Jumat, 15 Januari 2010

Lorong Senja


Cermin
Sudah dua kali berganti musim gugur aku berjalan melewati lorong-lorong kematian itu. Lorong yang pernah diceritakan lelaki tua, lelaki yang dulu pernah tinggal satu gang denga gubuk lelahku. Keraguan terpendam di hati, apa ini lorong kematian yang pernah diceritakan lelaki tua itu. Seingatku si tua itu pernah mengatakan, kalau aku bisa melewati lorong itu, semua permintaanku akan dikabulkan. Ya termasuk penundaan kematian dan mengatur takdir.

Tetapi aku berpikir, apa benar yang diceritakan si tua bangka itu. Kala itu si tua mengajakku ke pinggir sungai. Ia duduk di pinggir sungai, kedua kakinya menyapa para penghuni sungai. Dia berkata padaku “mereka adalah kawan-kawanku”, semua penghuni lembah dan sungai takut pada si tua itu. Dulu Ia sama nasib sepertiku, tetapi kini dia bebas mengatur arah angin sesuka hatinya.

Benakku masih membanyangkan seuntai harapan yang selalu tenggelam diterpa tak berkemampuan. Kalau aku menemukan lorong kematian itu, sudah pasti semua keinginan akan berada pada kedua tangan ini. Pertama sekali aku akan meminta sebuah kain putih. Kain itu akan kuberikan untuk perempuan yang telah mengajakku ke alam yang tidak jelas tujuannya ini.

Kain itu, memang sudah lama inginku berikan pada perempuan tua sebatangkara. Sungguh malang nasibnya. Setelah ditinggalakn sang kekasih, dia hatus rela ditinggalkan oleh buah hati semata wayang. Tiap hari bulir-bulir selalu membasahi kedua pipi yang sudah mengerut. Penutup badan yang menyangkut di tubuhnya tak mewakili untuk menutupi sekujur kulit kerutnya.

Ingin sekali aku memberikan penutup kulit lesu itu. Setidaknya dia lebih berwarna saat menghadap-Nya. Biar perutnya tidak terganjal, penutup badan compang-camping, namun perempuan itu jarang absen menghadap-Nya.
***

Lelah badan ini. Kaki pun tak sanggup lagi mengarungi gurun tandus. Kerongkongan kering seketika tanpa ada peredamnya. Terik matahari tanpa hambatan membakar ubun-ubun. Namun, perjalanan tanpa akhir ini harus ku arungi, meski lorong itu, masih belum ada pertandanya.

Aku harus berjuang. Pesimis harus beranjak dari benakku, memang tak ada cita-cita anak manusia dapat digenggam begitu saja. Dalam perjalan itu, aku sempat melihat sebatang pohon yang tepat berdiri tegap di tangah gurun. Pohon tanpa daun itu terlihat sangat lesu dalam terik sang surya yang mengeringkannya. Dedaunan yang hanya tinggal di ujung dahan seperti tak rela lagi melekat. Lama sudah dia tak tersentuh ilham-Nya, “apa mukin ini adalah lingkungan dan takdir kehidupannya” besit hatiku.

Dalam pandangan samar-samar, mataku terus menancap ke sebuah gunung runcing yang duduk tegap di gurun itu. Aku semakin mendekat, pandangan pun semakin jelas.
“ya…. ini gunung runci yang pernah diceritakan si tua itu padaku” ungkapku refleks.
Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, tumbuh diotakku. “Gunung rucing, ya…gunung runcing. Apa ini hasil tangan para hamba, atau sulap manjadda wa jadda” pertanyaan itu tak tau sama siapa aku utarakan. Ah… masa bodoh aku harus memikirkan ini hasil tangan siapa. Targetku mengarungi gurun untuk mencari lorong kematian itu.

Sebuah pertanda nampak seketika di hadapanku. Ya… sebuah lobang berukuran batok kepala yang mengeluarkan angin kering dari dasarnya. Lobang itu tepat di dasar gunung runcing. Perlahan kurapatkan kepala kelobang itu. Kedua mata ini kubuka untuk mencuri sedikit rahasia lobang itu. Tapi mata ini tak kuasa melawan cahaya yang terpancar dari lobang cahaya.

Hari berikutnya aku juga mencoba untuk melawan cahaya lobang itu, namun hal yang sama terjadi. Akhirnya kupaksakan mata ini untuk menerobosi cahaya itu. Tiba-tiba dari cahaya itu keluar huruf perhuruf, tetapi hurus itu, seperti huiruf bai-bait suci. Pertama sekali yang keluar dari cahaya itu adalah huruf lam, tak lama kemudian menyusul huruf ta, dan secara bersamaan keluar pula huruf ha,zal dan nun.
Huruf itu membuat aku pening. Apa sebenarnya makna huruf itu. Si tua itu tidak pernah menceritakan padaku bahwa aku akan melihat huruf-huruf yang membuatku pening. Apa si tua itu membohongiku “keparat” besitku. Aku sedikit meredam kemarahan pada si tua itu. Tak ada guna aku marah padanya, lagi pula dia sekarang sudah menjadi makanan ulat dan cacing.

Harapan untuk mendapatkan lorong itu harus sirna di gurun ini. Huruf-huruf itu menghambat langkahku. Apa karena aku tidak bisa memaknainya. Matahari nampaknya akan meninggalkan bumi, hanya sedikit cahaya masih tertancap dari hamparan pasir. Kakiku perlahan melangkah dalam terpaan abu-abu melayang yang terbang bersama angin kering. Sedikit aku menoleh ke belakang, hanya nampak runcingan genung pemabwa sial. Aku menghilang di penghujung hari, bersama terpaan angin membawaku pergi
***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda