Senin, 07 Desember 2009

Namaku Bukan Teuku

Sore itu ,para calon penumpang membanjiri bandara yang sangat megah di timur tengah yang dikenal dengan Bandara International King Abdul Aziz. Para calon penumpang sedang menunggu jadwal keberangkatan di waiting room terlihat lesu, ada yang sedang menguap, ada juga yang sedang menghibur mata pada tayangan televisi yang dipajang di setiap depan waiting room itu.
“Pengumuman, kepada penumpang Garuda Indonesia tujuan Nanggroe Aceh Darusalam, jadwal penerbangan ditunda satu jam, terima kasih”. Mendengar penundaan tersebut, aku pun merasa jenuh untuk menunggu sampai satu jam “the most boring activity is waiting” besit hatiku dengan sedikit rasa kecewa. Tetapi aku tidak mau membuang waktu dengan begitu saja, karena waktu itu sangatlah berharga. Kekosongan selama satu jam diwarnai dengan bait-bait suci dari lembaran-lembaran wahyu-Nya yang memberikan ketentraman abadi bagi jiwa.
Beberapa saat kemudian, saat aku sedang hanyut dengan bait-bait kitab suci, tiba-tiba seorang lelaki yang usianya sudah menginjak sekitar 35 tahun itu mengisi sebuah kursi kosong di samping kananku. Bait-bait qur’an pun sejenak berhenti dari mulutku. Hati ini berkata “Ini pasti orang yang berasal dari nanggroku”. Baju yang dikenakan lelaki itu, memberikan jawaban bahwa dia adalah sosok yang berasal dari nanggro kelahiranku.
Rasa penasan pun membungkam di benak, “apa dia orang nanggroku” batinku berkata begitu. Tak lama kemudian, lelaki berkacamata yang dipadu kupiah berwarna hitam itu ku sapa. “Assalamu’alaikum Pak” sapaku. “Wa’alaikumsalam, lho… Adek orang Indonesia juga?” jawabnya pendek. “Iya Pak.” Jawabku sambil mengulurkan tangan. “Di Indonesia dimanaya tu dek?”sambungnya. “Aku di Aceh Pak ”. “Lon Ureueng Aceh Chit” jawabnya dalam bahasa Aceh. Keakraban pun mulai mengisi suasana kami di waiting room sore itu.
“Pak. Bagaimana keadaan di gampong kita?” tanyaku dengan rasa ingin tahu sangat. Kerinduan akan gampong kelahiran kian menggugah di hati. nanggro yang sangat kaya dengan kekayaan alam, subur dan masyarakatnya saat taat beragama. nanggro yang semenjak aku lahir selalu dalam keadaan yang sangat tegang, nanggroku dulu tiap harinya selalu diwarnai dengan darah. Banyak orang bilang, penghuni gampongku berwatak keras, tetapi menurutku itu bukanlah kemauannya, hanya saja wakta mereka dibentuk oleh masa dan peradaban di masanya.
Lelaki yang biasa disapa Pak Husen itu mulai membuka lembaran memori gampong kami. Beberapa tahun yang lalu saya tercatat sebagai mahasiswa Al-Azhar Kairo Mesir. Setelah saya menyelasaikan kuliah, dengan penuh semangat berharap apa yang telah saya dapatkan di Al-Azhar kiranya dapat saya bawa pulang sebagai ole-ole pengabdiaku untuk nanggro.
Di pagi yang cerah, saat mentari mulai menyapa bumi, dengan semanagat sang sosok sejati yang penuh opsesi untuk berkontribusi dalam membangun nanggroe. Nanggro warisan para leluhur yang peradabannya sempat tercium harum semerbak keseluruh jagat raya. Ingin sangat saya untuk meneruskan estapet mereka, walau bukan sebagai papan atas.
