadir untuk mengikuti Sidang Umum Keluarga Besar Mahasiswa (SU-KBM) Unsyiah.
Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang merupakn delegasi tiap fakultas hampir semua hadir dalam SU-KBM tersebut. Dengan mengenakan armamater kebanggaan Unsyiah, mereka bersuara lantang di dalam ruang sidang untuk memperjuangkan hak mahasiswa Unsyiah, khususnya terkait sistem-sitem yang selama ini di anggap “aneh” dan harus segera direvisi. Semua itu akan dibahas dalam sidang tersebut.
Sidang yang berlansung di hari kedua ini tak seperti hari sebelumnya. Pasalnya, di luar ruang sidang sudah ada dua buah kelompok mahasiswa yang mengawal jalannya SU-KBM. Wajah-wajah tidak bersahabat ke dua belah kelompok mulai terlihat. Satu kelompok berada dilantai tiga, dan satu kelompok lagi berada dilantai dua.
Namun, tiba-tiba terdengar suara dari salah satu kelompok. “Yang bukan panitia, turun...turun...turun...!” teriak salah seorang mahasiswa yang diduga ia adalah kelompok dari Lembaga Dakwah Kampus atau LDK.
Kelompok gabungan BEM dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berada di tangga lantai dua Ruang Flamboyan Gedung AAC Dayan Dawood sangat terkejut mendengar teriakan seperti itu.
Tiba-tiba salah seorang dari kelompok UKM membalas perkataan tersebut. “Kamu juga bukan panitia, kenapa menyuruh kami turun?”
Suasana pun menjadi runyam dan memanas. Kedua belah kubu saling berteriak dan membalas dengan argumen masing-masing.
Karena tidak menemui titik temu, akhirnya bentrok pun tidak terelakkan, ketika Armen (salah seorang Menteri di Pema) turun dari lantai tiga dan berhenti diatas tangga menuju lantai dua. Sasaranya adalah Safrudin, Ketua BEM FKIP.
Kedua mahasiswa ini bertengkar mulut dan saling memegang tubuh satu sama lainnya. Disaat itulah, entah darimana datangnya, sebuah aqua berisi air kopi sengaja dilemparkan dan mengenai keduanya.
Perkelahian pun tidak terelakkan. Satu sama lainnya melemparkan bogem mentah. Namun aksi adu jotos itu tidak berlangsung lama, karena kehadiran Pembantu Rektor (PR) III, Dr. Rusli Yusuf, M. Pd. Suasana tegang meredam sesaat. Kedua belah kelompok mundur selangkah demi selangkah dengan rapi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Sementara itu, di dalam ruang Flamboyan, Sidang Umum Keluarga Besar Mahasiswa (SU-KBM) Unsyiah pun berlangsung dengan mulus. Tidak diketahui bagaimana kondisi para parlemen di ruang sidang tersebut, pasalnya, saat DETaK hendak meliput langsung proses Sidang Umum tersebut dilarang oleh panitia dengan berbagai alasan.
Sebenarnya, saat itu suasana sudah mulai tenang. Tapi entah mengapa, tiba-tiba memanas kembali. Ternyata saat itu kembali terjadi perang mulut. Menurut pengakuan salah satu sumber dari BEM yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku terpancing kembali saat salah seorang dari kubu LDK meremehkan mereka.
“Jika kalian berani, maju ke sini,” tantang salah seorang dari kubu LDK sambil mengisyarahkan dengan tangan kanannya, sebut sumber dari BEM tersebut.
Melihat tindakan seperti itu, Safrudin tak dapat mengendalikan emosinya. Ia pun maju ke arah kelompok LDK. Namun langkah Safruddin tertahan. Ia dipegang teman-temannya. “Kajeut..kajeut.., Din (Sudah..sudah.., Din).” Kata salah seorang teman Safrudin sambil merangkulnya.
Karena tidak dapat mengendalikan emosinya, akhirnya Safruddin pun melampiaskan kekesalannya pada salah satu kaca jendela kantin AAC Dayan Dawood.
“Trak.............,” suara pecah mengejutkan beberapa mahasiswa yang berada di tempat tersebut. Serpihan kaca berserakan diatas lantai. Melihat tangan Safrudin mengeluarkan darah, beberapa anggota lainnya segera melarikannya ke rumah sakit.
Rusli Yusuf yang melihat kejadian itu pun tidak mampu meredamkan suasana. Kondisi saat itu memang terlihat memanas, salah ucapan dan salah gerakan bisa menyulut keributan yang lebih besar.
Karena waktu Salat Jumat masuk, Rusli Yusuf meminta mahasiswa untuk menghentikan keributan. Kedua belah kubu pun meninggalkan lokasi kejadian. Sebenarnya, saat itu Rusli Yusuf terlihat lega karena kedua pihak mahasiswa itu mulai diam dan meninggalkan gedung untuk melaksanakan salat Jumat.
***
Tepat pukul 14.00 WIB. Seusai menunaikan salat Jumat. Kedua belah kelompok kembali bentrok. Seperti telah ada “MoU” antar keduanya untuk melanjutkan “peperangan” ba’da Jumat.
Ternyata, bentrokan setelah Jumat itu lebih dahsyat dari sebelumnya. Anehnya, kedua kubu justru telah mempersenjatai diri dengan kayu dan batu. Tidak tahu, apakah untuk bertahan diri ataupun untuk menyerang.
“Prang… Krak…. Prang….,”
“Hancurkan...!”
Teriakan beberapa mahasiswa terdengar membahana di berbagai penjuru Gedung Gelanggang Unsyiah, pusat lembaga mahasiswa, seperti PEMA, DPM dan UKM berada.
Teriakan itu ternyata datang dari mahasiswa kelompok BEM dan UKM yang mengepung dan menghancurkan kantor PEMA dengan bebatuan.
Rusli Yusuf yang langsung meluncur ke lokasi tidak mampu melerai. Bahkan PR III ini pun tidak luput dari keributan tersebut. Sebuah batu nyaris mengenai kepalanya jika tidak segera diselamatkan oleh beberapa mahasiswa yang ada disekitar lokasi. Parahnya, kehadiran aparat kepolisian pun tidak menyurut langkah para mahasiswa ini. Mereka tetap saling kejar dan memukul.
Beberapa menit kemudian, beberapa mahasiswa pun menjadi korban jatuh, terkena lemparan batu dan pukulan kayu. Kaki dan tangan yang berdarah hingga kepala yang memar.
Lima belas menit berselang, suasana mulai tampak tenang setelah aparat kepolisian mencoba melakukan pendekatan.***

Minggu, 27 Juni 2010

Ayah "Muhammad Gam"

Wirduna Tripa
(Telah dimuat di Serambi Indonesia, 27 Juni 2010)KEMARAU telah lewat. Tiga pekan sudah hujan menguyur tanah kering ini, pertanda musim hujan. Cahaya matahari perlahan menghilang di ujung laut biru, hilang berganti gelap. Dikeheningan senja, Nek Lot masih di lampoh Cek Amat. Ia membabat setengah rante rumput karena esoknya akan berpindah kerja ke lampoh jagung milik Keuchik Adam. Dalam sepuluh tahun terakhir ini Nek Lot sudah menggeluti pekerjaan sebagai tung upah (upahan). Sejak Nek Gam meninggal, kehidupan Nek Lot memang tak menentu lagi yang harus berjuang sendiri agar bisa mengisi perut. Usianya yang renta apalagi bekerja sebagai tung upah, seharusnya ia beristirahat. Tapi semua ini harus dilakukan untuk bisa menyambung hidup di tengah beban yang saat ini makin berat.

Nek Lot hanya mewarisi sepetak tanah yang ditumbuhi coklat warisan Nek Gam, suaminya. Tapi tanah itu pun dirampas, setelah Pak Geuchik mengatakan tanah itu milik PT. Padahal setahunya sudah lima puluh tahun ia sebelum ia menikah dengan Nek Gam, tanah itu sudah ditempati. Tapi dikatakan milik PT, ya sudahlah. Nek Lot pasrah dan menyerahkan semua itu pada Yang Kuasa. Hari-hari dijalani Nek Lot. Biasanya sepulang ia dari tung upah, selalu membawa pulang beras sekantung plastic hitam dan beberapa ons ikan kase asin. Kadang kalau ia tak mendapatkan kerja, ia memberanikan diri menghutang di kedai Po Insyah. Untung Po Insyah yang selama ini begitu berbaik hati mau memberi hutang padanya.

Senja itu, Nek Lot setelah salat magrib menyuruh saya untuk berdoa dengan menadahkan tangan. “Kalau kita berdoa, pasti Allah mengabulkan dan memudahkan rezki kita,” ujarnya dengan suara serak. Waktu itu saya tak tahu apa yang harus bacakan. Untunglah Nek Lot hanya menyurus mengucapkan amin, amin, amin…di sela-sela bacaan doanya. Saya seperti bosan mengikuti Nek Lot, tapi suatu magrib, ia kembali menyuruh. Kali ini saya saya tidak menuruti perintahnya, tapi hanya duduk di belakang Nek Lot dan diam. Maka seusai ia berdoa, Nek Lot menjadi marah.

“Kenapa kamu tidak mengucapkan “amin” tadi?” serunya.
“Ima sudah bosan mengucapkan amin…amin… dan, amin… setiap malam” jawabku.
“Ima…! Kenapa kau berkata seperti itu Nak?” timpal Nek Lot.
“Capek! Setiap malam mengucapkan, tapi tak juga diberi uang yang banyak. Buktinya Nek Lot setiap sore hanya membawa pulang sekantung beras,” sanggahku.

Paginya, kulihat Nek Lot duduk di jambo belakang rumah. Tampak airmata meleleh dari pipinya yang sudah keriput. Bola mata yang dulu tajam, seperti tak lagi bercahaya.
“Mengapa Nek Lot menangis?” ketusku
“Kalau saja ayahmu masih hidup,” gumannya.
Pagi menjadi begitu mendung padahal matahari sudah cerah setinggi gala. Nek Lot hanya diam, kecuali menyebut ayah yang katanya meninggal di hutan setelah bertempur dengan gerombolan loreng. Saya tak tahu apa maksud gerombolan goreng. Kecuali pernah mendengar kata Pak Geuchik, bahwa saya anak kombatan akan disantuni oleh pemerintah karena ayah saya dulu meninggal di hutan. Tetapi sampai sekarang Pak Geuchik tak pernah berkata apa-apa lagi pada Nek Lot.

“Apa mungkin Pak Geuchik sudah lupa ya?” besitku.
Andai saja santunan ini masih berlanjut, saya mungkin tak perlu risau ketika saat ini sudah tamat SD untuk bisa melanjutkan ke SMP. Tapi sudah tiga kali saya tanyakan itu kepada Nek Lot, ia tak pernah mau membuka mulut. Saya tak berani menanyakan hal itu pada Pak Geuchik. Sebab saya dengar ia sekarang begitu sibuk mengurusi perkara tanah warga.
Ayah saya disebut-sebut “kombatan”. Tidak tahu kenapa orang-orang menggantinya nama ayah. Padahal yang saya tahu namanya Muhammad Gam, bukan kombatan.***

* Wirduna Tripa adalah mahasiswa PBSI, pengurus Gemasastrin FKIP Unsyiah.