Sabtu, 26 Februari 2011

Rekam Jejak Mukim Aceh


Jurnalisme| Wirduna Tripa

Dilihat dari usia, Pemerintahan Mukim memang sudah sangat usang. Berdasar catatan sejarah, pemerintahan mukim telah lahir di Aceh sejak beberapa abad silam. Pertama sekali, Pemerintahan Mukim ini dicetuskan pada dinasti Sultan Iskandar Muda, itulah awal kelahiran pemerintahan mukim di Aceh.

Senada dengan hal itu, Ketua Majelis Adat Aceh, H. Badruzzaman Ismail, S.H., M.Hum., mengatakan bahwa, mukim dulunya dikala Aceh masih dijajah Belanda sangat bagus fungsinya dan mempunyai peran yang jelas dalam menata pemerintahan mukim. Meski kala itu Belanda yang menguasai Aceh, namun para penjajah tak ikut campur dalam urusan pemerintahan mukim.

Kehadiaran mukim kala itu memberikan kontribusi penuh terhadap masyarakat. Mulai dari kontribusi pembinaan sampai pada pengembangan berbagai hal yang ada dalam mukim-mikim. Mukim senantiasa menjalankan perannya dalam mengatur masyarakat yang kemudian dibantu oleh Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seuneubok dan Haria Peukan. Keempat unsur ini merupakan wilayah kerja mukim yang telah diatur berdasarkan wilayah masing-masing.

Fungsinya dalam keempat aspek tersebut memberi kontibusi yang signifikan terhadap pembangunan fungsional masyarakat, baik penididkan, agama dan, perekonomian “Masyarakat mendapatkan pembinaan dari pemerintahan mukim dalam mengelola dan melaksakan berbagai hal” ungkap Badruzzaman. Lebih lanjut ia menyampaikan, namun kala itu imum mukim di bawah kedudukan para Ule Balang. Jadi segala sesuatu yang dilaksanakan oleh Mukim tetap di bawah koordinasi Ule Balang. Mukim dulunya adalah lembaga yang mengutip pajak dari sumber daya alam yang dikuasai mukim masing-masing, dan pajak yang dikutip mukim disetor kembali ke Ule Balang, kemudian Ule Balang baru berhubungan langsung dengan Belanda. “Mukim bertugas juga untuk mengutip wase-wase (istilah lain pajak) dari masyarakat”, tambahnya.

Ketika the Chiek menanyakan tentang kondisi mukim masa kemerdekaan, Jadi begini, mulainya, Kedudukan Mukim secara struktural dan fungsinya masih sama seperti masa kemerdekaan. Namun mukim mulai dimarjinerkan ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang tahun 1979 yang mengeragamkan segala lini struktural pemerintah, sehingga saat itulah mukim dibekukan dari peran dan fungsinya.

Keputusan UU yang meyeragamkan kearifan loklal tersebut mendapat protes kuat di beberapa provonsi yang tak sepakat dengan penyeragaman tersebut, provinsi yang tak sepakat adalah Aceh dan Padang. Namun akhirnya pemerintah memberikan keweangan bagai provinsi tersebut untuk mendirikan dan mengatur sendiri masah pendidikan, adat dan kedudukan lembaga Islam “Itu dilakukan untuk meredam konflik saja” kata lelaki yang pernah ikut serta saat perundingan MoU di Helsinki.

Berlanjut pada masa konflik, kedudukan mukim pun begitu tersudut karena kondisi konflik. Meski pun kedudukan mukim diakui kembali dengan dikeluarkannya Qanun No. 4 tahun 2003. Setelah itu pun bernajut ke masa desentralisasi, ia melihat mukim juga tak mempunyai fungsi yang strategis dalam pemerintaha “mukim terkesan hanya sebagai simbol saja, saya lihat pemerintah tak berniat baik dalam penerapan mukim ini” tandasnya.
Mungkin dalam hal ini, ungkap Badruzzaman, pemerintah harus lebih serius dalam mengembalikan peran dan funsgi mukim di Aceh, sehingga nantinya mukim dapat menjadi sebagai sebuah model pemerintahan Aceh yang memusatkan pada rakyat, sebagaima yang telah dibuktikan pada masa kesultanan dulu. Selain itu, tambhanya, masyarakat dalam hal ini juga harus mempunyai kesadaran untukmenyembalikan khasanah adat Aceh yang sudah sekian lama terkikis masa. Adat adalah warisan lelulur yang dimiliki masyarakat dan masyarakat pulalah yang harus mengembalikan harkat dan martabat kearifan lokal ini “kita masih berharap agar masyarakat yang menjadi penggreak untuk mengembalikan keutuhan pemerinhan mukim ini” harap pemerhati adat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda