Sabtu, 26 Februari 2011

Mencuri Sang Wali


Cerpen | Wirduna Tripa

Jamilah, itulah nama gadis kecil itu. Kini usianya telah menginjak lima belas tahun. Ia sekarang terdaftar sebagai siswa di salah satu Madrasah Aliyah Panti Asuhan di Koetaraja. Lima tahun sudah Jamilah melewati hari-harinya di Panti Asuhan. Hari-hari, Jamilah selalu disubukkan dengan berbagai aktivitas, siang dan malam hari, mulai dari beut, sekolah dan berbagai macam kursus ia tekuni. Hidupnya sangat terstruktur. Tak ada waktu yang ia lewati dengan sia-sia, meski banyak teman-temannya yang tak berpikir panjang dalam memanej waktu.

Para gure dan teungku-teugku panti sangat bangga padanya. Di mata para gure-nya, Jamilah adalah anak yang cerdas, pintar, rajin dan sopan santun. Ia tak pernah berjamaah dengan teman-temanya dalam hal bergosip. Selain sikapnya yang terpuji, Jamilah juga menjadi bahan diskusi para lelaki akan kemolekkannya. Tinggi semampai, badan langsing dan kulitnya sawo matang, membuat para lelaki menaruh perhatian lebih. Bahkan Teungku Idris pun sempat menaruh rasa pada muridnya yang elok itu. Namun Teungku Idris merasa belum saatnya untuk menyampaikan isi hati yang telah lama terbungkam.

Seiring bergulirnya waktu, Jamilah pun semakin dewasa dan menuntut ia untuk menata masa depan yang lebih kompleks. Teungku Idris adalah orang pertama yang ingin menghalalkan Jamilah lahir dan batin.

Seperti biasanya, ketika seorang wanita akan dinikahi. Maka ia harus mendapatkan restu atau izin dari walinya. Wali pun tak sembarang orang, tak bisa si gam panjo atau si gam bakoeng yang bisa menjadi wali nikah. Bila orang tua sendiri, itu pun harus beragama, paham dangan aturan-aturan agama serta amalannya tak perlu diragukan. Jika wali tak ada kriteria itu, maka dianjurkan seorang wali untuk ditaubatkan.

“Wali tak bisa sembarang orang” ucap Gure Ma’e, memberi penjelasan kepada Jamilah.
Jamilah hanya mengangguk-ngangukkan kepalanya mendengar tausiah dari Gure Ma’e. Gure Ma’e adalah Imum Mukim yang merangkap sebagai tokoh ulama di Mukim Koeta Jaya itu.

Hari-hari Gure Ma’e selain mengahabiskan waktu di lampoh, sebagian waktunya juga disisihkan untuk bermasyarakat. Maklumlah ia adalah seorang terpandang dalam bidang agama serta merangkap sebagai pemangku adat. Selain tausiah dan konsultasi agama, Gure Ma’e juga pemangku adat, namun sayangnya, Gure Ma’e hanya sebagai simbol adat sebagai Imum Mukim, namun delapan tahun sudah ia sebagai Imum Mukim, ia tak pernah berperan sebagai seorang pamangku adat adanya. Namun Gure Ma’e hanya berfungsi ketika ada masalah antar-gampong. Tapi Gure Ma’e tak pernah mempermasalahkannya, Gure Ma’e juga paham mungkin tugasnya selaku pemangku adat adalah sebagai penengah dari persoalan.

“Gure. Saya pulang dulu ya” pinta Jamilah.
“Assalamu’alaikum” ta’zim pisahnya.
Mundur rapi, perlahan Jamilah turun dari meunasah, hampir saja ia terpeleset dari tangga meunasah. Maklum meunasuh tersebut hampir saja usianya setengah abad. Dindingnya yang kian rapuh memberi jawaban akan usianya yang kian renta.

Perlahan Jamilah melangkahkan kaki beranjak dari meunasah Gure Ma’e.
“Siapa yang akan menjadi wali nikahku” besit Jamilah sembari ia berjalan pelan. “Apa aku tak bisa menikah tanpa adanya seorang wali? Atau aku harus mencari seorang wali?” tanya-tanya risih terus mencuat di kalbu Jamilah.

Ia bingung, akankah ia harus menghadirkan Wali Nanggroe nanti kala pernikahannya. Benaknya merawi “Wali Nanggroe’kan ada, lagi pula Wali Nanggroe’kan wali untuk semua orang yang ada di nanggroe dan itu termasuk aku orangnya karena aku adalah penghuni naggroe ini”.

Dengan hati riang, Jamilah mendatangi Meuligoe Wali Nanggroe. Ia berharap Wali Nonggre dapat menjadi wali nikahnya nanti. “Semoga Wali Nanggroe bersedia menjadi wali-ku nanti” tadahnya sembari mengamini.

“Jamilah....!!!!”
Teriak seorang areh.
“Bangun Jamilah! Salat Subuh” Jamilah pun terbangun mengangah, sambil ia berucap “asstaqfirullah...”. Ia pun beranjak dari tempat tidur.

Penulis adalah Mahasiswa Gemasastrin, Ketua Depertemen Informasi dan Komunikasi (Infokom) Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (Imabsii), juga sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda