Selasa, 27 April 2010

Gemasastrin Tampilkan Sastra Sufistik

Banda Aceh- Tidak seperti biasanya, Lobi FKIP sore itu Sabtu (26/12) disulap dengan sedemikian rupa. Kain hitam terbentang mengelilingi ruang. Sebuah panggung berdiri tegap. Di depan panggung terpasang sebuah lampu sorot yang memancarkan cahaya tepat ke latar pentas yang dibentang kain putih. Rerantingan terpajang pada setiap tiang. Seluruh ruang dikelilingi kain hitam yang terbentang. Ruang gelap, hanya tujuh batang lilin berperan sebagai penerang yang dinyalakan pada sudut-sudut ruang.

Suasana yang begitu berbeda sempat menimbulkan tanda tanya. Beberapa dari mereka (peserta) melontarkan pertanyaan pada panitia tentang suasana yang tak seperti biasanya “lho kenapa gelap sekali, apa tidak ada lampu?” ungkap salah seorang tamu, penasaran seperti memaksa akan sebuah penjelasan.

Itulah persembahan Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin) dalam rangka memperingati lima tahun tsunami Aceh. Beda dengan lainnya memang. Suasana sufistik bernuansa sastra yang mereka cipta.

Nazar Alam, koordinator acara mengungkapkan bahwa kegiatan ini dikemasa dalam bentuk sastra sufistik. Selain Doa dan Zikir bersama, juga akan diisi oleh penampilan-penampilan kreteativitas Gemasastrin “acara ini kami kemas dalam bentuk sastra sufistik” imbuhnya sambil bersemangat.

Meseki langit Banda Aceh terlihat berkabut hitam, namun, kegiatan yang bertema “Kenangan Fiqih Kekasih Allah dalam Zikir Laut” tidak sedikit dikunjungi orang. Jarum jam tepat menunjukan pukul 17.00, para undangan mulai mengisi kursu depan ruang Lobi. Mulai dari para sastrawa, alumni mahasiswa kebahasaan dan dari berbagi kalangan memenuhi ruang remang-remang yang dikelilingi bentangan kain hitam.

Secara bergantian, para sastrawan membacakan hikayat tsunami dalam cahaya remang-remang.
“Hikayat ini saya persembahkan untuk korban tsunami” ungkap T.A Sakti sambil mengambil membuka sebuah buku kumpulan hikayat. Dengan penuh semangat, T.A Sakti melafalkan bait-bait hikayat goresan tintinya sendiri. Para peserta terpana dalam lantunan ritma-ritma hikayat sang pujangga.

Azan pun tiba, para peserta segera menuju sebuah musala yang terletak tepat di belakang gedung FKIP. Setelah salat magrib usai, ruangan bernuansa sufistik itu dipenuhi lantunan-lantuan asma Allah yang hinggap kesetiap celah ruang. Seorang ustad membaca bait-bait suci, tak ketingalan para jamah mengikuti rapi. Jamah begitu antusias menadahkan tangan, mengharap kepada Sang tuhan akan ampunan para mereka yang tenggelam.

Sesaat kemudian, Suasana tampak mencekam, ketika Akmal membacakan hikayat “Nyeri Aceh”. Perlahan Akmal keluar dari belakang panggung sambil membacakan bait-perbait hikayat Nyeri Aceh.

Akmal menuju ke arah para penonton, sebatang lilin di tangan kiri sebagai penerang lembaran hikayat. Sesekali Ia menggetarkian tangannya. Ekspresi semakin memuncak saat Akmal membacakan bait “peta-peta telah koyak, jangan kau tanyakan lagi di mana Meulaboh dimana Calang…” dengan nada meringis lantang.

Penonton hanya terdiam. Surya salah seorang penonton, mengaku sangat terharu dengan pembacaan puisi Nyeri Aceh. “saya sangat terharu” ungkapnya sambil menguluskan kedua tangan ke dada.

Tak lama kemidian, teatrikal panggung perempuan menggonjang suasana ruang. “auh…auh…” teriak beberapa orang perempuan yang merengek sambil kedua lutut menumpu ke alas. Suasana semakin menegangkan, saat teriakan lantang mengoncang sudut-sudut ruangan. Para perempuan bersaing memperebutkan keris di tangan seorang wanita tunggal. Penampilan itu mengandung makna amat dalam.


Rismawati, sutradara senior Gemasastrin mengatakan bahwa aksi teater ini mereka kemas dalam bentuk sufistik. Makna yang sangat mendasar adalah memberikan gambaran bahwa inong Aceh berwatak keras, sabar dan teguh dalam menghadapi cobaan. Selama ini perempuan Aceh tetap tegar dalam menghadapi kehidupan, mulai dari konflik sampai tsunami “inong Aceh sangat kuat dalam menghadapi tantangan hidup”, ungkap perempuan kelahiran Aceh Tengah itu.

Wirduna, Ketua Umum Gemasastrin, mengharapkan dengan pelaksanaan acara refleksi lima tahun tsunami Aceh, kiranya dapat menjadi suatu renungan bagi kita untuk mengingat akan makna kehidupan di samping mendoakan saudara-saudara kita yang menjadi korban gempa dan tsunami.

Selain itu, kegiatan ini juga sebagai ajang silaturahmi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Menerutnya, acara ini dikemas dalam bentuk sastra sufistik bertujuan untuk memadukan sastra dengan religi yang sekarang sudah tidak sejalan lagi dalam kehidupan masyarakat Aceh khususnya. “kita ingin memadukan religi bernuansa sastra” pugkas putra kelahiran Nagan Raya.

Kita mengharapkan Gemasastrin akan dapat memproduksikan para ahli bahasa dan sastra yang tidak selalu berselimut dengan nilai-nilai agama. Dulu sastrawan Aceh selalu mengaitkan sastra dalam nuansa agama, tambahnya. Seperti Hamzah Fansuri, Aly Hasjymi, mencontohkan.

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Unsyiah.
Sekarang sebagai Ketua Umum Gemasastrin dan aktif sebagai reporter Tobloid DETaK.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan Anda