Semangat yang menggebu, akhirnya lenyap dari jiwaku, karena orang-orang bilang naggro kita telah dikuasai oleh orang-orang meukaom. Katanya, mereka tidak akan memberikan kesempatan kepada orang lain selain kaom mereka. Hanya saja para pejantan mereka yang dapat menikmati dan menguasai naggro warisan para lelulur, padahal para lelulur tidak mewariskan perangai itu.
Setika saya masuk ke dalam gedung nanggro, tempat para penguasa menyetir arah naggro. Gedung yang terhitung besar yang didesain dengan arsitektur timur tengah itu berdiri tegap di tengah naggro. Saban hari mereka menjalankan tugas di dalam bangunan yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Suasana di dalam gedung sangat beda dari layaknya kantor nanggro. Mulai dari desain ruangannya, barisan meja yang diatur layaknya warong kupi. Tidak hanya desainnya, tetepi para pekerja yang hanya lulusan SMA itu membawa nuansa warong kupi ke dalam ruangan berase itu. Saya sangat muak melihat adegan yang sangat memalukan, lalu saya berpindah ke tempat lain, juga adegan yang sama terjadi.
Sebuah pamplet yang bertuliskan Struktur Pengurus Nanggro terpajang tepat di ruang utama gedung naggroe, mata pun ku hadapkan pada tulisan yang mengisi pamphlet itu. Satu persatu saya membacanya, mulai dari wali naggro sampai ke jabatan yang paling kecil, tidak satu orang pun yang namanya tidak di awali dengan Teuku, Raja dan Cut. “apa ini tidak salah baca” ucapku sendiri. Lalu saya membuka kaca mata, pikir saya ini kesalahannya, tetapi tulisan di pamphlet itu tetap seperti mulanya.
Saya pun melangkahkan kaki dari kantor nanggro yang dihuni oleh orang-orang yang namanya diwali dengan unsur Teuku, Raja dan Cut. Ternyata saya tahu, mengapa saya tidak bisa menjadi penghuni kantor nanggro, pasti karena nama saya tidak seperti nama mereka. Sempat terbesit di hati “apa saya harus menambahkan nama” dari Muhammad Husen menjadi Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen, agar Saya bisa diterima sebagai rentenil nanggro.
Seingat saya, peristiwa ganti nama bukan ini pertama kali terjadi. Dulu pernah juga, katanya kalau mau menjadi rentenil naggro namanya harus ada vokal [o], kalau Supian harus di tambah dengan Supianto. Terus beberepa tahun setelah itu, dari nama Supianto berubah lagi menjadi Supian, karena orang-orang bilang kalau namanya ada vocal [o] bakal di usir dari nanggro bahkan ada yang dipotong lehernya.
“Ah… masa bodoh” untuk apa saya harus ganti nama kalau hanya untuk menjadi rentenil nanggroe,tho dunia ini’kan sangat luas, diluar pasti banyak yang membutuhkan skil saya, walau hanya sebagai sarjana Filsafat Islam.
Gonta-ganti nama memang sudah menjadi budaya turun-temurun di nanggro kita. Saya lebih memilih untuk meningglakan nanggro, karena Saya tidak mau ganti nama, bagi saya nama sangatlah berharga. Nama saya tetap Muhammada Husen, bukan Teuku Muhammad Husen atau Muhammad Raja Husen.
“Begitulah Dek, keadaan naggro kita sekarang” ucap Pak Husen lemah, raut wajahnya seperti menyimpan kekesalan dan kekecewaan.
“Mohon perhatian kepada maskapai Garuda Indonesia tujuan Nanggro Aceh Darusalam untuk menaiki pesawat, terima kasih” aba-aba dari operator pun keluar dari speaker yang dipasang pada setiap waiting room. Pak Husen pun mengakhiri ceritanya, karena aku harus segera berangkat.”Sampai jumpa Pak ” ucapku sebelum berpisah dengannya.
Catatan
Gampong : Desa/wilayah
Nanggroe : Negara
Kaom : kaum/saudara
Teuku, Cut dan Raja : Nama bagi keturunan raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda