Rabu, 23 Februari 2011

Gersos, Tumbuh Dari Kaum Tertindas


Jurnalisme
Wawancara : Wirduna Tripa dengan Otto Syamsuddin Ishak


Kapan munculnya gerakan sosial (Gersos) masyarakat Aceh dan bagaimana pandangan anda dengan perjalanan gerakan tersebut?
Gerakan sosial masyarakat Aceh sudah muncul sejak tahun ’75. Ketika itu, gerakan sosial tumbuh atas dua buah fokus isu yang berbeda, yaitu isu lokal (Aceh) dan isu nasional (Indonesia). Fokus utama pergerakan sosial era reformasi tersebut adalah mendesak agar dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dan secara bersamaaan pergerakan tersebut juga menjadi mobile di era reformasi untuk menjatuhkan Seokarno.

Apa menyebabkan munculnya Gersos di Aceh dan siapa yang memotorinya?
Salah satu faktor munculnya gerakan sosial di Aceh adalah karena masyarakat Aceh ingin mengkritisi sistem pemerintahan dan implementasinyya yang tak sesuai dengan apa yang telah diatur, oleh karena itulah sebagian masyarakat Aceh tergugah hatinya untuk membentuk pergerakan guna menanggapi hal tersebut.
Gerakan sosial ini pada mulanya hanya dimotori oleh kaum-kaum tertindas akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh. Priodisasi konflik Aceh terdiri dari beberapa fase dan tak sedikit menewaskan masyarakat Aceh kala itu. Para kaum tertindaslah yang awalnya berinisiatif untuk mencetuskan gerakan sosial di Aceh.

Apa dampak yang signifikan dari pergerakan tersebut?
Hakikat munculnya gerakan sosial karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat, baik kepuasan hak atau politik. Dampak yang signifikan dari gerakan sosial ini adalah tercapainya aspirasi masyarakat yang mungkin terbungkam atau tak diketahui publik. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan suatu gagasan dan perubahan dalam tatanan pemerintahan. Dengan kata lain, gerakan sosial ini adalah suatu kritikan atau teriakan duka dari masyarakat yang memang harus dibenahi serta mendapat perhatian dari semua pihak untuk mencari solusi permasalahannya.

Bagaimana anda melihat pergerakan sosial pra-MoU Helsinky dan pergerakan sosial pasca-MoU Helsinky?
Sebenarnya tak ada yang membedakan antara pergerakan yang dibangun praperdamaian dan pascaperdamaian, keduanya adalah pergerakan yang bertujuan untuk mencapai perubahan. Hanya saja yang membedakannya adalah isu yang menjadi tuntutan atau fokus dari pergerakan tersebut.

Pascaperdamaian dulu, pergerakan sosial yang dibangun adalah untuk mengembalikan kedaulatan Aceh, yang dinilai selama beberapa tahun setelah kemerdekaan NKRI, Aceh tak pernah mencium nikmat kemerdekaan. Hal itulah yang melatarbelakangi masyarakat Aceh untuk menarik diri dari republik.
Sementara, pergerakan sosial pasca-MoU adalah suatu pergerakan yang dibangun oleh masyarakat untuk mengontrol jalannya perdamainnya serta menjembatani keadilan bagi korban konflik Aceh. Namun dalam hal ini yang sangat saya sedihkan adalah sikap pemerintahannya Aceh yang saya nilai tak sepantasnya membiarkan para korban konflik yang hanya memninta haknya 4 kg beras tak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah, meski mereka meminta dengan bentuk pergerakan sosial.
Dulu ketika komplik mereka adalah barisan depan yang memberikan semangat pergerakan kepada masyarakat untuk mengembalikan kedaulatan Aceh dalam berbagai aspek. Namun sekarang ketika mereka sudah berhasil masuk ke dalam sistem pemerintahan, malah seruan pergerakan yang pernah mereka suarakan dulu parau di tengah jalan.

Apakah hanya ketika melarat memerlukan rakyat?
Bagaimana Anda melihat respons pemerintah (Aceh) terhadap pergerakan sosial yang dibangun oleh masyarakat saat ini?
Saya melihat pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa dan masyarakat sangatlah signifikan. Namun, belakangan ini saya memperhatikan ada sebagian elit yang beranggapan bahwa gerakan sosial propokatif. Bila ada sebuah pergerakan yang bersuara, maka dikait-kaitkan dengan isu-isu politis. Misalnya kalau ada massa yang berunjuk rasa, sebagian elit mengangap itu adalah titipan atau massa yang diboncengi oleh pihak tertentu.
Harusnya dalam hal ini pemerintah lebih responsif dan apresiatif terhadap peregerakan yang dibangun oleh masyarakat, sebab itu adalah sebuah bentuk kritikan demi perbaikan ke depan. Janganlah terlalu cepat berprasangka negatif terhadap gerakan-gerakan yang dibangun oleh masyarakat.

Apa yang menjadi catatan Anda untuk pemerintah dari kilas balik peregrakan sosial masyarakat Aceh?
Saya yakin, orang-orang yang sekarang menjabat di pemerintahan Aceh adalah orang-orang terpilih, baik di eksekutif maupun legislatif. Harapan saya semoga para elit yang sedang mengemban tugas untuk mengembalikan kedaulatan Aceh sedikit tidak harus menjiwai gaya hidup demokrasi. Pemerintah yang normal dalam berdemokrasi dalah pemerintah yang terbukan dan senantiasa menerima kritikan dari berbagai kalangan. Nah, bila ada pemerintah yang tak terbuka dalam berdemokrasi maka itu namanya pemerintah yang up-normal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda