Rabu, 23 Februari 2011

Perjalanan Gerakan Sosial Aceh


Jurnalisme
The CHIEK|Wirduna Tripa

Bila kita sedikit mengintip kilas balik perjalanan peradaban Aceh, maka tak terlepas dari sejarah-sejarah pergerakan dan nilai perjuangannya yang begitu kental tertanam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini juga tak terlepas dari karakter masyarakat Aceh yang berjiwa keras, tegas dan, mandiri. Masyarakat yang enggan mengucapkan kata-kata ‘menyerah’ “leubeh get puteh tuleung nibak puteh tapak”.

Senada dengan hal ini, Drs. Husaini Ibrahim, M.Pd., juga mengungkapkan bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah yang sedari dulunya memang sangat kental dengan jiwa-jiwa pergerakan dan perjuangan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa Sultan dan Sultah yang pernah menahkodai kesultanan Aceh tempo dulu. Mereka menanamkan jiwa perjuangan dan pergerakan kepada masyarakat. Sebab, dengan menanamkan jiwa perjuangan akan memperkuat jiwa nasionalisme masyarakat terhadap bangsa dan pemerintahan. Sebut Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala, saat ditemui the CHIEK di ruang kerjanya.

Ia melanjutkan, Dulu di pasca runtuhnya tampuk kepemimpinan Sultan Daud Syah, yang berhasil ditangkap oleh Kolonial Belanda pada periode akhir kasultanan Aceh, juga munculnya sebuah perlawelah dan yang maha dahsyat meski akhirnya kerajaan berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Namun, meskipun Istana beralih ketangan Belanda, masyarakat Aceh tetap tak mau tunduk kepada penjajah. Bahkan hal tersebut memancing sebagian besar masyarakat Aceh untuk membangun pergerakan-pergeran baru. Tak mau tunduk meski kerajaan sudah dikuasai kolonial, dan kematianlah yang dapat menghentikannnya perjuangan rakyat Aceh kala itu, Sebut Husaini, yang juga merupakan Dosen tetap pada Prodi Sejarah FKIP Unsyiah.

Husaini menyebutkan, bahwa itulah yang membedakan suku Aceh dengan Jawa. Aceh tak pernah ada kata tunduk atau takluk, meski Istana telah berhasil direbut oleh orang lain, sementara orang Jawa tak seperti itu. Orang Jawa justru tunduk dan mengikuti Belanda bila kerajaannya sudah ditaklukkan.

Munculnya Pergerakan
Pasca runtuhnya Sultan Daud Syah, Kala itu, Aceh mengalami pergeseran dalam berbagai aspek, baik perekonomian, politik dan sosial. Secara structural, kesultanan Aceh saat itu telah dipegang oleh Belanda, namun, disisi lain masyarakat Aceh justru tak mengakuinya sebagai tampuk keemimpinan Aceh. Tak berterima dengan kondisi tersebut hingga munculah pergerakan pergerakan kecil yang bertujuan untuk menggojang penjajah yang telah menguasai Istana. Meski awalnya peregrakan tersebut hanya dimotori oleh beberapa orang dan bersifat rahasia. Lambat laun, kelompok kecil tersebut berhasil melebarkan sayapnya ke beberapa wilayah di seluruh Aceh dan berhasil merekrut anggota yang siap menjadi pagar besi pergerakan.

Perputaran waktu pun silih berganti, akhirnya pergerakan yang dimotori oleh Teuku Chiek di Tori dan para ulama pun tercium oleh Belanda. Merespon isu tersebut, Belanda pun siaga satu. Dan mereka pun langsung mempersiapkan balatentara untuk menggempur pasukan pergerakan yang dimotori Teuku Chiek di Tiro tersebut, ulas Husaini.

Lanjutnya, puluhan tahun pergerakan terus mewarnai rakyat Acehdan akhirnya pergerakan yang dictuskan Teuku Chiek di Tiro akhirnya diteruskan oleh generasi penerusnya, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia dan lainya, “Tak pernah putsu-putus jiwa perjuangan dalam kehidupan masyarakat Aceh, hal ini karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pantang menyerah” imbuh Dosen senior.

Selain itu, tambah Husaini, Aceh dulu juga pernah terjadi konflik sesama suku, yaitu perang Cumbok, perang antara sebagian Ule Balang yang terkontaminasi oleh Belanda dengan para ulama. Perang ini sengaja disusun oleh pihak Belanda dengan memanfaatkan Ule Balang, yang kemudian diadu domba dengan para tokoh dan ulama Aceh.

Posisi adat dalam masyarakat
Dalam kesempatan yang sama, Husaini juga mengutarakan, bahwa masyarakat Aceh dulunya sangat beradaptasi terhadap kearifan local yang mememang sudah menjadi warisan lelurnya. Semua hirarki adat dalam kesultanan berfungsi dengan baik, dan dampaknya pun sangat signifgikan terhadap rakyat. Sebab dalam adat Aceh semua telah diatur tentang berbagai dimensi kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh dulunya dalah masyarakat yang sangat patuh terhadap ketentuan-ketentuan konvensional. Hal ini karena telah ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma hukum. “Dulu, bila ada orang yang berbuat salah, tak segan-segan mendapatkan sanksi yang sesuai dengan kesalahan. Namun, dalam masyarakat Aceh ada dua buah sanksi, yaitu, sanksi adat dan sanksi hukum. Bila kesalahn dapt diselasaikan dengan sanksi adat, maka tak sampai ke ranah hukum. Hal ini karena masyarakat Aceh lebih suka mencari jalan bijak untuk menyelesaikan setiap persoalan” Jelas Husaini.

Sementara itu, dalam konteks pemerintahan sekarang, Husaini melihat bahwa pemerintahan sekarang tak membangun nialai demokrasi kepada masyarakat, akan tetapi demokrasi hanya dalam kinerja dan sistem dan tak sepenuhnya partipasi masyarakat. Inilah yang membedakan serang dengan masa dulu. Di masa kesultanan dulu tak ada yang namanya sistem domokrasi dalam kesultatan/pemerintahan, akan tetapi meski tak bersistem domokrasi, namun dalam kehidupan masyarakat tertanam nilai demokrasi yang sangat tinggi.

1 komentar:

Pesan Anda