Rabu, 18 Januari 2012

Drama Politik Apa Latah

Wirduna Tripa        
                                Sebenarnya tidak begitu menarik opini yang ditulis Syardani M. Syarif, Serambi
, (17/10), berjudul “Pilih Pilkada atau UUPA?”. Sebab, dalam tulisan tersebut Syardani hanya memaparkan informasi terkait perundangan, kajian historis perjungan dan kisruh calon perseorangan, yang fenomena tersebut memang telah menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini serta sudah leuge untuk dibahas. Tulisan tersebut pun hanya diakhiri dengan kalimat persuasif yang tidak sedikit pun memberi solusi terkait konflik regulasi yang begitu meuputi-puti di Aceh akhir-akhir ini. Namun, yang membuat ruh keacehan saya merespon tulisan Syardani adalah pada kalimat persuasif yang diangkatnya di bagian akhir tulisan tersebut dengan bunyi penegasan “Ikut pilkada untuk menghancurkan UUPA atau tidak ikut pilkada demi menyelamatkan UUPA?”
Sebenarnya yang menjadi tanda tanya besar masyarakat Aceh saat ini, apakah benar bila Pemilukada dilanjutkan sesuai dengan tahapan yang telah dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) itu akan merobek UUPA yang merupakan hasil dari Momerandum of Undestanding (MoU) yang disepakati oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia di Helsinky 2005 lalu?
Mungkin jawaban dari pertanyaan itulah yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh. Sebab, yang menjadi alasan andalan dari golongan garis merah adalah isu “Penyelamatan UUPA” semata. Sebab, amanat UUPA dan MoU Helsinky bahwa sanya jalur perseorangan di Aceh hanya berlaku satu kali, yaitu pada tahun 2005 karena saat itu belum terbentukknya partai lokal. Hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 256 UUPA. Pertanyaan kedua, apakah salah satu butir –tentang calon perseorangan-- UUPA yang dihasilkan dari MoU Helsinky dapat di-judicial review tanpa berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh yang merupakan pihak pertama dalam menghasilkan kesepatan tersebut? Ini juga sebuah pertanyaan yang harus dijawab dan diluruskan bersama. Sebanrnya dua persoalan inilah yang menjadi pemicu konflik regulasi di Aceh yang sampai saat ini belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif meskipun KIP telah melanjutkan tahapan Pemilukada. kisruh pemilikada ekses kelatahan MK Asumsi saya, pangkal kekisruhan prapemilukada di Aceh saat ini adalah murni kesalahan dari Mahkamah Konsitusi (MK). Mengapa demikian? Harusnya sebelum MK menerima usulan judicial review yang diajukan oleh beberapa orang yang mengatasnamakan dirinya –aspirasi rakayta Aceh—harusnya sebelum mengambil keputusan MK terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh (eksekulif, legislatif, dan yudikatif). Sebab, butir yang di-judicial review tersebut merupakan butir UUPA dan hal ini tidak dapat diotak-atik dengan serta merta karena status Aceh tidak sama dengan status provinsi-provinsi lain yang ada di rupublik ini. Seandainya MK lebih profesional dalam mengambil kebijakan so pasti kondisi politik di Aceh tidak terjadi sekonyol ini. Bayangkan, jika MK berkoordinasi dengan Pemerintahan Aceh, yaitu dengan Gubernur, Irwandi Yusuf dan DPRA –dominasi PA—pasti ketika itu akan ada kesepatan bahwa calon perseorangan tetap tidak dibolehkan karena jelas-jelas bertentangan dengan UUPA. Begitu mungkin suara bulat yang keluar dari eksekutif-legislatif karena pada saat itu Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf masih berada satu barisan dengan DPRA. Tetapi akhirnya karena Irwandi batal disunting PA sebagai kandidat Gubernur, ia pun menjadikan jalur perseorangan sebagai perahunya untuk berlayar pada pesta demokrasi periode ini. Sejak itulah konflik kepentingan begitu memas menjelang persiapan Pemilukada. Kelatahan MK dalam mengambil keputusan yang telah menerima judicial review terhadap butir UUPA terkait calon perseorangan tanpa ada berkoordinasi dengan pemerintahan Aceh terlebih dahulu, sebagimana keluh para politi Partai Aceh belakangan, ekses tersebut hingga kini membuat Pemilukada di Aceh belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif. Tahapan Pilkada yang dijalankan KIP masih belum dapat dikategorikan sempurna. Sebab, tanpa ada keikutsertaan unsur legislatif. Tahadapan Pemilukada Aceh bak sepeda yang melaju hanya dengan satu ban saja. Memang dengan menggunkan satu ban sepeda masih dapat berjalan, tetapi untuk menempuh perjelannan panjang masih diragukan akan sampai tujuan. Sebenarnya, orang-orang yang menduduki MK adalah replesentatif dari tiga unsur penyelenggara negara, tetapi mengapa mereka terkesan latah dalam mengambil keputusan yang begitu dini terhadap persoalan Aceh tanpa mempertimbangkan dampak-dampak yang terjadi dari pengambilan keputusan tersebut, ini membuktikan bahwa orang-orang yang duduk di MK masih begitu miskin pengetahuan dan tidak mempunyai kecerdasan prediktif yang dalam. Syukur bila kelatahan tersebut terjadi hanya karena miskinnya pengetahuan. Namun, benarkah keputusan tersebut lahir berkat niat baik MK, ataukah ada skenario lain dalam drama ini? Semoga saja tidak! Sikap DPRA Menjawab pertanyaan Syardani dalam opininya “Pilih Pilkada atau UUPA”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap DPRA bila mereka benar-benar memperjuangankan keutuhan UUPA dan bukan semata memenangkan pesta limatahunan atau saya sebut dengan istilah fively party. Bila dengan terhapusnya salah satu butir UUPA –tentang calon independen yang hanya dibolehkan sekali—dapat merusak UUPA yang dihasilkan dari buah perjuangan yang cukup panjang, melelahkan dan, jatuhnya korban yang tak terbilang, maka menurut hemat penulis hal ini harus dicermati kembali oleh semua pihak. Sebab, sebagaimana tersirat dalam ungkapan Aceh meunyoe jarom ka leupah beuneu pasti diikot. Ungkapan ini dapat ditafsirkan bahwa bila salah satu pasal dalam UUPA dibiarkan diutak-atik maka pasal-pasal berikutnya juga ikur terutak-atik dan akan sangat sulit untuk menghentikannya. Oleh karena itu, cegahlah agar jarum tidak menembus sutra, dan bila ia menembusnya maka segulungan benang pun akan mengikutinya. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Dapat dikatakan, saat ini adalah klimaksnya dari serial drama yang sedang berlangsung di Aceh. Publik pun sedang menikmati adegan ini, namun mereka juga sedang menanti bagaimana ending dari drama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ending serial drama Aceh yang berjudul fively party skenarionya berada ditangan DPRA, kita tunggu saja bagaimana mereka mengakhiri ceritanya ini. Tetapi ingat, dalam sebuah cerita hanya ada dua buah endi¬ng, pertama disebut dengan happy ending dan kedua bad ending. Ini adalah saatnya DRPA yang manyoritas dikuasai oleh Partai Aceh untuk dapat memperjuangan amanat MoU Helsinky karena kali ini selain bernyali tinggi juga harus jeli, percaya diri dan nuansa estetika politik yang tinggi. Metode poltik klasik Setelah berhasil menguasai sebagai besar parlemen, Partai Aceh (PA) membuktikan bahwa dirinya adalah satu-satunya partai lokal yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan sebagaimana yang diamanatkan dalam MoU Helsinky. UUPA menjadi kitab suci bagi masyarakat Aceh yang dijadikan landasan untuk mengimplementasikan buah dari tuntutan puluhan tahun lamanya. Melihat kemenangan telak PA pada pemilihan legsilatif lalu dapat dipastikan bahwa kandidat yang diusung PA sebagai gubernur Aceh dapat meraih kemenangan tanpa menghabiskan energi dan materil dalam berkampanye. Namun, yang namanya politik memang tidak ada warna yang jelas, dan semua harapan PA pun kandas begitu saja. Politik; tak ada musuh yang kekal dan tak ada teman yang abadi, inilah yang sedang menimpa partai berlatar merah saat ini. Pasang surut yang terjadi di badan Partai Aceh bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya adalah kurang memupuk nilai-nilai demokrasi dalam memanage dan pengambilan keputusan. Sebenarnya tidak ada yang keluar dari garis komando bila budaya demokrasi diterapkan dalam tubuh PA, sebagaima hadih maja menukilnya asai ka meupakat lampoh jeurat tapuegala. Metode politik klasik sangat tidak tepat dipraktikkan diera mutakhir ini. Semoga tidak ada yang latah lagi!  


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda