Tampilkan postingan dengan label serambinews.. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label serambinews.. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Januari 2012

Menunggu Syarifah

Karya Wirduna Tripa

Syarifah. Itulah nama gadis yang hampir satu dekade ku titipkan segenap rasa cinta dan kasih padanya. Satu dekade bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal gadis ini. Tak sanggup ku urutkan deretan kisah yang pernah kami lalui semasa hubungan cinta bersemi.

Ikrar janji sejati telah terpatri pada diri kami. Hanya beberapa saat sebelum matahari pamit menerangi Bumi, ikrar itu kami ucapkan bahwa hubungan yang telah lama terbina ini ingin kami abadikan dalam ikatan suci. Lepas hari itulah, perlahan aku mulai mengubah kebiasaan hari-hari. Bila dulunya banyak waktu yang kuhabiskan di warung kopi dan bercengkrama dengan teman-teman,  kini mulai kukurangi perlahan. Keserisuanku untuk meminang Syarifah membuat pola hidupku semakin terarah. Gaji bulanan mulai ku cicilkan untuk membeli mahar. Sedikit kukurangi menu makan yang bergizi, sebab harganya tak memadai dengan honor di tempatku abdikan ilmu.

Setahun lagi, itulah waktu yang tersisa. Syarifah akan segera menyelesaikan kuliahnya. Sebagaimana janji  kami sore itu, bahwa setelah Syarifah selesai kuliah rombongan ranup meuh gampongku akan bertamu ke rumahnya. Dan hal itu pun telah kukabari kepada orang tua dan segenap ahli familiku. Ya,  menurutku agar mereka dapat menyiapkan sesuatu dengan adanya pemberian kabar dariku. Pintaku, “Ifah, minggu ini kamu harus pulang kampung, dan kasih tahu orang tuamu akan hajat dan keseriusanku untuk menjadikanmu pendamping hidupku.” “Iya, Bang, akan kusampaikan kepada orang tuaku”.

Seminggu sudah Syarifah berada di gampongnya. Setiap malam aku selalu menelpon dan mengirim sms. Aku ingin mengetahui bagaimana tanggapan orang tuanya akan niatku untuk menjadikan keluarganya sebagai keluarga keduaku. Ia bilang, ia belum dapat menyampaikan semua itu kepada Abi dan Uminya.  “Abang, waktunya belum ada yang tepat untuk Ifah sampaikan semua ini.”  Pesan singkat ini  yang selama seminggu kuterima darinya.

 Tiga hari sudah aku tak menerima pesan darinya. Aku berharap bila ia telah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan semua itu, pasti ia  akan langsung menghubungiku.

Pada  minggu  pagi sekitar pukul 07.00 WIB,  sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku.  Dengan cepat aku langsung membuka sms meski mataku belum ingin diganggu, sebab semalaman aku larut begadang dengan buku.   Koyak rasanya hati ini ketika bait-bait sms terbaca. Tanpa sadar BlackBerry yang baru saja aku beli jatuh ke  lantai. “Bang, Abi telah membicarakan tentang pernikahanku dengan keluarga Bang Said pulan. Ia adalah anak teman dekat Abi, dan dia akan dijodohkan denganku,” tulisnya. Ia pun mengisahkan bahwa Umi tidak mengizinkan Ifah untuk menjalin hubungan, apalagi menikah dengan orang yang bukan seketurunan dengannya.  Ia mengaku tidak sedikit pun mempunyai rasa cinta pada pria yang dijodohkan orang tuanya, namun apa hendak dikata keluarganya tidak  merestui bila menikah dengan ku. 

Meratalah penderitaan cinta. Seminggu lalu, Buyung, teman dekatku, juga mengalami kisah pahit yang hampir sama denganku. Aku melihat semangat hidup Buyung bila dipersenkan hanya tinggal 20  persen lagi, setelah ditinggal pergi kekasihnya. Hampir seminggu ia seperti orang yang sedang bileung gaseu, teu tahe-tahe,   setelah kekasihnya si Upik dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya.  Menurut kabar, lelaki itu adalah teman sekampus dengan Si Upik di negeri Piramid nan jauh di sana. Cita-cita Buyung untuk menikahi anak pimpinan dayah itu pun kandas di penghujung senja. Sungguh malang melintang. Dan kini, derita yang sedang dialami sahabatku dengan sekejap beralih padaku. “Sudah kubilang padamu, jangan kau berharap banyak pada gadis,” ujar Buyung menasihatiku. “Si Upik saja yang  keturunan orang biasa tak ada rekom orang tuanya untuk kunikahi, konon lagi kamu orang kampung yang tak jelas keturunan pun,” tambahnya sambil tertawa.

Ribuan kisah silam antara aku dan Syarifah usai sudah. Kenangan dengannya kini telah kubungkus rapi dan kusimpan di sudut lubuk hati. Kadang aku berpikir, tak perlu lagi aku mengingat kisah-kisah itu. Tetap, bila sedang dilanda sepi, kisah itu bersemi dan terangkat kembali.  Kisah ini pun membuatku untuk lebih mengaca diri.

Syarifah, lama sudah aku menunggumu dan berharap kita akan bersatu. Tapi Allah berkehendak lain. Engkau pun lebih memilih lelaki yang sederajat denganmu, sebagaimana pilihan Abi dan Umimu. Begitu gampangnya kau melupakan deretan kisah-kasih yang telah lama terbina. Cukup aku saja yang merasakan dan menanggung perih tangis derita ini. Sebagai lelaki yang pernah mencintaimu, aku berharap kau dapat hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuamu, yang mungkin  sederajat dan satu silsilah keturunan denganmu.

* Wirduna Tripa, cerpenis. Ceberapa cerpennya pernah mengisi rubrik budaya di sejumlah  media cetak dan online di Aceh.

telah dimuat di Serambi Indonesia, Minggu, 29 Januari 2012

Minggu, 27 Juni 2010

Ayah "Muhammad Gam"

Wirduna Tripa
(Telah dimuat di Serambi Indonesia, 27 Juni 2010)KEMARAU telah lewat. Tiga pekan sudah hujan menguyur tanah kering ini, pertanda musim hujan. Cahaya matahari perlahan menghilang di ujung laut biru, hilang berganti gelap. Dikeheningan senja, Nek Lot masih di lampoh Cek Amat. Ia membabat setengah rante rumput karena esoknya akan berpindah kerja ke lampoh jagung milik Keuchik Adam. Dalam sepuluh tahun terakhir ini Nek Lot sudah menggeluti pekerjaan sebagai tung upah (upahan). Sejak Nek Gam meninggal, kehidupan Nek Lot memang tak menentu lagi yang harus berjuang sendiri agar bisa mengisi perut. Usianya yang renta apalagi bekerja sebagai tung upah, seharusnya ia beristirahat. Tapi semua ini harus dilakukan untuk bisa menyambung hidup di tengah beban yang saat ini makin berat.

Nek Lot hanya mewarisi sepetak tanah yang ditumbuhi coklat warisan Nek Gam, suaminya. Tapi tanah itu pun dirampas, setelah Pak Geuchik mengatakan tanah itu milik PT. Padahal setahunya sudah lima puluh tahun ia sebelum ia menikah dengan Nek Gam, tanah itu sudah ditempati. Tapi dikatakan milik PT, ya sudahlah. Nek Lot pasrah dan menyerahkan semua itu pada Yang Kuasa. Hari-hari dijalani Nek Lot. Biasanya sepulang ia dari tung upah, selalu membawa pulang beras sekantung plastic hitam dan beberapa ons ikan kase asin. Kadang kalau ia tak mendapatkan kerja, ia memberanikan diri menghutang di kedai Po Insyah. Untung Po Insyah yang selama ini begitu berbaik hati mau memberi hutang padanya.

Senja itu, Nek Lot setelah salat magrib menyuruh saya untuk berdoa dengan menadahkan tangan. “Kalau kita berdoa, pasti Allah mengabulkan dan memudahkan rezki kita,” ujarnya dengan suara serak. Waktu itu saya tak tahu apa yang harus bacakan. Untunglah Nek Lot hanya menyurus mengucapkan amin, amin, amin…di sela-sela bacaan doanya. Saya seperti bosan mengikuti Nek Lot, tapi suatu magrib, ia kembali menyuruh. Kali ini saya saya tidak menuruti perintahnya, tapi hanya duduk di belakang Nek Lot dan diam. Maka seusai ia berdoa, Nek Lot menjadi marah.

“Kenapa kamu tidak mengucapkan “amin” tadi?” serunya.
“Ima sudah bosan mengucapkan amin…amin… dan, amin… setiap malam” jawabku.
“Ima…! Kenapa kau berkata seperti itu Nak?” timpal Nek Lot.
“Capek! Setiap malam mengucapkan, tapi tak juga diberi uang yang banyak. Buktinya Nek Lot setiap sore hanya membawa pulang sekantung beras,” sanggahku.

Paginya, kulihat Nek Lot duduk di jambo belakang rumah. Tampak airmata meleleh dari pipinya yang sudah keriput. Bola mata yang dulu tajam, seperti tak lagi bercahaya.
“Mengapa Nek Lot menangis?” ketusku
“Kalau saja ayahmu masih hidup,” gumannya.
Pagi menjadi begitu mendung padahal matahari sudah cerah setinggi gala. Nek Lot hanya diam, kecuali menyebut ayah yang katanya meninggal di hutan setelah bertempur dengan gerombolan loreng. Saya tak tahu apa maksud gerombolan goreng. Kecuali pernah mendengar kata Pak Geuchik, bahwa saya anak kombatan akan disantuni oleh pemerintah karena ayah saya dulu meninggal di hutan. Tetapi sampai sekarang Pak Geuchik tak pernah berkata apa-apa lagi pada Nek Lot.

“Apa mungkin Pak Geuchik sudah lupa ya?” besitku.
Andai saja santunan ini masih berlanjut, saya mungkin tak perlu risau ketika saat ini sudah tamat SD untuk bisa melanjutkan ke SMP. Tapi sudah tiga kali saya tanyakan itu kepada Nek Lot, ia tak pernah mau membuka mulut. Saya tak berani menanyakan hal itu pada Pak Geuchik. Sebab saya dengar ia sekarang begitu sibuk mengurusi perkara tanah warga.
Ayah saya disebut-sebut “kombatan”. Tidak tahu kenapa orang-orang menggantinya nama ayah. Padahal yang saya tahu namanya Muhammad Gam, bukan kombatan.***

* Wirduna Tripa adalah mahasiswa PBSI, pengurus Gemasastrin FKIP Unsyiah.